Quantcast
Viewing all 428 articles
Browse latest View live

Simul in Victoria, Bersama dalam Solidaritas melalui Liga Futsal Mahasiswa Hubungan Internasional BINUS 2019

Image may be NSFW.
Clik here to view.

LIFUMA atau Liga Futsal Mahasiswa Hubungan Internasional Binus hadir menyapa masyarakat Hubungan Internasional pada bulan Oktober 2019. Acara ini diselenggarakan oleh HIMHI atau Himpunan Mahasiswa Hubungan Internasional sebagai bentuk acara tahunan yang dilaksanakan untuk menjadi sebuah sarana untuk mempererat tali silaturahmi antar sesama masyarakat hubungan internasional Bina Nusantara dari berbagai angkatan melalui kegiatan olahraga yang digemari. Diselenggarakan mulai dari tanggal 14-17 Oktober 2019 bertempat di Lapangan kampus Kijang, Binus dan pertandingan final yang diadakan di Lapangan Kampus Kijang, dan final diadakan di Elang Futsal.

Image may be NSFW.
Clik here to view.

LIFUMA yang memiliki tema “Simul in Victoria” atau “Bersama dalam Solidaritas” dihadiri oleh para mahasiswa Hubungan Internasional, mulai dari mahasiswa HI dari angkatan 2019 hingga angkatan 2023, serta dosen turut hadir di akhir kegiatan ini. Kegiatan ini dimulai dari jam 9 pagi dengan dibukanya registrasi peserta lalu dilanjutkan dengan pemberian kata sambutan dari ketua acara LIFUMA 2019 bersama ketua Silmahinus yang sebelumnya, kata sambutan juga diberikan oleh ketua HIMHI dan perwakilan Jurusan Hubungan Internasional Bina Nusantara.

Image may be NSFW.
Clik here to view.

Keseruan LIFUMA berlanjut dengan pertandingan pertama antara angkatan HI 2019 melawan angkatan HI 2020. Pertandingan berlanjut sampai hari Jumat, 18 Oktober 2019.  Di penghujung acara, Final perebutan juara satu dimainkan oleh angkatan HI 2020 melawan angkatan HI 2021 yang kemudian dimenangkan oleh angkatan HI 2021 dan dengan kemenangan tersebut membuat HI 2021 menjadi juara 1 LIFUMA 2019. Acara pun ditutup dengan sesi foto dan penyerahan piala.

Image may be NSFW.
Clik here to view.


Tiga hal yang harus dilakukan Prabowo, calon presiden yang kini jadi menteri pertahanan

Image may be NSFW.
Clik here to view.

Pengangkatan Prabowo Subianto sebagai menteri pertahanan kabinet pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo menimbulkan berbagai reaksi, termasuk dari kalangan akademisi. Ada yang berargumen bahwa pemilihan Prabowo adalah langkah penyeimbang kekuatan politik yang berani sekaligus mengandung risiko. Prabowo adalah lawan politik Jokowi dalam dua pemilihan presiden (pilpres) terakhir dan dia juga pendiri Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) yang sebelumnya menjadi partai oposisi.

Secara teori, pemilihan Prabowo disinyalir akan mengurangi penolakan oposisi terhadap agenda Jokowi di periode kedua. Namun, dalam praktiknya hal itu perlu diuji. Ada juga yang menganggap bahwa hal ini menunjukkan bahwa pemerintahan Jokowi fokus pada pembangunan ekonomi, bukan pada demokrasi.

Pemilihan Prabowo juga dilihat sebagai ancaman bagi Jokowi dan demokrasi karena melemahkan peran oposisi dan pengawasan. Di luar aspek politis dari pemilihan Prabowo, tidak banyak yang membahas tantangan kebijakan pertahanan yang dia hadapi. Beberapa melihat bahwa Prabowo menghadapi berbagai tantangan terkait teknokrasi, hubungan sipil–militer, hingga lingkungan strategis di kawasan Asia-Pasifik.

Dosen Jurusan Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara, Tangguh Chairil, melihat adanya tiga hal mendesak yang perlu ditangani Prabowo sebagai Menteri Pertahanan yang baru, yaitu memperbaiki pengelolaan anggaran pertahanan, mempercepat pembangunan kekuatan TNI, dan memperkuat industri pertahanan.

Selengkapnya dapat dibaca di sini.

Hari Pahlawan 10 November 2019

Strategi Peningkatan Ekspor Melalui Kerja Sama Perdagangan Internasional

Jakarta, 5 Novemver 2019 – Jurusan Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara bekerjasama dengan Pusat Pengkajian Kerjasama Perdagangan Internasional, kementerian Perdagangan, menyelenggarakan acara Seminar dengan judul Strategi Peningkatan Ekspor Melalui Kerja Sama Perdagangan Internasional dengan tiga pembicara pertama dari peneliti Kementrian Perdagangan RI yaitu Devina Chieny Juventia, Siti Mir’atul Khasanah,  Kerub Henpra Gokniel dan pembicara keempat dari dosen specialist lecturer Moch. Faisal Karim Ph.D.

Pada pembukaan dilakukan dengan nyanyian lagu Indonesia Raya, pemberian sambutan, dan pemberian cindera mata. Dilanjutkan dengan para pembicara memulai presentasi mereka masing-masing.

Pembicara pertama oleh Devina Chieny Juventia membahas hubungan dagang Indonesia-Bangladesh dan diberi judul Analisis Dampak Ekonomi Indonesia – Bangladesh Preferential Trade Agreement. Pembahasan berlanjut dimana PTE berhasil meningkatkan transaksi ekonomi antara kedua negara dan Indonesia berencana melakukan perjanjian PTE dengan Bangladesh. Analisis dilakukan dengan kajian makroekonomi, struktur tarif, kinerja perdagangan, dan bagaimana menggali potensi produk yang dimaksimalkan untuk ekspor ke Bangladesh. Ekspor Indonesia ke Bangladesh dan impor dari Bangladesh ke Indonesia  meningkat dilihat dari data pada tahun 2014-2017 dengan surplus untuk Indonesia. Analisis RCI untuk melihat keunggulan masing-masing bidang di mana Indonesia unggul dari Bangladesh dalam sektor hewani, sayuran, foodstuff, produk mineral, plastik, dan kayu, sedangkan Bangladesh unggul dalam bidang tekstil dan kulit. Dan dari analisis di atas, direkomendasikan bagi Indonesia untuk membuka kerja sama dengan Bangladesh dalam bentuk PTE.

Pembicara kedua oleh Siti Mir’atul Khasanah membahas tentang posisi Indonesia dalam Global Value Chain (GVC) dalam presentasi yang diberi judul Posisi Indonesia dalam GVC di ASEAN-Kanada. Membahas di mana setiap perekonomian memiliki sumber daya unik yang menentukan keunggulan komparatifnya dan memanfaatkannya dengan mengekspor keunggulan tersebut. Keunggulan komparatif lalu tidak hanya dilihat dari barang, tetapi juga dari jasa dan dilakukan dengan tahapan yang memberi nilai pada barang atau jasa tersebut dengan Global Value Chain. Indonesia diharapkan tidak hanya sebagai tempat Manufacturing, tetapi juga terlibat dalam Distribution, Marketing, Sales sehingga mendapat keuntungan dari proses-proses lainnya. Dari semua negara ASEAN yang memasok ekspor ke Kanada, Indonesia berada di peringkat keempat dimana merupakan posisi rendah karena mengekspor barang dengan nilai tambah yang kecil. FTA antara ASEAN dengan Kanada diharapkan bisa memfasilitasi Indonesia dalam memperluas akses pasarnya dan meningkatkan keikutsertaan Indonesia dalam GVC agar bisa meningkatkan infrastruktur regional untuk ekspor. Adapun hambatan yang dihadapi oleh Indonesia yaitu rendahnya kualitas infrastruktur publik, suku bunga tinggi yang tidak bisa dipenuhi usaha-usaha kecil menyebabkan mereka tidak bisa berkembang, standar dalam negeri belum memenuhi standar internasional, minimnya informasi tentang standar-standar khusus yang harus dipenuhi agar bisa membuat barang siap ekspor. Dan tentu saja bisa diatasi dengan strategi seperti meningkatkan daya saing domestik, meningkatkan investasi untuk menarik FDI, meningkatkan kualitas SDM, meningkatkan standar nasional ke standar internasional, dan meningkatkan hubungan antar perusahaan lokal dan internasional.

Pembicara ketiga oleh Kerub Henpra Gokniel diberi judul Pemanfaatan Hasil Perundingan AFAS dalam Rangka meningkatkan Ekspor Jasa Ritel Indonesia ke pasar ASEAN dimana Riset ini mengkaji ekspor-ekspor jasa di ASEAN. Sektor jasa telah mengkontribusi sebesar 60% GDP dunia, 40-70% di ASEAN, dan hanya 43.6% di Indonesia. ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS) adalah salah satu bagian dari ASEAN Free Trade Agreement (AFTA) yang berpusat pada jasa. Metodologi kajian ini menggunakan Hoekman Index untuk mengukur seberapa liberal setiap negara, analisis SWOT yang dikuantifikasi untuk membentuk strategi, dan analisis EFAS (melihat faktor eksternal) dan IFAS (melihat faktor internal). Analisis SWOT menunjukkan bahwa Indonesia memiliki Opportunity dan Strength yang cukup untuk mengembangkan ekspor jasa ritel di Asia Tenggara. Direkomendasikan bagi Indonesia untuk menggunakan strategi progresif dan melakukan ekspansi agresif ke pasar ASEAN. Disarankan bagi Indonesia untuk mengembangkan infrastruktur distribusi, memberi bantuan fiskal untuk jasa ritel yang berkembang ke luar negeri, dan membantu perusahaan di Indonesia untuk mencari partner di negara lain.

Pembicara Keempat oleh Pak Moch Faisal Karim membahas diplomasi dagang Indonesia di pasar non-tradisional dengan presentasi  berjudul FTA and Indonesia Trade Diplomacy in Non-traditional Market. Sedang ada usaha dari Presiden Jokowi untuk mengembangkan perdagangan internasional Indonesia ke pasar non-tradisional, seperti Bangladesh, Turki, Myanmar, Moroko, Iran, Mozambik, dan Uni Eropa. Saat ini Indonesia sudah membuat total 39 FTA dan PTA, 10 di antaranya sudah ditandatangani dan sedang berlangsung, 4 yang sudah ditandatangani tapi belum berlangsung, 8 yang masih dinegosiasikan, dan 16 masih dalam bentuk proposal. 4 yang sudah ditandatangani tapi masih dalam proses ini adalah FTA untuk Group of 8, kerja sama ekonomi Indonesia-Australia, FTA Indonesia-Uni Eropa, dan PTA Indonesia-Organisation of Islamic Cooperation (OIC). Adapun masalah salah satunya muncul ketidakharmonisan antara kementerian luar negeri, kementerian perdagangan, dan kementrian perindustrian karena berbeda tujuan dan ada isu-isu dalam negeri yang menghambat. Banyaknya perjanjian dagang internasional juga menyebabkan “Spaghetti Ball Effect” yang bisa menyebabkan melambannya hubungan dagang. Misalnya, dalam perjanjian dagang yang disebut Rule of Origin dan adanya konflik lainnya. Tidak bisa selalu mengandalkan perjanjian bilateral karena masih ada perjanjian multilateral yang bisa menagani isu diatas. Perlu di perhatikan tentang GVC dan Indonesia juga sedang berusaha membuka pasar dengan negara-negara non-konvensional agar tidak terus terpaku dengan negara konvensional.

Acara seminar ditutup dengan sesi tanya jawab dan pembagian konsumsi di akhir acara. Di sesi tanya jawab, peserta memberi pertanyaan lebih lanjut kepada pembicara tentang kajian, konsep, langkah konkrit dan pemaksimalan hal yang bisa dilakukan Indonesia untuk meningkatkan ekspor Indonesia.

After ASEAN Summit: Solving ASEAN Political-Security Disunity

 

Image may be NSFW.
Clik here to view.

To give credit where it’s due, the 34th ASEAN Summit in Bangkok, 20-23 June 2019, brought many achievements in political and security issues. The Summit adopted the ASEAN Outlook on the Indo-Pacific and welcomed the first reading of the Single Draft Code of Conduct in the South China Sea (CoC) Negotiating Text, among others. In terms of non-traditional security, the Summit adopted the Bangkok Declaration on Combating Marine Debris in the ASEAN region.

Nevertheless, those achievements are not without criticisms. The ASEAN Outlook on the Indo-Pacific is a watered-down document adopted after searching for consensus among differing views on the Indo-Pacific among ASEAN countries. The Outlook neither creates new mechanisms nor replaces existing ones, leaving one to wonder how it will supposedly turn rivalry in the region into dialogue and cooperation, particularly with many unsolved territorial disputes.

