HUT RI-74
IR Binus Student in International Youth Volunteering Chapter India 2019
On March 23rd to 27th 2019 perhaps is the greatest experience that I have for this year. I have the chance to volunteer in the slum schools in New Delhi and Aligarh, India. It was not a long ago that I have heard about the terrible condition in India. In the end on 2018, I saw this information on needing volunteer to go to India on March 2019. Short story, I applied the forms and finishing the requirements. Then in January 2019, I got the interview by phone, 1 week or 2 weeks later I got an email with the attachment of my Letter of Acceptance, I was so happy that I know I will not only be having regular experience because this is my first time on being international volunteer.
On the first night in India, we gathered around in the room and had the briefing about what are the activities that we will do tomorrow and what kind of items that we should bring. The variety of the volunteer itself are quite diverse, in Indonesia there are 19 volunteers that were accepted and 1 from Egypt. All of us, came from different background and field. Some of us are actual teacher, and some of us are university students like me, and some of us are the employee of a private company, and most important the volunteers came from all across part of Indonesia from Sumatra to Papua. And we do have 1 in common, which is our high social awareness.
These 20 volunteershave been divided into 3 groups, 1 for healthcare team, 1 for education team, and 1 for social team. We have a task to do based on our group that we are in. The healthcare team will teach the children about health and so are the rest of the group will teach the children based on their category. I was in the social group, where I was raising awareness to the children on anti-bullying and sexual harassment. The response that I get from the children are quite fantastic, they all so active and always raising their hands to ask more and more.
In India, I have learned that you can even find the biggest gap in the world, for example, you can even find the richest person and you can find the poorest people at the same village. It also applies to the education school there. Where I visited the slum schools, I feel so horrible seeing this children study on the literally on the ground holding only one book and one pencil. Most of their parents are jobless and some of the parents are scavengers. But their spirit to study is quite amazing, I told them the story of the rise of their Prime Minister Sir Narendra Modi, when he was a kid, he is just a tea seller and he never give up until now he is the most powerful man in India. The response of the children is quite overwhelming. The teachers in their school are volunteers, they do not get paid either, it is pure of our social care for them.
Even though, my experience in India is only for a week, but the knowledge and the memories that I had there are incredible. It makes me want to be more active in the social field, especially another opportunity on the other international volunteer program. But of course, in the national experience too. Let me close this story by quoting other volunteer saying “I may only be one person. But I will be that one person who makes a difference”.
Indonesia–Australia Perlu Meningkatkan Kerja Sama dalam Indo-Pasifik: Duta Besar Australia untuk Indonesia dalam Kuliah di Lembaga Ketahanan Nasional Indonesia
Pada Senin, 19 Agustus 2019, dosen dan mahasiswa Departemen Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara menghadiri kuliah oleh Duta Besar Australia untuk Indonesia, H.E. Mr Gary Quinlan, A.O., di Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Republik Indonesia, bertajuk “The Strategic Equation of the Indo-Pacific: How Indonesia and Australia Can Work Together”.
Kuliah dibuka dengan kata sambutan oleh Gubernur Lemhannas Letjen TNI (Purn.) Agus Widjojo. Kemudian, moderator mempersilakan Mr Quinlan menyampaikan kuliahnya. Mr Quinlan mengawali kuliahnya dengan membahas sejarah hubungan bilateral Indonesia–Australia yang terjalin sejak 1949.
Australia memiliki peran dalam kemerdekaan Indonesia. Setelah agresi militer Belanda I pada 1947, Australia mengangkat konflik tersebut ke Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB). Ketika DK PBB memerintahkan gencatan senjata dan pembaruan negosiasi, Indonesia memilih Australia untuk masuk keKomisi Tiga Negara, yang kemudian menghasilkan Perjanjian Renville pada 1948. Kemudian, setelah agresi militer Belanda II pada 1948 dan Konferensi Meja Bundar pada 1949, Australia termasuk salah satu negara yang pertama mengakui kemerdekaan Indonesia.
Sejarah hubungan Indonesia–Australia dapat dikatakan baik. Kedua negara saling memberi status most favoured nation terkait perdagangan dan tarif sejak 1959.Perdagangan dan investasi antara kedua negara meningkat dan bertumbuh stabil sejak 1980-an. Kedua negara mengadakan Forum Menteri Indonesia–Australia pertama pada 1994, yang kemudian diadakan setiap dua tahun, mempertemukan para menteri luar negeri, perdagangan, imigrasi, dan lingkungan. Bom Bali 2002, yang turut menewaskan warga Australia, mendorong kerja sama yang lebih besar antara lembaga penegak hukum di kedua negara. Pada 2015, kedua negara menyepakati Kerangka Kerja Sama Keamanan yang disebut Perjanjian Lombok. Pada 2018, kedua negara mengumumkan kemitraan strategis komprehensif. Selain itu, Indonesia adalah penerima terbesar bantuan Australia, khususnya selama krisis finansial Asia 1997 dan setelah tsunami Aceh 2004.