Speaking of disputes, it is not yet known when exactly the CoC will manifest to govern state behaviors in the South China Sea disputes. The long-overdue CoC also will neither be a dispute settlement mechanism nor arrange the details of marine resource management. The CoC merely aims to manage the tension among states involved in the disputes and affirm the rules-based order. Will China, who continuously disregards international law in the region, adhere to the CoC?

Aside from China’s claims, ASEAN countries also have overlapping claims against each other within the region. The nine-dash line is disputed by most claimants in the region; Malaysia, the Philippines, and Vietnam claim islands in the South China Sea; Brunei, Malaysia, and the Philippines claim sea area north of Borneo; etc. Reaching agreements acceptable to claimants among ASEAN countries alone is difficult, let alone with China since ASEAN countries still lack political and security unity.

The political-security disunity is what has been obstructing ASEAN from reaching consensus on many big political issues. Take, for example, the Rohingya crisis. The Chairman’s Statement of the 34th ASEAN Summit ignores the one-sided violence and does not mention the persecuted group by name, instead referring to them as “communities.” It is hard to reach a consensus on this crisis when only a few ASEAN countries are truly concerned due to domestic politics.

It is not a novelty to criticize the ASEAN consensus for its lack of effectiveness and efficiency. At the 30th ASEAN Summit in Manila two years ago, ASEAN was under fire because China’s lobbying of the Philippines – host of the summit – led to delayed statement, which took a softer stance to China’s expansionism in the South China Sea disputes. The problem has long been identified; the question now is what can be the solution.

Scholars such as Ralf Emmers (2017) argued that ASEAN should extend the ASEAN Minus X formula to include security issues. ASEAN Minus X is a formula in the ASEAN Charter article 21 that accommodates flexible participation in the implementation of economic commitments, should consensus be yet to reach. Emmers proposed that ASEAN Minus X be extended to include security issues, focusing on niche areas such as terrorism and preventive diplomacy.

I argue that ASEAN Minus X should be extended to include more high-political-security issues related to sovereignty and human rights. ASEAN should not wait for consensus when the sovereignty of its members is at stake, nor when there are mass atrocity crimes and human rights violations of the population of its members. To enhance its ability to respond to those security challenges, ASEAN should invoke the ASEAN Minus X when some members have disagreements.

Some of the cases in point are the South China Sea disputes and the Rohingya crisis. As discussed above, the 30th ASEAN Summit avoided mentioning China’s land reclamation projects and militarization efforts in the South China Sea due to China’s lobbying of the Philippines. Meanwhile, Cambodia and Laos have supported China in the disputes, blocking ASEAN’s unified action. However, for parties in the disputes, it is a matter of territorial sovereignty recognized by international law; it is not up for debate.

On the other hand, the Rohingya crisis has led to an estimate of up to 10,000 deaths, 128,000 internally displaced persons, and almost one million refugees. ASEAN countries have the responsibility to protect the populations at risk in a timely and decisive response. However, they cannot do that while Myanmar denies evidence of atrocities and blocks independent investigators’ access to Rakhine State. Should ASEAN fail to respond, more Rohingya blood will be on their hands.

ASEAN consensus remains an important decision-making principle in an interstate organization comprised of countries with various social and political diversities. However, criticisms of the latest ASEAN Summit point out evidence that solving ASEAN political-security disunity is still a herculean task. Therefore, it needs to be adjusted to cope with security challenges lingering in the region, most importantly related to territorial sovereignty and human rights.

References
ASEAN. (2007). ASEAN Charter. https://asean.org/wp-content/uploads/images/archive/publications/ASEAN-Charter.pdf.

ASEAN. (2017). Chairman’s Statement of the 30th ASEAN Summit Manila, 29 April 2017: Partnering for Change, Engaging the World. https://asean.org/wp-content/uploads/2017/04/Chairs-Statement-of-30th-ASEAN-Summit_FINAL.pdf.

ASEAN. (2019). ASEAN Outlook on the Indo-Pacific. https://asean.org/storage/2019/06/ASEAN-Outlook-on-the-Indo-Pacific_FINAL_22062019.pdf.

ASEAN. (2019). Bangkok Declaration on Combating Marine Debris in ASEAN Region. https://asean.org/storage/2019/06/2.-Bangkok-Declaration-on-Combating-Marine-Debris-in-ASEAN-Region-FINAL.pdf

Pesan Akademisi kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan 2019-2024 di Hari Guru 2019

Image may be NSFW.
Clik here to view.

Nadiem Anwar Makarim sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pilihan Presiden Jokowi untuk Periode 2019-2024 memiliki banyak masalah di bidang pendidikan yang harus ia kuasai. Akademisi Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara (Binus), Aditya Permana mengatakan dunia pendidikan bukan soal mencetak tenaga kerja siap pakai untuk melayani permintaan (neo) liberalisasi yang kian jelas terpampang. Melainkan kata Adit juga merawat jiwa dan akhlak manusia Indonesia.

“Pendidikan bukan sekedar menciptakan tenaga kerja, tapi menciptakan manusia seutuhnya, lengkap dari akhlak hingga kompetensi teknis. Sesuai proyeksi Revolusi Industri 4.0 yang membutuhkan tenaga kerja di pos-pos spesifik, pendidikan yang semata-mata berorientasi ke penciptaan tenaga kerja berpotensi semakin merusak kohesi sosial, relasi, dan ikatan-ikatan sosial yang ada karena akan ada kesenjangan yang lebar antara kaum milenial yang digital savvy dan mereka yang masih kesulitan mengakses ICT,” papar Adit kepada Indopolitika.com.

Adit menambahkan banyak pokok persoalan yang menghantui dunia pendidikan Indonesia. Dengan demikian Nadiem ditantang untuk menyelesaikan masalah-masalah laten dalam dunia pendidikan sekaligus dunia sosial yang berpotensi mendorong disintegrasi bangsa.

“Nadiem juga perlu menyelesaikan masalah-masalah dalam Unicorn-nya, terutama masalah kapitalisasi dan eksploitasi sesama dengan dalih “mitra”, dan menciptakan ekosistem kerja yang lebih berpihak pada kaum akar rumput tanpa berbuih-buih membungkus sistem kerjanya dengan neologi-neologi yang menyembunyikan relasi kuasa yang timpang,” ujar Adit.

Dalam hal ini kata dia, Nadiem jangan tergoda menciptakan kementerian berbasis logika gamifikasi sebagaimana ia terapkan di Unicorn-nya, sebab manusia bukan karakter atau avatar game.Di satu sisi, kata Adit,  jabatan menteri adalah jabatan politis yang siapapun bisa dipilih oleh presiden untuk mengisinya. Tentunya ketika memilih seseorang untuk ditempatkan dalam posisi itu, Presiden Jokowi sudah punya pertimbangan yang matang.

“Misalnya dulu Susi Pudjiastuti, dan sekarang salah satunya Nadiem Anwar Makariem,” Adit mencontohkan.

Lanjut Adit, jika dilihat dari latar belakang Nadiem sebagai pendiri startup ride hailing Gojek dan dengan usia yang masih terbilang sangat muda (35 tahun), Nadiem dinilai kurang tepat untuk ditempatkan di posisi Menteri Pendidikan. Masyarakat menilai Nadiem belum memiliki jam terbang dan pengalaman yang memadai di dunia pendidikan.

“Dilihat dari latar belakangnya, Nadiem memang jago di bidang digital dan ekonomi kreatif, tapi kurang memadai di bidang pendidikan tinggi, dan juga bidang Dikdas maupun Dikmen, karena diplot pada pos Mendikbud,” jelas Adit.

Adit menjelaskan bahwa masalah bidang Pendidikan Tinggi (Dikti) sangat kompleks karena berfungsi sebagai wadah untuk menyiapkan generasi 2045 mendatang.

“Mengurusi bidang pendidikan, pengajaran, riset, pengabdian kepada masyarakat, beserta faktor pendukungnya, pokoknya kompleks,” tutup Adit.

Terpilihnya Nadiem adalah hak prerogratif Presiden. Tentunya ada penilaian lain yang dilihat oleh presiden dari seorang Nadiem Anwar Makarim. Kini harapan itu datang dari para akademisi kepada sosok Nadiem. Mereka berharap Nadiem bisa membawa institusi Pendidikan Dasar (Dikdas), Pendidikan Menengah (Dikmen) dan Pendidikan Perguruan Tinggi (Dikti) khususnya menjadi institusi yang kredibel.

Artikel asli dapat dibaca di sini.

Pengantar Demokrasi Radikal: Terma Pokok, Kritik, dan Batasnya (Bagian 1)

Tulisan ini merupakan bagian pertama dari rangkaian tulisan yang membahas mengenai demokrasi radikal. Bagi mahasiswa Hubungan Internasional, materi ini dapat membantu mahasiswa memahami berbagai gerakan sosial yang terjadi dewasa ini, seperti di Hong Kong, Amerika Latin, Indonesia, Timur Tengah, dan seterusnya, di mana berbagai gerakan ini dapat dipahami melalui perspektif demokrasi radikal.

Image may be NSFW.
Clik here to view.
Taken from C. Douglas Lummis’ Art Work for Book :Radical Democracy”

Pengantar

Demokrasi radikal, baik sebagai entitas teoritis maupun proyek politik praktis, merupakan konsep yang menarik karena mempertanyakan sistem pemerintahan yang menjadi mode of power actualization modern (demokrasi) “Barat” pengakhir sejarah tepat di radix, akarnya. Konsep ini semakin menarik karena demikian banyak posisi epistemologis dan etis yang acap bertentangan tentang bagaimana idealnya itu dilakukan, meski berbagi target yang sama, yakni pelaksanaan dan legitimasi demokrasi modern yang dinilai mengingkari janji realisasi ideal-ideal dasarnya; kebebasan (freedom/liberty), kesetaraan (equality), dan keadilan (justice); serta anggapan dasar bahwa demokrasi modern merupakan suatu patologi. Patologi ini disebabkan oleh praktik demokrasi modern yang mengalami, meminjam vokabulari Heidegger, “kelupaan akan rakyat (demos/people)” sebagai ground, justifikasi, dan legitimasi bagi adanya demokrasi itu sendiri.

People adalah nyawa sekaligus daging demokrasi. Dengan “karakteristik” kontingensinya yang luar biasa, people menjadi condition of possibility sekaligus condition of impossibility bagi demokrasi berkat kemampuan mereka untuk melakukan revolusi-diri setiap kali. Di sisi lain, demokrasi – sebagai sistem – juga menjadi condition of possibility bagi perlindungan hak-hak dan ideal-ideal dasar kebebasan, kesetaraan, dan keadilan, sekaligus condition of impossibility bagi people untuk merealisasikan ideal-ideal tesebut karena tidak adanya (lack) legitimasi eksternal, sehingga demokrasi akan selalu menjadi sesuatu yang self-grounding, self-legitimate, dan self-constituted, yang tidak akan mencapai finalitasnya (Rancière, 2006: 41).

Kata “radikal” dalam terma demokrasi radikal kemudian menjadi suplemen untuk dua akar yang dilupakan demokrasi modern, people sebagai locus of power dan demokrasi sebagai aktualisasi people power, untuk mengarahkannya kepada ketidakmungkinannya mencapai telos (tujuan akhir) absolut. Bagi banyak teoritisi, tujuan demokrasi radikal adalah untuk mengembangkan negara demokratis yang radikal dengan memperluas pengaruh masyarakat sipil. Penekanan pada masyarakat sipil adalah upaya untuk mengubah fungsi kekuasaan yang top-down. Dengan menuntut lebih besar partisipasi dan deliberasi, dan dengan masyarakat sipil memainkan peran kunci dalam politik, demokrasi radikal dapat memenangkan sistem di mana kekuatan mengalir secara bottom-up. Dengan demikian, selain memberikan (re)orientasi terhadap teoritisasi dan praktik demokrasi, terma “radikal” juga sekaligus memproblematisasinya.

Jika kita memahami terma “radikal” sebagai sesuatu yang “ontologis” berdasarkan muatan terminologisnya, maka terma ini akan memberikan nuansa bahwa upaya apapun untuk melembagakan “kenyataan ontologis” ini akan selalu gagal karena akar dari demokrasi adalah perbedaan; atau bahkan pertentangan, antagonisme; ia yang tak terdamaikan. Jika demokrasi (liberal) modern adalah sistem yang melegitimasi hak-hak individual yang dijalankan melalui mekanisme prosedural yang homogen dalam pengambilan keputusan, dengan mengeksklusi yang lain (liyan), maka demokrasi tidak lebih merupakan wajah lain dari totalitarianisme (Lefort, 1988: 15-16). “Yang lain” (liyan/the other) merupakan kenyataan ontologis yang tidak dapat direduksi. Dengan demikian sistem pemerintahan apapun tidak dapat menghindarkan diri dari perbedaan (difference) dan pluralitas. Dalam aspek inilah kritik demokrasi radikal terhadap demokrasi liberal dan deliberatif utamanya disarangkan.

Antagonisme ini bagaimanapun menjadi andaian dasar bagi polarisasi tradisi teoritis tentang demokrasi radikal, baik dari sudut demokrasi deliberatif Habermasian maupun politik agonisme Chantal Mouffe. Upaya-upaya demokrasi deliberatif yang mengutamakan konsensus secara prosedural dapat dilihat sebagai upaya-upaya mendamaikan perbedaan, kontradiksi, dan antagonisme secara rasional untuk menciptakan tatanan politik yang adil. Sedangkan di sisi lain, politik agonisme mengeksploitasi habis-habisan sisi antagonis kenyataan ontologis masyarakat tersebut sebagai dasar (ground) yang memungkinkan adanya politik itu sendiri.

Melalui pengantar sederhana ini, fokus tulisan ini adalah menyajikan pemetaan awal tentang tema-tema yang menjadi perdebatan utama kalangan ini, kritik-kritik utama, janji yang diberikan oleh demokrasi radikal, serta batas-batasnya. Bagaimanapun, penting untuk dipahami di awal bahwa kebanyakan teoritisi demokrasi radikal tidak menolak demokrasi per se, melainkan menawarkan upaya reformulasi readjustifikasi konsep-konsep kunci demokrasi, seturut penekanan masing-masing, untuk memenuhi normativitas pelaksanaan tatanan manusia paling ultim tersebut.

Demokrasi Radikal: Beyond Politics

Tulisan ini merupakan bagian kedua dari rangkaian tulisan yang membahas mengenai demokrasi radikal. Bagi mahasiswa Hubungan Internasional, materi ini dapat membantu mahasiswa memahami berbagai gerakan sosial yang terjadi dewasa ini, seperti di Hong Kong, Amerika Latin, Indonesia, Timur Tengah, dan seterusnya, di mana berbagai gerakan ini dapat dipahami melalui perspektif demokrasi radikal.

Image may be NSFW.
Clik here to view.
Taken from C. Douglas Lummis’ Art Work for Book :Radical Democracy”

 

Diskusi mengenai demokrasi radikal sulit ditempatkan ke dalam ranah ilmu politik biasa karena adanya perluasan konsep-konsep formal yang telah diterima sebagai kanon. Hal ini berkaitan pula dengan status demokrasi radikal yang lebih cenderung bersifat normatif alih-alih sungguh-sungguh dapat dioperasikan sebagai manifesto politik alternatif yang dominan. Beberapa kasus sebagai perkecualian mungkin dapat menjadi contoh bagi praxis demokrasi radikal, seperti Zapatista di Mexico atau Partai Sosialis Amerika Serikat. Namun hal ini sangat debatable mengingat banyaknya tradisi yang mengebawahkan diri di bawah banner demokrasi radikal, termasuk aliran-aliran yang dikategorisasikan sebagai demokrasi radikal seperti demokrasi deliberatif Habermasian, republikanisme/komunitarianisme, dan seterusnya. Dari tradisi liberal sendiri, pemikiran liberal Rousseau dan de Tocqueville pun dapat didaku sebagai demokrasi radikal. Banyak cara mendefinisikan demokrasi radikal, sesuai dengan banyaknya tradisi yang diacu masing-masing pembelanya. Masalah utama dalam mendefinisikan terma ini bukanlah pada “ketiadaan” nama yang tepat untuknya, melainkan justru name spinning; hiper-inflasi terminologis (Seferiades, 2007).

Banyak pengertian yang dapat diberikan untuk terma “demokrasi”, sebagaimana pula bagi terma “radikal”, sehingga pembacaan mengenai demokrasi radikal mesti dilihat sebagai diskursus yang terbuka, meski masing-masing definisi selalu diikuti oleh proses konstitutif sebagai konsekuensi logisnya. Di titik inilah sulit ditemukan kongruensi dan divergensi konseptual yang memuaskan. Dengan luasnya spektrum yang dapat dicakup oleh terma ini, maka batasan-batasan terminologis maupun epistemologis perlu dilakukan, betapa pun rapuh dan kontingennya. Dalam konteks ini, naskah ini akan membahas demokrasi radikal melalui cakrawala distingsi antara politik (politics) dan “yang politis” (the political) karena topik tentang demokrasi radikal ini menandai kekembalian filsafat politik yang sudah lama “dibuang” dari khasanah ilmu politik, terutama dengan perdebatan politik besar tentang keadilan (justice) yang diusung eksponen-eksponen filsafat liberalisme dan libertarianisme seperti Rawls, Nozick, Sen, dan seterusnya.

Distingsi tersebut penting karena di tengah pembelaan kaum liberal dan libertarian, praxis demokrasi modern masih mengalami gap antara politik dalam kaitannya dengan kekuasaan, serta syarat-syarat yang memungkinkan adanya politik itu sendiri, yakni demos atau people. Demokrasi modern telah menjadi demikian prosedural, fungsional, dan mekanistik, sedangkan konflik, kontestasi, antagonisme, dan perbedaan-perbedaan di ranah sosial tak kurang-kurangnya menyeruak dan acap mendelegitimasi peran ideal negara sebagai (konon) komunitas politik tertinggi sebagai pelaksana (exerciser) demokrasi. Gap ini terjadi, menurut pandangan filsafat/ontologi politik post-struktural, karena adanya “kelupaan akan yang politis” (the forgetfulness of the political).

Pembedaan antara “politik” dan “yang politis” pertama kali muncul tahun 1965 melalui tulisan Paul Ricoeur, “The Political Paradox”.

“If politics refers to the use of power (the struggle to found and preserve a political association and make decisions on behalf of all), for Ricoeur the political refers to the self-representation of the polity as a rational association of free and equal members. Since the political only emerges through politics, conversely, this gives rise to a paradox: 'the greatest evil adheres to the greatest rationality'" (Ricoeur, 1965: 2).

Kelupaan akan yang politis terjadi karena ilmu politik atau sains politik (political science) tidak mampu menangkap retakan-retakan dan kebocoran-kebocoran ontologis yang berusaha mereka reduksi atau musnahkan. Dalam terang ini, kita dapat mengingat kembali ide mengenai pemisahan antara sains politik (ilmu-ilmu partikular yang mengkaji tentang politik, dari sosiologi politik hingga ketatanegaraan) dan filsafat politik. Menurut Lefort, untuk menafsirkan apa itu “yang politis” kita mesti memisahkan diri dengan sudut pandang umum sekaligus memisahkan diri dari sains politik dan sosiologi politik (Lefort 1988: 11). Sains politik tidak dapat melihat perbedaan antara politik dan “yang politis” oleh karena “hasratnya terhadap objektivitas” (Lefort 1988: 12).

Lefort mendaku bahwa hasrat akan objektivitas ini membuat seorang saintis politik disyaratkan untuk melakukan pemisahan (separation) antara “subjek yang mengkaji” dan “objek yang dikaji” agar netral, serta menghindari penilaian (judgment) dan pendapat belaka atau doxa (mere opinion). Namun risikonya saintis terpisah (detached) atau berjarak dari kehidupan sosial yang nyata. Sesuai tafsiran Marchart, bagi Lefort “ideologi” saintifik mustahil menjaga netralitas karena objek itu sendiri sudah dilekati makna (Marchart 2007: 87). Lefort mengatakan bahwa dengan bersikap objektif dan netral, ideologi sains secara sistematis

...deprives the subject of the means to grasp an experience generated and ordered by an implicit conception of the relations between human beings and of their relations with the world. It prevents the subject from grasping the one thing that has been grasped in every human society, the one thing that gives it its status as human society: namely the difference between legitimacy and illegitimacy, between truth and lies, between authenticity and imposture, between the pursuit of power or of private interests and the pursuit of the common good.” (Lefort 1988: 12).

Di lain pihak, filsafat memang berpendapat bahwa subjek tidak dapat melarikan diri dari dunia dan mesti menerima risiko untuk membuat penilaian. Namun filsafat dinilai tidak cukup untuk mengenali perbedaan antara politik dan “yang politis”. Lefort memandang bahwa filsafat tidak lain adalah upaya untuk mengambil keputusan dalam dunia yang darinya kita tak dapat melarikan diri. Namun filsafat dihantui oleh “momok pikiran murni” (phantom of pure thought), yakni kesatuan konsistensi internal dalam pikiran yang terpisah dari pengaruh sejarah, independen dari “dunia luar”, tak tersentuh oleh peristiwa-peristiwa historis, pemikiran yang murni metafisis (Lefort, 2000: xi). Lefort mendaku bahwa filsafat politik diinspirasi oleh pertanyaan yang disingkirkan oleh sains politik, yaitu pertanyaan “apa yang menjadi sifat dasar perbedaan antara bentuk-bentuk masyarakat” (what is the nature of the difference between forms of society)? Penyingkiran atas pertanyaan ini dinilai Lefort sebagai “kelupaan akan perbedaan antara politik dan ”yang politis”.

Paradoks ini menjadi locus pembedaan antara dua “ranah” tersebut. Lefort mengatakan bahwa “konsep” tentang “yang politis” adalah pembangunan “lapangan interogasi” dari pemikiran filsafat (Lefort 1978: 20). Sains politik dinilainya tidak mampu (atau menghindarkan diri) untuk mencari prinsip dasar yang memungkinkan (atau memustahilkan) perbedaan-perbedaan antara ranah-ranah dan sistem-sistem sosial karena sains politik berusaha memisahkan politik sebagai superstruktur (dalam sense Marxian) dan lapangan-lapangan lain seperti fakta ekonomi, fakta yuridis, ataupun fakta estetis (Lefort 1988: 12). Bagi Lefort, perbedaan-perbedaan (difference) dan pembedaan-pembedaan (differentiation) itu justru merupakan hal yang mendasar dan menjadi locus dalam setiap fakta ontis dalam masyarakat dan politik. Sederhananya, sains politik menemukan kelemahan dalam merespon, katakanlah, “partikularitas dan kontingensi” yang terjadi dalam konteks penyelenggaraan politik. “Partikularitas dan kontingensi” itulah yang disebut “yang politis”, yang justru menjadi syarat yang memungkinkan (atau memustahilkan) politik dan masyarakat. Dengan demikian, kata kunci penting dalam demokrasi radikal adalah difference, sejak seluruh upaya radikalisasi demokrasi selalu berkaitan dengan perluasan politik ke ranah yang non-politik, atau ranah ”yang politis” yang demikian plural.


Pemetaan Konsep dan Tradisi Demokrasi Radikal (1): Demokrasi Deliberatif Habermas sebagai Demokrasi Radikal

Tulisan ini merupakan bagian ketiga dari rangkaian tulisan yang membahas mengenai demokrasi radikal. Bagi mahasiswa Hubungan Internasional, materi ini dapat membantu mahasiswa memahami berbagai gerakan sosial yang terjadi dewasa ini, seperti di Hong Kong, Amerika Latin, Indonesia, Timur Tengah, dan seterusnya, di mana berbagai gerakan ini dapat dipahami melalui perspektif demokrasi radikal.

Image may be NSFW.
Clik here to view.

Secara umum, kategorisasi tradisi perdebatan demokrasi radikal dapat dikembalikan ke dalam dua arus teoritis yang berebut hegemoni epistemologis, yakni (1) tradisi teori kritis yang masih melanjutkan proyek rasionalitas Pencerahan, yang memancang demokrasi deliberatif sebagai posisi demokrasi radikalnya; dengan Jürgen Habermas sebagai eksponen kuncinya; (2) tradisi post-strukturalisme dan agonisme politik yang mendaku bahwa titik pijak mereka, yang terutama disuarakan oleh Mouffe dan subsekuennya, lebih “radikal” dengan mencemooh apapun yang berkaitan dengan rasionalitas dan Pencerahan. Ada banyak tema yang menjadi fokus kritik dari masing-masing posisi. Akan tetapi untuk menjaga fokus, naskah ini akan membahas demokrasi radikal dalam kaitannya dengan posisi individu (self) sebagai subjek sekaligus objek politik di tengah kelindannya dengan tatanan lebih tinggi yang memungkinkan (atau tidak memungkinkan) realisasi dan aktualisasi mereka. Ambilan ini kami nilai sangat logis karena persis mempertanyakan andaian dasar demokrasi (liberal) modern, yakni pengutamaan status individu yang memperoleh privilege melalui kebebasannya sebagai mahluk politik, yang melaluinya kesetaraan dimunculkan atau dimungkinkan, dan melaluinya pula keadilan menjadi problem kunci.