Kendati demikian, hubungan Indonesia–Australia tidak selalu mesra; sejarah kedua negara diwarnai berbagai masalah politik. Australia terlibat membantu Malaysia selama periode Konfrontasi Indonesia–Malaysia pada 1964–1966. Saat Operasi Seroja ke Timor Timur pada 1975–1976, lima wartawan Australiadi Kota Balibo turut menjadi korban jiwa. Setelah lepasnya Timor Timur dari Indonesia pada 1999, Australia memimpin misi penjaga perdamaian INTERFET ke wilayah tersebut, yang ditentang oleh Indonesia. Pada 2013, kebocoran dokumen melaporkan bahwa pada 2009, Australia menyadap telepon seluler Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan beberapa pejabat tinggi negara.
Walau terdapat berbagai masalah politik tersebut, hubungan Indonesia–Australia harus terus dijaga. Bagi Australia, keamanan kawasan sekitarnya penting untuk menjaga stabilitas; apalagi Australia bukan bagian dari institusi internasional besar seperti NATO atau Uni Eropa, sehingga harus melindungi keamanannya sendiri. Sebaliknya, dalam Poros Maritim Dunia Indonesia, Australia berada di sayap selatannya, menjadikan kedua negara memiliki ekosistem strategis bersama.Perjanjian Lombok menunjukkan dukungan Australia terhadap kedaulatan Indonesia dan kepentingan membangun kemitraan keamanan komprehensif bersama. Selain itu, kedua negara memiliki perekonomian yang besar, dan sama-sama berada dalam G20.
Perubahan lingkungan strategis keamanan dunia semakin menunjukkan pentingnya kerja sama keamanan Indonesia–Australia. Titik berat geopolitik dunia sekarang telah bergeser dari Samudra Atlantik ke Samudra Hindia dan Pasifik (Indo-Pasifik). Kemunculan peperangan siber juga memunculkan tantangan keamanan baru. Menghadapi tantangan keamanan baru di kawasan Indo-Pasifik, kedua negara perlu meningkatkan kerja sama. Indonesia memiliki tiga kemitraan strategis komprehensif, yaitu dengan Tiongkok, India, dan Australia. Di lain pihak, Australia memiliki tiga kemitraan strategis komprehensif, yaitu dengan Tiongkok, Singapura, dan Australia. Hal ini menunjukkan pesan strategis bahwa hubungan Indonesia–Australia sangat penting dibanding hubungan dengan negara-negara lain. Kelima pilar kemitraan strategis komprehensif Indonesia–Australia (ekonomi dan pembangunan, hubungan antarwarga, keamanan, kerja sama maritim, serta stabilitas dan kemakmuran Indo-Pasifik) perlu diturunkan dalam rencana aksi terperinci masing-masing.
Lemhannas adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan pendidikan pemimpin tingkat nasional, pengkajian strategis ketahanan nasional, dan pemantapan nilai-nilai kebangsaan. Didirikan pada 1965 dengan nama Lembaga Pertahanan Nasional, lembaga ini kini bertanggung jawab langsung kepada Presiden dan dipimpin Gubernur Lemhannas yang sejajar dengan Menteri.
Mahasiswa Departemen HI Binus yang menghadiri kuliah Mr Quinlan di Lemhannas antara lain Agnes Theodora Yustina A. Gambujap, Mohammad Gibran, Oktrifiyanti Gunadi Puteri, dan Rosalina Mathilda Olda. Mereka ditemani dosen Departemen HI Binus Tangguh Chairil.
Selamat Jalan Bapak B.J. Habibie
Cybersecurity and resilience in national security
Pada 9 September 2019, dosen dari Jurusan Hubungan Internasional Bina Nusantara University, Curie Maharani, Ph.D, bersama rekan, Reine T. Prihandoko, menulis sebuah artikel opini di Jakarta Post yang berisi tentang prospek dan tantangan keamanan siber di Indonesia, terutama setelah Indonesia mendirikan Badan Siber dan Sandi negara (BSSN) pada 2017 berjudul “Cybersecurity and Resilience in National Security.” Permasalahan keamanan siber ini semakin menarik jika dikaitkan dengan peran aktif Indonesia dalam berbagai organisasi multilateral, seperti ASEAN dan PBB. Artikel lengkapnya dapat dibaca di sini dengan berlangganan konten premium Jakarta Post.
Obituari untuk B.J. Habibie
Pada 11 September 2019, Indonesia kehilangan satu figur pemimpin yang berasal dari kalangan ilmuwan, satu-satunya mantan Wakil Presiden yang kemudian diangkat menjadi Presiden, menggantikan Soeharto pada 1998. Rasa duka dan kehilangan yang mendalam ini juga dirasakan oleh segenap Civitas Akademika Jurusan Hubungan Internasional Bina Nusantara University. Salah seorang dosen, yakni Tangguh Chairil, berkesempatan menuliskan ungkapan belasungkawanya melalui artikel yang dimuat dalam theconversation.com, dengan judul “B.J. Habibie: Indonesia’s president and brilliant engineer who pioneered the country’s aircraft industry with passion.” Artikel yang berfungsi sebagai ungkapan duka sekaligus memoar bagi Bapak B.J. Habibie tersebut dapat dibaca lengkapnya di sini.