Dari pertentangan antara individu dan sistem ini kedua tradisi di atas memiliki kontras yang dapat diringkas (tanpa bermaksud mereduksi kekayaan khasanah perdebatannya) menjadi oposisi biner antara konsensus dan konflik, rasionalitas dan passion, society dan community, modernitas dan post-modernitas, dan seterusnya. Naskah ini juga akan lebih menitikberatkan pada perdebatan Habermas dan Mouffe, sejak Habermas dianggap sebagai juru bicara utama atau bahkan pencetus demokrasi deliberatif, sedangkan Mouffe merupakan kritikus yang paling eksplisit menyerang posisi epistemologis Habermas. Di samping itu Mouffe memiliki analisis yang komprehensif mengenai status individu atau subjek dalam kaitannya dengan politik dan yang politik (the political). Di sisi lain, Habermas tidak secara khusus mengomentari kritik-kritik Mouffe, sehingga naskah ini berisi interpretasi atas perdebatan keduanya dalam poin-poin yang kami anggap pokok.

Bagi Habermas, untuk mendorong partisipasi publik dan memperluas/memperkuat demokrasi, politik harus dipandang sebagai percakapan publik yang diatur dengan prosedur yang terlegitimasi dan nalar (reason) untuk mencapai proses negosiasi yang adil (fair). Deliberasi demokratis mendekati situasi percakapan yang ideal dan fair jika memenuhi ketentuan formal: (1) inklusif, (2) bebas koersi, dominasi, dan intimidasi, (3) terbuka dan simetris serta dijalankan melalui prosedur deliberatif. (Kapoor, 2014: 462) Melalui ini, Habermas menjunjung tinggi kualitas “kuasi-transendental” dari deliberasi publik. Baginya, hasil yang adil dicapai melalui “proses komunikasi intersubjektivitas pada tingkat yang lebih tinggi.” Keputusan tidak terjadi dengan mengagregasi preferensi individu, menambahkan suara, atau menemukan kesamaan; melainkan lebih tepatnya, masing-masing partisipan memulai dengan preferensinya, dan kemudian melalui jalannya deliberasi ia mengatasi/mentransendensi kepentingan-kepentingan ini untuk mencari common goods. Dengan demikian, hasil merupakan pergerakan dari “perjanjian belaka” (mere agreement) menuju “konsensus rasional.”

Kualitas (kuasi)-transendensi inilah yang memberikan deliberasi konsensual daya tarik universal mereka, sejak semua peserta menemukan norma-norma yang dapat digeneralisasikan (atau berpotensi untuk digeneralisasikan) dan menerimanya sebagai sesuatu yang mengikat secara universal. Untuk tujuan ini, Habermas memprioritaskan moralitas (yang merupakan domain prosedur imparsial dan hak/keadilan universal) di atas etika (yang merupakan domain konsepsi personal yang berbeda-beda dari pribadi atas kehidupan yang baik). Orientasi Habermas terhadap nalar dan konsensus tidak dideduksi dari sumber-sumber transendental, melainkan mesti dipahami sebagai presuposisi yang selalu sudah ada, yang bekerja dalam penggunaan bahasa sehari-hari. Oleh karena itu, rekonstruksi idealisasi ini disebut sebagai “transendensi dari dalam”. Berbeda dengan “ideal‟ Kant yang dielaborasikan dan diarahkan ke dunia lain, idealisasi Habermas ini melekat pada hubungan di dunia-ini. Habermas mensugestikan bahwa tugas sebagai seorang filsuf adalah menerangkan ini, membuat asumsi bawah sadar ini menjadi dapat dilihat jelas.

Namun, harus jelas bahwa teori Habermas tentang rasionalitas komunikatif dan konstruksinya seperti “situasi percakapan yang ideal” tidak dapat diterapkan secara langsung ke dalam keadaan historis yang sesungguhnya. Seperti semua ideal, gagasan Habermas adalah abstraksi yang disaring dari kerumitan sosial. Oleh karena itu, salah satu tegangan disinggung Habermas yakni bahwa ia menempatkan teori sosialnya di antara “fakta” kompleksitas sosial dan “norma” ideal bagi demokrasi. Artinya kita tidak dapat begitu saja mengabaikan visinya dengan alasan bahwa ia mengabaikan kekuasaan, dominasi, atau konflik pada tingkat empiris, karena ia menjelaskan bahwa mekanisme yang ia pilih sebagai dasar bagi idealisasinya hanyalah salah satu kategori mekanisme yang dapat diamati (Habermas terkenal karena berbagai tipologi dan kategorinya).

Namun, kita dapat menolak salah satu mekanisme ini sebagai yang paling fundamental dan meletakkannya sebagai ideal normatif untuk politik. “Radikalisme” yang dicetuskan oleh Habermas dalam pemahamannya tentang demokrasi terletak pada peran yang ia anggap sebagai pembentukan opini informal. Dalam definisinya tentang deliberasi atau partisipasi deliberatif inilah ia menempatkan potensi radikal bagi demokrasi. Lebih deliberatif berarti lebih radikal. Dengan kata lain, radikalisasi di sini bermakna perluasan jangkauan politik dari politik formal ke politik informal, seperti opini publik, yang dilakukan secara deliberatif. Namun opini publik dalam masyarakat yang kompleks di sini tidak dapat menjadi pengatur, melainkan sebagai penyetir kuasa administratif secara partikular. Demokrasi radikal Habermasian bukan finalitas, melainkan proyek modernitas yang tidak pernah selesai.

Pemetaan Konsep Demokrasi Radikal: Pluralisme Agonistik Mouffe sebagai Demokrasi Radikal

Tulisan ini merupakan bagian keempat dari rangkaian tulisan yang membahas mengenai demokrasi radikal. Bagi mahasiswa Hubungan Internasional, materi ini dapat membantu mahasiswa memahami berbagai gerakan sosial yang terjadi dewasa ini, seperti di Hong Kong, Amerika Latin, Indonesia, Timur Tengah, dan seterusnya, di mana berbagai gerakan ini dapat dipahami melalui perspektif demokrasi radikal.

Image may be NSFW.
Clik here to view.

Mouffe banyak mempertanyakan posisi Habermas, terutama tentang gap antara prosedur dan substansi yang tidak mungkin didamaikan. Mouffe mengatakan,

“Distinctions between "procedural‟ and "substantial‟ or between "moral‟ and "ethical‟ that are central to the Habermasian approach cannot be maintained and one must acknowledge that procedures always involve substantial ethical commitment.” 

Melalui pendekatan filsafat bahasa Wittgenstein tentang language games, Mouffe mempertanyakan gagasan konsensus Habermas. Bagi Mouffe, karena permainan bahasa/bentuk kehidupan komunitas tidak dapat dibandingkan (incommensurable), partisipan yang berasal dari komunitas yang berbeda kadang-kadang akan memiliki kepentingan yang bertumpuk dan bias. Setiap deliberasi kemudian akan tampak lebih merupakan produk dari politik kekuasaan atau retorika cerdas, alih-alih konsensus yang nyata. Padahal dalam deliberasi, setiap pihak yang menuruti prosedur deliberasi sejak awal telah memiliki set pegangan substantif (etis). Di sisi lain, Mouffe mengkritik kondisi ideal komunikasi deliberatif bahwa secara inheren, kondisi-kondisi ideal yang diajukan Habermas memiliki cacat ontologis.

Melalui pendekatan psikoanalisis Lacanian, bagi Mouffe, kondisi-kondisi ideal tersebut tidak akan pernah tercapai, sejak setiap komunikasi terjadi di dalam ranah simbolik. Ranah simbolik, baginya, terdiri atas penanda-penanda yang mengambang bebas (free floating signifiers), yang memungkinkan adanya pembentukan diskursus yang otoriter karena makna yang dominan yang menjadi wujud konsensus hanya muncul dengan mengeksklusikan penanda-penanda yang lain. Perhatian Mouffe pada eksklusi akan membawa kita pada konsepsinya yang paling penting tentang demokrasi radikal, yakni pluralisme dan antagonisme.

Antagonisme adalah batas-batas yang muncul melalui tindakan penutupan (closure) atau ketika terjadi pembentukan totalitas (misalnya, makna, wacana, objektivitas, masyarakat). Baginya, pembatasan semacam itu merupakan bagian integral dari politik. Dengan kata lain, konflik dan kontestasi adalah ontologi politik. Antagonisme itu konstitutif dan tak tereduksi, sehingga bagi Mouffe, upaya Habermas untuk menghapus konflik dan kontestasi dari demokrasi deliberatif sama saja dengan menghapus dimensi “yang politis” (the political). Mouffe sendiri berurusan dengan pertanyaan tentang landasan teorinya dengan referensi ke distingsi Heideggerian tentang “ontologis” dan “ontis”. “Ontis” berkaitan dengan praktik politik konvensional, sedangkan ontologis berkaitan dengan cara masyarakat dilembagakan, atau apa yang konstitutif dari masyarakat manusia, atau pendek kata “yang politis”. (Mouffe, 2005: 8-9)

Mengenai antagonisme ini, sedikit gagasan dari Claude Lefort mungkin dapat membantu kita memahami politik radikal Mouffe. Dalam perspektif Lefort, politik radikal diposisikan di dalam ranah “yang politis” (the political), sebagai condition of possibility dari adanya masyarakat itu sendiri. Dengan demikian pembahasan mengenai yang politis menjadi kunci utama memahami politik agonisme dan/atau antagonisme. Tegangan antara politik dan “yang politis” bagi Lefort adalah permainan penghadiran (“presencing”) dan penghilangan (“absencing”), di mana ketika yang satu muncul, yang lain menghilang. Bukan dalam arti benar-benar lenyap (disappear) melainkan “tersembunyi” (hidden). “Yang politis” muncul sebagai kondisi pemberi makna (form-giving) bagi adanya masyarakat.

Esensi dari “yang politis” ini ditemukan Lefort dalam “konflik” atau ”antagonisme”. Atau apabila kita tarik pengandaian Lefort ini lebih jauh lagi, dasar atau pondasi dari masyarakat demokrasi modern adalah “konflik yang dilembagakan” (institutionalized conflict). Konflik bagi Lefort memiliki makna sebagai bentuk dan condition of possibility yang membedakan ranah sosial satu dengan ranah sosial lain. Sebagai pondasi masyarakat, konflik merupakan dasar ontologis yang tidak dapat direduksi maupun diderivasi dari sesuatu yang lain: ia bukan fakta empiris. Konflik mendahului (precede) segala macam pondasi yang mungkin. Dalam konteks ini, dibedakan dua jenis konflik, yaitu konflik sebagai dasar masyarakat (ontologis) atau, katakanlah, “Ada-nya masyarakat” (the Being of the society), dan konflik sebagai fakta ”ontis” yang muncul sebagai efek dari pembentukan masyarakat (konflik kepentingan, konflik kelas, konflik identitas). Konflik sebagai “Ada” mendasari pembentukan identitas sosial masyarakat yang bersangkutan. Identitas sosial dimulai dengan pembagian mendasar (basic division) antara masyarakat (society) dan ”liyan” (other) (Marchart 2007: 92).

Bagi Lefort, “yang politis” memiliki dua poros. Poros pertama (“inside”) adalah poros identitas-diri yang tercipta dari basic division dengan cara alienasi-diri atau eksternalisasi-diri terhadap liyan. Poros kedua (“outside”) adalah pembagian-pembagian (divisions) di dalam masyarakat itu sendiri. Inilah yang menjadi liyan bagi identitas sosial masyarakat. Tegangan antara dua poros ini – yang disebut Lefort sebagai “antagonisme” – merupakan keniscayaan yang tak terelakkan dari dimensi totalitas masyarakat. Artinya, apabila kedua poros ini diceraikan, maka masyarakat tidak mungkin ada. Antagonisme ini menubuh dalam penguatan akan identitas-diri dengan jalan, katakanlah, “penciptaan musuh bersama” – yakni afirmasi diri melalui negasi atas liyan. Sebagai gambaran, dalam masyarakat totalitarianisme yang berbasis proletariat, “borjuis” menjadi “musuh bersama”, yang dengan itu segala hal yang terkait dengannya diletakkan di seberang identitas-diri sebagai proletar sebagai identitas yang direpresentasikan oleh rezim totalitarian.

“Borjuis” menjadi liyan bagi proletar. Penegasan simbolis ini memunculkan perasaan bahwa individu merupakan anggota dari masyarakat yang sama (Marchart 2007: 97). Namun di lain pihak, pada saat yang sama, alteritas-alteritas tidak benar-benar lenyap. Dalam arti, banyak bentuk “divisi-divisi” lain yang tidak dapat direduksi dalam identitas yang dikonstruksi rezim totalitarian tersebut. Dalam divisi-divisi ini tak jarang muncul konflik partikular. Liyan tidak ditemukan di luar (eksternal) dari masyarakat itu sendiri. Liyan merupakan bentuk ekternalisasi-diri (self-externalization) dari identitas sosial masyarakat. Tidak ada identitas tanpa adanya pengenalan atau penjarakan (distancing) dengan liyan (Marchart 2007: 92). Identitas
(inside) mengeksternalisasi liyan (outside) dalam kelindan enigmatik, di mana liyan (outside) bukan merupakan kehidupan yang independen pada dirinya sendiri, melainkan sesuatu yang hadir (present) bagi inside. Dengan demikian, outside adalah kondisi posibilitas bagi inside.

Dalam skema hubungan antara kekuasaan dan identitas sosial, hal ini lebih jelas. Kekuasaan diarahkan menuju kepada outside. Identitas adalah apa yang disignifikansi oleh kekuasaan. Dengan signifikansi ini, orang dapat mengaitkan (identitas) diri pada ruang di mana mereka hidup dalam cakupan kekuasaan tersebut. Apa yang tidak dapat dikaitkan dengan ruang di mana mereka hidup dalam scope kekuasaan tersebut disignifikansi sebagai outside (Marchart 2007: 93). Sedangkan bagi Mouffe sendiri, identitas kita sudah selalu ditentukan oleh penerimaan kita atas liyan yang plural. Ia mengatakan,

“When we accept that every identity is relational and that the condition of existence of every identity is the affirmation of a difference, the determination of an 'other' that is going to play the role of a 'constitutive outside', it is possible to understand how antagonisms arise. In the domain of collective identifications, where what is in question is the creation of a 'we' by the delimitation of a 'them', the possibility always exists that this we/them relation will turn into a relation of the friend/enemy type.” (Mouffe, 2003: 2-3).

Bagi Mouffe, demokrasi radikal mesti dilihat dalam konsepsinya tentang “pluralisme agonistik”, di mana demokrasi pluralistik radikal menjadi proyek utama perjuangan demokratisnya. Namun demikian, perlu digarisbawahi bahwa demokrasi radikal dan demokrasi agonistik merupakan dua hal yang berbeda. Klarifikasi Mouffe,

“Some people believe that agonistic democracy and radical democracy is the same thing. They are completely different and located at different levels. Radical democracy is a political project. Agonistic democracy is an analytical theory. It does not have any political content.” (Mouffe, in Hansen & Sonnichsen, 2014: 3-4)

Pluralisme agonistik menggambarkan keragaman interpretasi yang berbeda dari prinsip-prinsip demokratis dasar, kesetaraan dan kebebasan, yang seharusnya hidup berdampingan (co-exist) dan saling berbenturan dalam ruang politik yang hidup. Proyek radikal demokrasi hanya salah satu usaha untuk menjadi hegemon dalam pluralisme agonistik ini. Mouffe mendefinisikan proyek demokrasinya yang radikal sebagai reformulasi gagasan sosialis. Mouffe menekankan perluasan demokrasi ke berbagai tipe hubungan sosial. Dengan formulasi yang berbeda Mouffe menandaskan, “proyek demokrasi radikal dan plural, dalam arti utama, tidak lain adalah berjuang untuk otonomi dalam lingkupnya yang paling maksimum atas dasar generalisasi logika kesetaraan-egalitarian”.

Dengan demikian bagi Mouffe, pluralisme par excellence selalu terangkai secara niscaya dengan konflik. Mouffe menandaskan bahwa “tidak ada politik radikal tanpa adanya musuh; sehingga membutuhkan penerimaan ketakterhapuskannya (ineradicability) antagonisme.” (Laclau & Mouffe, 1988: xvii) Antagonisme ini, sebagai keniscayaan ontologis demokrasi, tidak dapat menjadi pusat kuasa, karena tidak ada politik radikal tanpa adanya upaya menentang relasi kuasa yang telah ada, sehingga membutuhkan demarkasi tegas tentang mana kawan mana lawan atau penciptaan musuh (adversary), sehingga melaluinya hegemoni yang baru dapat diperjuangkan.

Mouffe menjelaskan bahwa tujuan politik demokratis adalah untuk mentransformasi hubungan „antagonisme‟, yakni hubungan antar musuh (enemy) menjadi “agonisme‟, yakni hubungan antar lawan (adversary/opponent), meskipun ia menyatakan,

“...my position is „agonism with antagonism‟. My understanding of the agonistic relation is that it is a sublimated antagonism. I also have spoken about a „tamed relation‟, precisely to indicate that antagonism never disappears.” (Mouffe, in Hansen & Sonnichsen, 2014: 6)

Dalam perlawanannya terhadap teori demokrasi deliberatif, Mouffe berpendapat bahwa pluralisme agonistik tidak berusaha menghilangkan konflik antagonis dengan mencapai konsensus, tetapi lebih bertujuan untuk menjinakkan antagonisme sedemikian rupa yang akan memungkinkan ekspresinya melalui institusi. Dengan demikian, pluralisme agonistik adalah sistem politik yang tepat untuk postmodernitas karena menerima antagonisme yang tak terhindarkan sebagai keniscayaan. Menurut Mouffe, tiadanya finalitas politik, melainkan hanya ada “konfrontasi yang terus berjalan (ongoing confrontation),” jangan dilihat secara negatif melainkan dilihat sebagai penanda hidupnya (vibrance) pluralisme demokrasi. Meskipun dalam tulisan-tulisannya yang terakhir Mouffe tidak membahas secara spesifik mengenai visi demokrasi pluralis ini, terlihat dari tulisan-tulisan sebelumnya, terutama dalam buku Hegemony and Socialist Strategy yang ditulis bersama Ernesto Laclau, bahwa ia menganjurkan perlunya perluasan demokrasi ke dalam berbagai segi kehidupan masyarakat (kerja, rumah, kesehatan, pendidikan, budaya, seks, dan seterusnya). Mouffe melihat kecenderungan ini dikonkretkan dalam kebangkitan gerakan sosial baru dan politisasi ruang sosiokultural mereka yang hingga kini masih relatif diabaikan atau dieksklusi oleh rezim demokrasi mainstream. Tantangannya adalah

“the creation of a chain of equivalence among democratic demands found in a variety of groups – women, blacks, workers, gays, lesbians, environmentalists”.

Kritik Dua Tradisi Demokrasi Radikal terhadap Demokrasi Liberal

Tulisan ini merupakan bagian kelima dari rangkaian tulisan yang membahas mengenai demokrasi radikal. Bagi mahasiswa Hubungan Internasional, materi ini dapat membantu mahasiswa memahami berbagai gerakan sosial yang terjadi dewasa ini, seperti di Hong Kong, Amerika Latin, Indonesia, Timur Tengah, dan seterusnya, di mana berbagai gerakan ini dapat dipahami melalui perspektif demokrasi radikal.

Image may be NSFW.
Clik here to view.

Dalam banyak hal, argumen Habermas-Mouffe dapat dilihat sebagai rivalitas modern-postmodern, dengan Habermas membela nalar, legitimasi, keadilan, dan universalitas, sementara itu Mouffe membela antagonisme, pluralisme, dan kontingensi. Visi politik Habermas relatif mulus, ia percaya bahwa kompleksitas sosial itu dapat dikelola dengan prosedur yang melegitimasi dan rasionalitas komunikatif; sedangkan Mouffe lebih ugal-ugalan, ditandai dengan kontestasi yang sedang berlangsung antara kelompok-kelompok sosial yang plural. Namun demikian keduanya sama-sama prihatin dengan kegagalan demokrasi liberal dan berupaya menemukan cara untuk memajukan revolusi demokratis. Dalam perdebatannya kedua kutub ini sama-sama memiliki perhatian serupa yang berkaitan dengan (1) kritik mereka terhadap demokrasi liberal yang agregatif, dan (2) komitmen terhadap nilai-nilai dan ideal-ideal tradisional demokrasi seperti kebebasan, kesetaraan, dan keadilan. Keserupaan ini juga diwarnai oleh tradisi pembacaan post-Marxisme yang mereka bagi bersama. Kritik utama kedua kutub ini dapat diringkas menjadi tiga dakuan yakni (1) bahwa demokrasi mesti dipahami dalam pengertian yang lebih luas; (2) kritik terhadap demokrasi liberal dan komunitarianisme; (3) visi transformatif atas politik.

Dalam aspek perluasan akan pengertian demokrasi, Habermas memperluas pengertian demokrasi kepada pembentukan opini publik dan bentuk-bentuk aktivitas politis lain selain aktivitas politik administratif dan parlementer. Dalam konteks negara, politik domestik bukan hanya sekadar pengorganisasian negara melainkan juga aransemen masyarakat secara menyeluruh, sejak masyarakat merupakan suatu kelindan antara lebenswelt sekaligus sistem. Di dalam dua lokus ini, masyarakat saling berdiskursus, mendefinisikan identitas, kepentingan dan preferensi dalam deliberasi informal untuk mencapai konsensus. Berikutnya konsensus ini akan dibawa ke tahap konstitutif yang merangkai informalitas di level lebenswelt ini dengan sistem politik yang ada, untuk kemudian masuk tahap terakhir yang menggunakan sarana deliberatif formal berupa voting. Dalam mekanisme ini, uang dan kuasa akan menjadi mekanisme bantuan untuk mengurangi beban dan mereduksi risiko communicative breakdown di level lebenswelt.

Sementara itu Mouffe menganggap bahwa yang tidak politik (un-political) harus dipolitisasi sebagai bagian dari perjuangan demokratis untuk mengontestasi dominasi di ranah apapun yang mungkin. Melalui posisi ini Mouffe mau mengangkat opini publik dan aktivitas-aktivitas politis yang informal sebagai sesuatu “yang politis”, sebagai suplemen bagi skema prosedural melalui parlemen, sesuai ideal yang dikemukanan de Tocqueville. Dalam pengertian ini, perjuangan melawan dominasi kapitalisme di ranah ekonomi dan mobilisasi kelompok-kelompok sosial yang berbeda juga terhitung sebagai bagian dari aktivitas demokrasi.

Kritik Habermas dan Mouffe dalam konteks ini memiliki irisan pada dimasukkannya unsur-unsur informal, yakni subjek, ke dalam politik normal, serta memperluas ranah bagi pelaksanaannya. Dalam kritik mereka terhadap demokrasi liberal dan atau komunitarian/republikan, baik Habermas maupun Mouffe menolak tendensi formalistik model demokrasi ini. Habermas menganggap demokrasi liberal sebagai model politik yang memiliki basis pada pemenuhan self-interest sebagai suatu daya yang memotivasi perilaku politik. Voting sebagai mekanisme puncak pengambilan keputusan dilakukan sebagai bentuk kompromi berdasarkan agregasi kepentingan dan preferensi. Habermas mengkritik visi politik liberal yang mengagregasi kepentingan pribadi menjadi preferensi-preferensi yang sudah sebelumnya terdeterminasi atau terbentuk (pre-formed). Sedangkan demokrasi model republikan/komunitarianisme menekankan pada public virtues dan partisipasi aktif dari warganegara dengan landasan etika politik berbasis pemahaman-diri untuk mencari titik temu common goods. Hukum diarahkan bukan sebagai mekanisme perlindungan kebebasan individual, melainkan sebagai praxis ekspresi bersama sebagai komunitas politik. Habermas mengkritik model republikan/komunitarianisme dalam aspek kesatuan kewarganegaraan (united citizenry) dan konsepsi bersama tentang common good yang akan mereduksi pluralitas inheren dalam masyarakat.

Dari kritik terhadap dua model demokrasi ini Habermas ingin membangun konsepsi ideal demokrasi dengan membuang elemen-elemen buruk demokrasi liberal dan komunitarianisme, serta mengambil keunggulan-keunggulan mereka yang disintesiskan dalam bentuk demokrasi deliberatif. Demokrasi deliberatif Habermasian ingin agar konsensus dicapai dengan cara kurang lebih terinstitusionalisasi untuk menentukan opsi-opsi dan opini politik yang rasional, serta tidak semata-mata melandaskannya pada etos bersama yang acapkali sentimental.

Di sisi lain kritik Mouffe terhadap demokrasi liberal dialamatkan kepada tegangan yang tidak dapat didamaikan antara logika kesetaraan (equivalence) dalam demokrasi dan logika perbedaan (difference) liberal. Posisi ini mengubah posisi asali Mouffe yang sebelumnya bersama Laclau sebagai duo cendekiawan maut berorientasi Marxis-sosialis ke posisi epistemologis yang lebih mapan sebagai pemikir mandiri dalam demokrasi pluralis radikal. Mengadaptasi argumen Claude Lefort, Mouffe menggambarkan demokrasi liberal sebagai “rezim” politik, yang dipahami sebagai kerangka kerja simbolik untuk mengatur hubungan sosial (Mouffe, 2000: 2; dan Lefort, 1988: 1–20). Bagi Mouffe, prinsip-prinsip kebebasan dan kesetaraan bukanlah warisan dari tradisi demokrasi. Berdasarkan pandangan C. B. Macpherson, Mouffe mendaku bahwa diperlukan distingsi antara dua tradisi dalam politik modern: “liberal dan demokrasi” (Mouffe, 2000: 2–3). Mouffe mengatakan,

"On one side we have the liberal tradition constituted by the rule of law, the defense of human rights and the respect of individual liberty; on the other the democratic tradition whose main ideas are those of equality, identity between governing and governed and popular sovereignty" (Mouffe, 2000: 3).

Kata “kratos” dalam demokrasi merepresentasikan kekuasaan. Dalam kapasitas ini, ada perebutan hegemoni antara kekuatan-kekuatan politik yang saling bersaing, misalnya konservatifisme, neoliberalisme, social democracy, maupun demokrasi radikal, dan lain-lain. Demos dalam pemahaman ini bersifat simbolik. Mouffe kemudian kembali kepada nilai-nilai republikan untuk menggali ethos yang memungkinkan adanya sosiabilitas, sebagai konsep kunci dalam demokrasi radikalnya. Bagi Mouffe, demokrasi liberal berhasil menggarisbawahi kebutuhan dan manfaat dari pluralisme, namun gagal karena mereduksi subjek sebagai agregat dalam representasionalisme. Dengan berpaling kembali kepada republikanisme, Mouffe mau mencari prinsip-prinsip sebagai pedoman commonality yang tidak meniadakan atau menghapus perbedaan-perbedaan inheren dalam masyarakat. Baik Habermas maupun Mouffe sama-sama mengapresiasi sisi baik demokrasi liberal, namun keduanya juga sama-sama jengkel dengan pemisahan antara yang privat dan yang publik, serta agregasi subjek dalam politik, sementara secara konstan mengkritik paradigma individualisme dalam demokrasi liberal.

Titik temu keserupaan mereka yang ketiga juga dapat dijumpai dalam upayanya memperlakukan politik dalam kapasitas formatif dan transformatifnya terhadap preferensi-preferensi dan identitas. Dalam demokrasi deliberatif, ini diwujudkan dengan mengekspresikan dan mengartikulasikan pemahaman-diri sehingga kita dapat membangun pemahaman tentang “siapa kita” dan “mau apa kita”, sebagai tujuan utama diskursus politik. Melalui ini diharapkan munculnya pemahaman bersama menuju arah bersama dengan dibimbing oleh telos dari konsensus. Sedangkan dari sisi demokrasi agonistik, subjek dibentuk dari partisipasi politik mereka dengan membentuk dan mengkonfrontasi identitas dengan Liyan. Di titik inilah strategi demokrasi radikal mesti diturunkan.

Strategi Mouffe bagi Manifestasi Demokrasi Radikal

Tulisan ini merupakan bagian keenam dari rangkaian tulisan yang membahas mengenai demokrasi radikal. Bagi mahasiswa Hubungan Internasional, materi ini dapat membantu mahasiswa memahami berbagai gerakan sosial yang terjadi dewasa ini, seperti di Hong Kong, Amerika Latin, Indonesia, Timur Tengah, dan seterusnya, di mana berbagai gerakan ini dapat dipahami melalui perspektif demokrasi radikal.

Image may be NSFW.
Clik here to view.
Taken from C. Douglas Lummis’ Art Work for Book :Radical Democracy”

 

Sebagai praxis, demokrasi radikal adalah sebuah manifesto. Namun sebagaimana dibahas sebelumnya, Mouffe tidak secara spesifik menurunkan visi politik pluralistiknya dalam manifesto terperinci, sehingga kita mesti berpaling kepada strategi yang ia susun bersama Laclau dalam Hegemony and Socialist Strategy. Mouffe sendiri, dalam wawancara yang dilakukan oleh Hansen & Sonnichsen (2014) menyatakan bahwa melalui Hegemony and Socialist Strategy, tujuan Mouffe dan Laclau adalah membuat intervensi di dua tingkat yang berbeda, yakni politik dan teoritis. Motivasi asli mereka adalah untuk menanggapi krisis kalangan Kiri, baik versi Marxis maupun sosial demokrasinya, serta untuk mendefinisikan kembali proyek sosialis. Kritik utama mereka terhadap Marxisme terpusat pada reduksionisme kelas dan determinisme ekonomi, yang melihat kelas dan ekonomi sebagai “basis” yang privileged untuk identitas dan politik.

Dalam perspektif ini, gerakan sosial baru dipandang hanya sebagai bagian dari “superstruktur” sehingga dengan demikian dipandang sekunder. Di samping itu Mouffe juga mengkritik Marx tentang upaya objektivikasi realitas masyarakat modern berupa intelligible totality yang transparan dan konstitutif oleh agen sosial tunggal. Mouffe tidak menolak bahwa upaya konseptualisasi ini dapat dilakukan, namun ia menolak bahwa ada agen sosial tunggal atau proletariat dunia yang menyejarah (world historical proletariat) yang dapat melakukan itu, sejak ia menolak adanya objektivitas sosial (Wenman, 2003: 585).

Melalui kritik ini, Mouffe berpaling kepada “partikularitas” subjek, identitas-identitas subjek yang menyeruak dan menuntut untuk dikenali. Identitas dalam pandangan Mouffe sudah selalu berarti identifikasi, sehingga merupakan sesuatu yang lentur dan kontingen. Subjektivitas setiap individu ditentukan oleh satu set nilai, keinginan dan pengalaman, identitas yang unik. Mirip dengan teori intersectionality, individu tidak dapat direduksi menjadi karakteristik pendefinisikan yang tunggal, seperti kelas. Dalam beberapa titik, solusi Mouffe merupakan kombinasi antara liberalisme dan Marxisme. Ia menyatakan,

“Identities are much more complicated and are never given by the position in the relations of production or, for that matter, in gender. Indeed, next to class reductionism, there also exists a form of sex reductionism, where women necessarily have a certain type of consciousness and men another. This we rejected. Instead, we argued that in order to understand the possibility of politics we needed to see how those identities were constructed and therefore how they could be transformed. We felt that post-structuralism was absolutely central to such an understanding [...] ...once you understand how identities are constructed and hegemony is established, there is nothing preventing the Right from using this understanding. As a matter of fact, the Right usually understands this better than the Left! [...] The objective of radical politics was the creation of a chain of equivalence between all the democratic struggles, class-based or not.” (Mouffe, in Hansen & Sonnichsen, 2014: 2)

Dalam konteks demikian, Mouffe (1992) menegaskan bahwa demokrasi radikal merupakan radikalisasi demokrasi liberal. Melalui posisi ini, Mouffe menekankan bahwa,

“It did not need a revolution to be implemented. If we accept that the ethical political principles of liberal democracy are liberty and equality for all, it is clear that there is no need to look for more radical principles. The problem with really existing liberal democratic societies is that they are not putting those ideals into practice [...] The radicalization of democracy should be envisaged as an immanent critique, a struggle, that does not imply a radical break but that can be done through a profound transformation of the existing liberal democratic institutions.” (Mouffe, in Hansen & Sonnichsen, 2014: 3-4)

Problemnya kemudian adalah pada sisi “bagaimana” radikalisasi ini dijalankan. Dalam karyanya terkemudian, setelah ia menabalkan posisi sebagai pengusung demokrasi pluralis radikal, Mouffe mengatakan bahwa demokrasi yang dinamis membutuhkan perjuangan agonistik, perbedaan yang jelas dan alternatif yang jelas, yang dapat dipilih oleh warga (citizens). Ia menambahkan bahwa tujuan demokrasi bukanlah konsensus, melainkan menciptakan kondisi untuk konsensus yang konfliktual. Demokrasi agonistik harus memberikan kemungkinan untuk konfrontasi antara interpretasi yang berbeda dan bertentangan dari prinsip-prinsip etika-politik yang dibagi bersama. Dalam perjuangan agonistik, orang akan mempertahankan proyek yang berbeda di mana mereka berpartisipasi aktif sebagai citizens (Mouffe, 2000).

Dalam kaitannya dengan pluralisme sebagai solusi dan strategi demokrasi radikal, Mouffe menganggap bahwa gagasan tentang citizenship menempati posisi sentral. Ia prihatin bahwa gagasan citizenship dan masyarakat telah dilucuti dari banyak konten mereka oleh individualisme liberal, sehingga membutuhkan pemulihan dimensi partisipasi aktif yang dipertahankan oleh etos dan tradisi republikan klasik. Dengan demikian Mouffe ingin memutar balik prioritas, dengan melucuti demokrasi liberal dari tendensi individualistik dan rasionalitiknya. Problemnya adalah bagaimana pluralisme maksimum ini dibela – untuk menghormati hak dari kelompok terbesar yang mungkin – tanpa menghancurkan kerangka komunitas politik yang didasari oleh institusi dan praktik demokrasi modern yang mendefinisikan identitas kita sebagai warga negara? (Mouffe, 1992: 3)

Citizenship menjadi solusi penting bagi demokrasi pluralistik karena berkaitan erat dengan penciptaan identitas dalam politik yang tidak dapat lagi didefinisikan berdasarkan pertentangan kelas. Namun pengertian citizenship ini perlu diradikalisasi. Bagi Mouffe citizenship tidak dapat dipahami dengan layak jika diceraikan dari dependensinya terhadap komunitas politik. Citizenship harus dihormati dalam kapasitasnya sebagai entitas sosial sekaligus politik. Sebagaimana menurutnya,

“It is indeed important to reassert the view of citizenship as a system of rights constitutionally guaranteed to all members of a political community, and to affirm that these rights should not only be political but also social.” (Mouffe, 1992: 7)

Citizen yang radikal dan demokratis harus menjadi warga negara yang aktif, seseorang yang bertindak (act) sebagai warga negara, yang menganggap dirinya sebagai peserta dalam usaha kolektif, yang tentu tidak cocok dengan andaian dasar liberal yang individual. Melalui ini Mouffe menandaskan bahwa kekembalian ke tradisi republikan klasik menjadi sesuatu yang sangat disukai karena dianggap mampu mengembalikan citizen sebagai partisipan yang aktif dalam komunitas. Namun Mouffe mengingatkan bahwa “komunitas” dalam konteks ini jangan dipahami sebagai polis Yunani klasik ataupun Gemeinschaft. Kedua konsep tentang “komunitas” ini sama-sama memiliki bahaya karena menggiring citizen ke dalam “nasionalisme otoritarian.” Di titik ini citizenship harus dibedakan dengan nationality, yakni sebuah konsep yang bertendensi agregatif dan, dengan demikian, totaliter.

Mouffe berpaling pada ideal-ideal republikan klasik yang telah disuplemen oleh konsepsi yang lebih kaya akan “yang politis”. Etos tentang common good dalam konsepsi ini berkaitan dengan pluralitas yang melegitimasi perbedaan-perbedaan tanpa mereduksinya ke dalam etos yang sempit. Mouffe menegaskan,

“The individual is not to be sacrificed to the citizen; and the plurality of forms of identities through which we are constituted and which correspond to our insertion in a variety of social relations, as well as their tension, should be legitimized.” (Mouffe, 1992: 5)

Problemnya kemudian adalah bagaimana cara untuk menjamin bahwa semua kepentingan dan preferensi pluralitas ini? Mouffe mengatakan bahwa citizenship yang demokratis dan pluralistik membutuhkan sebuah teori keadilan sosial (social justice) yang dapat berfungsi sebagai kerangka kerja untuk mengatur keragaman dan pluralitas tuntutan dan hak yang diklaim oleh berbagai partisipan di dalam komunitas politik. Dengan mengambil gagasan Michael Walzer dalam The Sphere of Justice, Mouffe menafsirkan bahwa Walzer berpendapat bahwa kita tidak bisa lagi memikirkan tentang ideal egaliter dalam hal “kesetaraan sederhana” (simple equality), yang membuat orang sedapat mungkin setara dalam segala hal. Menurut Walzer pandangan semacam itu tidak memberikan tingkat diferensiasi yang tinggi kepada masyarakat modern. Lebih jauh lagi, ini membutuhkan intervensi konstan terhadap bagian negara yang mengkoordinasikan distribusi semua social goods, sehingga membahayakan kebebasan. Dengan demikian Walzer mengusulkan pada kita untuk berpaling kepada “kesetaraan kompleks” (complex equality), di mana social goods yang berbeda harus didistribusikan sesuai dengan variasi kriteria yang mencerminkan keragaman barang-barang dan makna sosial mereka. Dia mengusulkan untuk membedakan beberapa bidang keadilan serta distributif yang berbeda prinsip: pertukaran bebas, reward, dan kebutuhan. Keadilan tidak akan melanggar prinsip distribusi yang khusus untuk masing-masing bidang, dan melarang adanya dominasi di bidang lain ketika satu bidang keadilan sukses diterapkan, sebagaimana kasus distribusi kemakmuran di zaman modern ini. (Mouffe, 1992: 7-8)

Pluralisme hanya dapat dirumuskan secara memadai dalam sebuah problem yang memperlakukan agen-agen sosial bukan semata-mata sebagai subjek yang unitary, melainkan subjek yang dikontruksikan dalam wacana tertentu yang spesifik dan kontingen dalam posisi interseksionistik subjek tersebut. Dalam konteks ini Mouffe menandaskan perlunya meninggalkan reduksionisme dan esensialisme yang dominan dalam interpretasi pluralisme liberal serta mengakui kontingensi dan ambiguitas setiap identitas, serta karakter konstitutif pendivisian sosial dan antagonisme. Namun menurut Mouffe, di titik inilah batas dari pluralisme dan demokrasi radikal itu sendiri.

Batas-batas dan Kritik atas Demokrasi Radikal

Tulisan ini merupakan bagian terakhir dari rangkaian tulisan yang membahas mengenai demokrasi radikal. Bagi mahasiswa Hubungan Internasional, materi ini dapat membantu mahasiswa memahami berbagai gerakan sosial yang terjadi dewasa ini, seperti di Hong Kong, Amerika Latin, Indonesia, Timur Tengah, dan seterusnya, di mana berbagai gerakan ini dapat dipahami melalui perspektif demokrasi radikal.

Image may be NSFW.
Clik here to view.

Mouffe mengatakan bahwa penting untuk mempertahankan pluralisme seluas-luasnya di berbagai bidang – budaya, agama, moralitas – kita juga harus menerima bahwa partisipasi kita sebagai citizen dalam asosiasi politik tidak dapat ditempatkan pada tingkat yang sama dengan hubungan-hubungan sosial lain. Untuk memulihkan citizenship sebagai bentuk terkuat identifikasi politik mengandaikan ketundukan kita pada prinsip politik demokrasi modern dan komitmen untuk mempertahankan institusi-institusi kuncinya. Namun prinsip-prinsip legitimasi yang antagonis tidak dapat hidup berdampingan dengan asosiasi politik tunggal; untuk menerima pluralisme pada tingkat itu secara otomatis mensyaratkan disparisi negara sebagai realitas politik. Sayangnya dengan cara ini tidak akan ada lebih banyak demokrasi, melainkan justru sangat mengesampingkan kemungkinannya.

Dalam masyarakat antagonistik dan agonistik, yang krusial adalah menentukan demarkasi untuk membedakan mana musuh, mana lawan. Di sisi lain, dalam pluralitas tersebut kita harus membela kebebasan berekspresi dan mengutarakan ide-ide. Ini sulit karena dalam banyak kasus penentuan ini diambil dengan alasan politik yang pragmatis. Mouffe mencontohkan,

For instance, a declared Nazi party should not be allowed, or an extreme Muslim party, which wants to abolish the liberal system and establish a theocracy. This is very clear, they are enemies. But most right-wing parties are borderline cases. This is why I think, regarding the question of the limit, that the criterion, is really chosen on pragmatic grounds.” (Mouffe, in Hansen & Sonnichsen, 2014: 7)

Dalam dunia yang demikian plural, pluralitas hegemoni masing-masing subjek menjadi tak terhindarkan. Namun Mouffe mendukung pluralitas hegemoni. Mouffe menekankan pentingnya lembaga-lembaga demokrasi-liberal untuk mengatur perjuangan ini, menolak segala jenis transformasi sosio-politik yang benar-benar radikal, dan berpendapat bahwa institusi semacam itu perlu direformasi. Namun dalam posisi ini, demokrasi radikalnya menjadi demikian rapuh. Ia mengatakan,

“In a multi-polar world, there would be a pluralization of hegemonies. If every order is a hegemonic order and having a single hegemony is a problem, what is the solution? It can‟t be the cosmopolitan world, because this would suppose the possibility of a world beyond hegemony. What I propose in my conception of the multi-polar world is a pluralization of hegemonies, with a plurality of regional poles that organize their political and economic affairs in different ways. In this sense the relationship between different poles is an agonistic one, in which there will be disagreement, but there will be acceptance of this disagreement, where other values are legitimate.” (Mouffe, in Hansen & Sonnichsen, 2014: 8)

Namun kritik personal kami, Mouffe melupakan fakta bahwa demokrasi selalu berurusan dengan kekuasaan. Dispersi kekuasaan ke tangan pluralitas hegemoni civil society memiliki konsekuensi tidak diindahkannya distingsi alamiah yang merupakan artikulasi dari antagonisme itu sendiri. Tidak mungkin memikirkan demokrasi yang diceraikan dari kekuasaan, dan tidak mungkin pula memikirkan kekuasaan yang diceraikan dari antagonisme alamiah Machiavellian: distingsi antara “penguasa” dan “yang dikuasai”; sebab penguasa selalu akan menemukan subjek untuk dikuasai.

Dengan mengambil pandangan Lefort, politik merupakan kuasi-representasi atas ”yang politis”. Relasi ini memiliki makna bahwa kekuasaan bekerja dalam tatanan simbolis. Wujud simbolisasi tersebut ditemukan dalam pemanggungan (staging) kekuasaan, atau apa yang disebut Lefort sebagai mise-en-scène (Marchart 2007: 93). Pemanggungan kekuasaan tersebut adalah peristiwa simbolis (symbolic event) yang memberikan makna (sens) sekaligus bentuk (forme) pada yang sosial dengan merepresentasikannya pada dirinya sendiri. Lefort mengatakan,

When we speak of symbolic organization, symbolic constitution, we seek to disclose beyond practices beyond relations, beyond institutions which arise from factual givens, either natural or historical, an ensemble of articulations which are not deducible from nature or from history, but which order the apprehension of that which presents itself as real” (Lefort dalam Flynn 2005: 118).

Dengan kata lain, pemanggungan kekuasaan harus digiring kepada ranah di mana ia menemukan bentuknya: kekuasaan perlu panggung di mana ia direpresentasikan. Tidak ada masyarakat tanpa kekuasaan, namun tidak ada kekuasaan tanpa representasi,

“Lefort suggests that power can only operate as represented; therefore political power and its representation are inseparable” (Steinmetz-Jenkins 2009: 109).

Dengan kalimat lain, tidak ada masyarakat tanpa ”kuasi-representasi” (Marchart, 2007: 93). Segi mise-en-forme inilah yang membedakan bentuk-bentuk pemerintahan, apakah totalitarianisme atau demokrasi, sekaligus menjadi pembeda dalam pendivisian asali masyarakat. Macey mengatakan,

“The comparison between democracy and totalitarianism shows that these societies do not differ only by the form of their government, but also by their mise en forme of human coexistence. In other words, the way in which they are organized and the relationships between people tied, is specific to each one of them” (Macey 1988: 15).

Apabila boleh disederhanakan, rangkaian di atas dapat digambarkan sebagai lingkaran semiosis, di mana kekuasaan berfungsi sebagai petanda (signified) dari identitas sosial sebagai penanda (signifier) yang memiliki acuan “panggung peristiwa simbolis” yang merepresentasikan jalinan signifikansi tersebut. Karena ini berada dalam level simbolis, maka tidak ada pondasi yang benar-benar kukuh, melainkan sebaliknya, representasi yang menjadi referen dari pemanggungan kekuasaan justru dijamin oleh tatanan simbolis itu sendiri. Dalam level simbolis, antagonisme mengandaikan konflik antara penguasa dan yang dikuasai (”masyarakat”). Antagonisme ini dapat dipandang sebagai kelindan antara konflik dalam tataran ontologis dan konflik dalam tataran ontis seperti diuraikan sebelumnya. Namun sebaliknya, masyarakat yang berbasis konflik murni juga tidak mungkin karena justru akan self-destructive. Oleh karena itu, konflik ontologis sebagai “Ada”-nya masyarakat memerlukan penyaluran simbolis (symbolic outlet), sebab menurut Lefort, tanpa adanya penyaluran simbolis, kumpulan manusia hanya akan menjadi “state of nature”.

Dengan demikian, kelindan antara konflik ontologis-ontis ini bukan semata-mata perbedaan atau oposisi, melainkan relasi bolak-balik. Antara politik dan “yang politis” dihubungkan oleh relasi permainan penghadiran dan penghapusan (presencing and absencing) secara sinambung. Bagi Lefort, syarat posibilitas bagi hadirnya (presence) politik adalah justru penghapusan/penghilangan (absencing) elemen ontologisnya. Sebaliknya, “yang politis” hadir (presence) ketika terjadi penghilangan ”pengada ontis” (ontic being) dari fakta-fakta partikular politik. Akan tetapi ini dimainkan dalam level simbolis. Dick Howard menafsirkan “yang politis” sebagai kehadiran simbolis di mana ”eksistensi sebagai ketidakhadiran yang nyata (the real absence) membuat perubahan politik menjadi mungkin” (Howard dalam Marchart 2007: 91).

Dalam masyarakat demokratis, antagonisme semacam ini memustahilkan adanya sebuah partai tunggal (sebagai salah satu bentuk penyaluran simbolis) yang secara penuh mendominasi partai-partai lain. Juga tidak ada seorang aktor sosial yang dapat memegang peran sebagai pembentuk makna sosial sebagai keseluruhan, karena permainan divisi-divisi sosial akan selalu mencegah aktor tunggal yang memonopoli makna sosial (“figure of absence”).

Penguasa dan masyarakat bersifat relasional, tanpa saling meniadakan. Yang satu menjadi syarat posibilitas bagi identitas yang lain. Pondasi masyarakat dibentuk melalui relasi konfrontasi mutual sebagai syarat posibilitasnya. Masyarakat hanya dapat terbentuk melalui proses self-division. Namun sekali lagi, ini terjadi dalam level simbolis, sebab kemutlakan itu tidak mungkin terjadi. Artinya, masyarakat sesungguhnya dibangun di atas pondasi yang hampa (void). Setiap bentuk masyarakat harus selalu melalui pengalaman akan yang hampa ini. Implikasinya, identitas masyarakat juga berdiri di atas basis yang hampa tersebut.

Dalam insight Lacanian, kekosongan ini kemudian diisi oleh Yang Simbolis (The Symbolic), sebagaimana diterangkan sebelumnya. Namun yang simbolis ini selalu diganggu oleh kontingensi radikal yang niscaya, yaitu absennya pondasi itu sendiri. Absennya pondasi inilah Yang Nyata (The Real), yakni keniscayaan yang tidak dapat sepenuhnya dikontrol, diringkus, dan ditotalisasi oleh sistem apapun. Oleh karena itu, keniscayaan ini membutuhkan proses yang bersifat imajiner, dengan tujuan untuk menutupi atau menyembunyikan absennya pondasi yang berpangkal pada konflik pendivisian asali (original division) tersebut. Penyembunyian ini dalam wawasan Lacanian disebut fase “Imajiner” (The Imaginary), dalam pelbagai bentuknya.

Mengapa absennya pondasi masyarakat mesti disembunyikan dalam Yang Imajiner? Lefort beralasan, mana mungkin kita dapat menerima fakta bahwa pondasi masyarakat kita hanyalah sebuah jurang tanpa dasar yang secara paradoksikal justru menjadi syarat posibilitas berdirinya masyarakat? Namun kendati demikan usaha penutupan dan penyembunyian imajiner ini “ditakdirkan” untuk selalu gagal akibat gangguan dari keniscayaan The Real tersebut.

Referensi:

  • Hansen, Allan Dreyer & Sonnichsen, André. 2014. Radical Democracy, Agonism and the Limits of Pluralism: An Interview with Chantal Mouffe. Distinktion, 15(3), 263-270.
  • Kapoor, Ilan, 2014, Deliberative Democracy or Agonistic Pluralism? The Relevance of the Habermas-Mouffe. Debate for Third World Politics, Alternatives: Global, Local, Political, Vol. 27, No. 4 (Oct.-Dec. 2002), pp. 459-487
  • Laclau, Ernesto & Mouffe, Chantal, 1998, Hegemony and Socialist Strategy: Towards a Radical Democratic Politics (Second Edition), London and New York: Verso Books
  • Lefort, Claude, 1978, Les Formes de l‟historie, Paris: Galimard
  • Lefort, Claude, 1988, Democracy and Political Theory, (translated by Richard Macey), Polity Press
  • Lefort, Claude, 2000, Writing: The Political Test (translated by David Ames Curtis), Durham, North Carolina: Duke University Press
  • Macey, David, Introduction dalam Lefort, Claude, 1988, Democracy and Political Theory, Polity Press
  • Marchart, Oliver, 2007, Post-Foundational Political Thought: Political Difference in Nancy, Lefort, Badiou and Laclau, Edinburgh Univerity Press
  • Mouffe, Chantal (ed.), 1992, Dimensions of Radical Democracy: Pluralism, Citizenship, Community, London and New York: Verso Books
  • Mouffe, Chantal, 2000, The Democratic Paradox. London and New York: Verso Books
  • Mouffe, Chantal, 2003, The Return of the Political. London and New York: Verso Books
  • Mouffe, Chantal, 2005, On The Political. London: Routledge
  • Rancière, Jacques, 2006, Hatred of Democracy (S. Corcoran, tr.). London: Verso.
  • Ricoeur, Paul, 1965, “The Political Paradox”, in History and Truth (Translated by Charles A Kelby), Evanston, Ill: Northwestern University Press, 1965, pp. 247-270
  • Seferiades, Seraphim, 2007, Radical Democracy: Semantics and History, A Very Short Introduction, Paper Prepared for Presentation at WS-4 Helsinki ECPR, 8-11 May 2007, retrieved from https://ecpr.eu/Filestore/PaperProposal/0ceecba0-41d5-4b88-ba43-b3e2829e1a8f.pdf
  • Steinmetz-Jenkins, Daniel, 2009, Claude Lefort and the Illegitimacy of Modernity, Journal for the Cultural and Religious Theory, vol JCRT 10.1 Winter 2009
  • Wenman, Mark Anthony, 2003, Laclau or Mouffe? Splitting the Difference, Philosophy and Social Criticism Volume: 29 issue: 5, page(s): 581-606

Dinna Wisnu: Dangerous wish to extend presidential term limit

Still related to the long-standing issue of the presidential term, International Relations observer from Bina Nusantara University, Dinna Wisnu, gave a heartfelt comment.

Image may be NSFW.
Clik here to view.

Politicians are testing the waters over an initiative to change the presidential term limit. Some have proposed a single term of six or seven years; others called for three terms of four years or no limit for a five-year term as long as the president is not elected back-to-back. The idea is to enable the president to complete their development programs.

The complete article can be read here.

Promoting Democracy and Inclusivity in The Digitalization Era

Image may be NSFW.
Clik here to view.

the 4-6 December of 2019, Willy Dwira Yudha attended the 3rd Bali Democracy Student Conference (BDSC) as part of the 12th Bali Democracy Forum (BDF) in Nusa Dua, Bali. BDF is an annual conference hosted by the Ministry of Foreign Affairs of Republic of Indonesia. The forum facilitated dialogues through sharing experiences and best practices in managing diversity that encourages equality, mutual understanding and respect as principles of democracy. This year, Bali Democracy Student Conference raised the theme of “Democracy and Inclusivity” in which digital democracy became the main topic of discussion amongst the best youth leader of the world. The forum attended by 150 youth from 50 countries all around the globe.

Let’s Talk Digital with H.E. Vice Foreign Minister Mahendra Siregar

Upon arrival in Bali, BDSC participants were greeted with a light-discussion with the Vice Foreign Minister Mahendra Siregar about digitalization of Democracy in Courtyard Hotel Nusa Dua. The talk was added to the conference schedule to respond the lessening interest of youth into politics through conventional ways. The reason being, is technological advancement in Industrial Revolution 4.0 and globalization has changed their way of communication. Now, government institutions must reform their way of communication to adapt to change. Mr. Mahendra Siregar said that youth are the largest population in most countries. Their voice is important in order to promote an inclusive democracy; and social media is the way to capture their voice whether it is using online petition, hash tag or trending topics. The talk was closed with a surprise welcoming speech by Foreign Minister Retno L. P. Marsudi.

Image may be NSFW.
Clik here to view.

Before the formal talk in Courtyard hotel, Willy Dwira Yudha had the chance to discuss in private with the Vice Foreign Minister Mahendra Siregar in Soekarno-Hatta airport. In this informal discussion, Willy asked about how Indonesian education institutions can contribute to youth inclusivity of in conducting democracy. His answer was fundamental: (1) Education institutions are here to prepare our youth to deliver quality thoughts that is produced from critical thinking and well-mannered delivery processes; (2) Social Media is a natural product of industrial revolution 4.0 and globalization to capture youth’s voice, government institutions are the ones needed to reform; (3) In recent time, education institution needs to integrate their curriculum and teaching methods with industry; this way, youth can feel that democracy has a major relation to their future well-being.

Image may be NSFW.
Clik here to view.

3rd Bali Democracy Student Conference

The conference was started with a join session with Bali Democracy Forum (BDF) participants and Bali Civil Society and Media Forum (BCSMF). Foreign Minister Retno L. P. Marsudi opened the forum and greeted all Ministers, Vice Ministers, Ambassadors and Diplomats from foreign countries to Bali, Indonesia. Then, participants are preceded to their parallel sessions.

Image may be NSFW.
Clik here to view.

During the three panel discussions, Willy noticed that most student attendees are those pursuing their master’s degree or young research fellow in their local research institutions and embassies. The panel discussions are also moderated and presented by fellow attendees. Those selected students were representative of Italy, Sudan, Russia, Australia and Indonesia covering topics including: (1) Media and Democracy: A Contest of Credibility; (2) Democracy in Digital Ecosystem; (3) Democracy in the Era of Industry 4.0; (4) Social Media as Platform for Freedom of Expression; (5) Promoting Media Role and Literacy Against Hoax; and (6) Demographic Bonus: Opportunities and Challenges of Democracy.

Image may be NSFW.
Clik here to view.

Closing Ceremony and Site Visit

Image may be NSFW.
Clik here to view.

On the last day of the forum, students come out with a Policy Recommendation that was presented in a cross-plenary session with BDF and BSCMF participants. The students were represented by Nyeuvo Veronica Amukushu from Namibia through an open election by the 150 participants. The session was moderated with H.E. Dino Patti Djalal, former Ambassador of Indonesia to U.S. and discussed with 4 other representation from BDF, BSCMF and MOFA RI. The Policy Recommendation by the youth can be retrieved in www.bdf.kemlu.go.id. After the cross-plenary session, H.E. Meutya Hafid, Chairman of the Commision 1 of House of Representative of Republic of Indonesia concluded the 22th Bali Democracy Forum with a closing remarks.


IR BINUS Goes to Taipei!

On 7-13 December 2019, our Department finally conducted one of our leading programs of the year: IR Immersion Program – Passage to Taiwan. In total, 22 students – of which four of them are from the Department of Primary Teacher Education and International Business Management – visited Taipei and the surrounding areas to learn more about the country. Our Deputy Head, as well as the coordinator of the program, Ms. Ratu Ayu Asih Kusuma Putri, accompanied the students for the whole duration of the trip.

Image may be NSFW.
Clik here to view.

Immersion program has been one of the leading programs in the Department of International Relations, Bina Nusantara University. Corresponded to nature and expected graduate outcomes of the Department, we try to make sure that each student is exposed to the global community and has experiential learning of global issues by directly interacting with people from other countries. Ultimately, the trip combines learning experience, cultural exchange, and leisure to provide a wholesome and valuable journey to the participating students.

Image may be NSFW.
Clik here to view.

Taiwan has emerged as one of the leading Asian economies in the past few decades, which subsequently makes the country an important business and political partner for Indonesia. Furthermore, as one of the East Asian cultural centers, Taiwan offers a variety of cultural experiences ranging from historical traditional to modern ones.

Image may be NSFW.
Clik here to view.

Most importantly, our Department has been maintaining a good relationship with some of the best universities in Taiwan. In addition to that, some of our lecturers are graduates from universities in the country. We have been sending and receiving students in the study abroad scheme for the last five years and working on a valuable academic collaboration between faculty members.

A Valuable Visit to Taiwan-Asia Exchange Foundation (TAEF)

Image may be NSFW.
Clik here to view.

As part of the academic experience in IR Immersion Program 2019: Passage to Taiwan, participants visited Taiwan-Asia Exchange Foundation (TAEF) on 9 December 2019. TAEF is a policy-oriented think tank in Taiwan with a focus on Southeast Asian and South Asian affairs. The organization primarily promotes the spirit of the New Southbound Policy and comprehensive ties between Taiwan and 10 ASEAN countries.

Image may be NSFW.
Clik here to view.

The students had a chance to visit the TAEF office and had a sharing session, particularly on the New Southbound Policy as well as TAEF programs. In addition to hosting various international conferences – including the Yushan Forum – TAEF offers some people-to-people exchange and youth development opportunities, to which the participants have taken a great interest. They asked many questions about these opportunities and expressed their excitement to participate in the future.

IR Binus Goes to Taiwan! First Campus Stop: National Chengchi University

Image may be NSFW.
Clik here to view.

On 9 December 2019, participants of the IR BINUS Immersion Program 2019 got a chance to visit the beautiful National Chengchi University (NCCU). The university was founded in 1927 and is a powerhouse of political and social science education in Taiwan. President Chiang Kai Sek was a co-founder of the university, and it has been known as one of the best universities in the country.

Image may be NSFW.
Clik here to view.

We were warmly greeted and hosted by the International College of Innovation, headed by Prof. Fu Kuo Liu. ICI is the tenth college of NCCU that blends innovation and global governance whose mission is to provide education in Asian Studies and Business and Global Governance. Our Department has built a great relationship with Prof. Liu over the years, and he was the supervisor of our Head of Department, Rangga Aditya Ph.D. – a valuable ties which have solidified our collaboration in this immersion program.

Image may be NSFW.
Clik here to view.

Prof. Liu shared his expertise in Taiwan’s defense, security, and political situations, particularly in its relationship with the United States and mainland China. Due to the relevance of these topics to the International Relations study, participants asked relevant questions and had a fruitful discussion at NCCU.

IR Binus Goes to Taiwan! Ready to Mingle: A Visit to Tamkang University

Image may be NSFW.
Clik here to view.

On our third day in Taiwan, accompanied by Ms. Paramitaningrum, Deputy Head of Global Class – and a graduate of the University – we visited Tamkang University. The University was founded in 1950 and was Taiwan’s first private college. Over the last 60 years, TKU emerged as a leading educational institution focusing on providing learning services with an innovative spirit. The campus is located in the beautiful Tamsui area surrounded by rivers, mountains, and the vibrant Tamsui Old Street.

Image may be NSFW.
Clik here to view.

Participants had a different experience in TKU as Prof. Ya-wen Yu, our host, asked them to join her class with her students. After Prof. Yu gave a brief lecture on the New Southbound Policy, she asked her students and immersion participants to exchange questions. Many of her students – both Taiwanese and international students – asked exciting and challenging questions mainly about Indonesia’s and participants’ opinions about Taiwan. The session was very dynamic, with our students gave interesting answers in response to those questions.

IR Binus Goes to Taiwan! Back to the Roots: Visiting the Indonesia Economic and Trade Office to Taipei (KDEI) and Indonesia Diaspora Network in Taiwan

To conclude the IR Binus Immersion Program 2019, on our last day, we visited the Indonesia Economic and Trade Office to Taipei (KDEI). We had a meeting with representatives of the Indonesia Diaspora Network (IDN) in Taiwan. KDEI is the representative office of Indonesia in Taiwan, functioning as a de facto embassy in the absence of diplomatic relations (due to Indonesia’s current One-China Policy stance). We were welcomed by the Deputy of KDEI, Mr. Teddy Surachmat, and the Director of the Indonesian Citizens Protection and Social Cultural Department, Mr. Fajar Nuradi. Also present was the coordinator of Indonesia Diaspora Network in Taiwan, Mr. Hanas Subakti, and some members of the organization.

Image may be NSFW.
Clik here to view.

We had a sharing session led by Mr. Teddy Surachmat and Mr. Hanas Subakti, primarily discussing the relations between Indonesia and Taiwan in many different contexts as well as the life of the Indonesian diaspora in Taiwan. Some students asked critical questions about the role of KDEI and IDN in protecting Indonesian citizens in Taiwan, given the vast population currently residing in the country. Furthermore, as participants had learned about the New Southbound Policy and the current political situation in Taiwan, some of them asked essential questions about how those issues could impact Indonesia-Taiwan relations. The discussion went very well, with some participants continued their conversation after the formal session was over.

Viewing all 428 articles
Browse latest View live


<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>