Partisipasi Binusian Hubungan Internasional dalam Multi-Stage Negotiation Simulation (Sesparlu-Kemenlu)
Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia kembali mengadakan salah satu programnya yaitu Multi-Stage Negotiation Simulation Sesparlu yang ke-62. Kegiatan Multi-Stage Negotiation Simulation atau sering disebut MSNS diadakan pada tanggal 13-16 Agustus 2019 bertempat di Hotel Novotel Bogor. Kegiatan MSNS ini merupakan bagian dari pendidikan Diklat Sesparlu (Sekolah Staf dan Pimpinan Kementerian Luar Negeri). Dalam kegiatan ini, Kementerian Luar Negeri, Diklat Sesparlu khususnya membuka peluang besar bagi mahasiswa (khususnya jurusan Hubungan Internasional dan Hukum) dari berbagai universitas yang berlokasi di wilayah Provinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta. Departemen Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara diwakili oleh tiga orang mahasiswa untuk mengikuti kegiatan MSNS tahun ini yaitu, Galurayuda Kusumasubrata (2021), Graciana Putri Priana (2021), dan Andi Novaldo Rizky Sommeng (2022).
Dalam Multi-Stage Negotiation Simulation ke-62 ini membawa simulasi sidang Dewan Keamanan PBB (United Nations Security Council) sebagai acuan simulasi MSNS kali ini. Tidak hanya mahasiswa yang terlibat, tetapi sekaligus MSNS ini diselenggarakan dan diikuti oleh peserta Sesparlu yang sedang melewati tahap-tahap penilaian dari Kementerian Luar Negeri, para diplomat senior yang juga sudah mempunyai jam terbang dan pengalaman lebih. Dalam 4 hari kegiatan intensif yang diselenggarakan, para mahasiswa diberi briefing awal mengenai alur simulasi nantinya. Hari berikutnya, simulasi pertama telah dilakukan. Dalam simulasi tersebut, mahasiswa dan para peserta Sesparlu yang merupakan Head of Delegation dari setiap perwakilan negara anggota DK PBB melakukan simulasi yang benar-benar serupa dengan sidang DK PBB. Dari awal sesi assembly bersama semua negara anggota dan Presiden DK PBB (Indonesia), sesi informal dan beberapa sesi komite harus dijalankan.
Dalam MSNS, para peserta langsung terjun dalam belajar bernegosiasi, berdiplomasi, membuat statement di setiap konferensi, public speaking, bahkan sampai pada sesi Press Conference. Dalam simulasi MSNS kali ini membahas khusus isu Kashmir, dengan memfokuskan pada peristiwa pengeboman di tanggal 14 Februari 2019 lalu. Dari kegiatan ini, para peserta diharapkan peka terhadap isu yang dibahas, bisa mengusulkan resolusi yang bisa menyelesaikan perselisihan, berdiplomasi dan bernegosiasi, dan berani untuk mengutarakan pendapat dan berbicara.
Kegiatan MSNS ini sangat disambut baik oleh mahasiswa dan setiap universitas. Melalui kegiatan ini banyak sekali benefit yang bisa didapatkan terutama bagi mahasiswa. Banyak wawasan, pengetahuan, pengalaman dan softskill yang bisa diasah melalui kegiatan ini. MSNS tidak hanya mempersempit peluang bagi peserta Sesparlu, yaitu para diplomat untuk berlatih dalam sidang multilateral, tetapi juga memberikan kesempatan yang luas untuk mahasiswa untuk turut aktif dalam simulasi sidang, berbicara, mengutarakan pendapat dan bernegosiasi. Hal-hal ini yang sangat mendukung dan bisa memfasilitasi mahasiswa dengan baik untuk bekal di masa depan. Maka dari itu, kegiatan MSNS ini sangatlah baik dan diharapkan pihak Kementerian Luar Negeri bisa terus membuka peluang ini bagi para mahasiswa untuk menjadi salah satu platform lain untuk belajar di samping kegiatan belajar mengajar di kelas.
Urgensi Penghapusan Pasal-pasal “Otoriter” sebelum RUU Keamanan dan Ketahanan Siber disahkan

4 September 2019 – Dosen streaming Security Studies di Jurusan Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara, Tangguh Chairil, kembali memberikan opininya mengenai keamanan siber dalam sebuah artikel yang dimuat secara dwibahasa pada laman theconversation.com. Artikel yang dalam bahasa Indonesia berjudul “Sebelum RUU Keamanan dan Ketahanan Siber disahkan, pasal-pasal “otoriter” perlu dihapuskan” ini membahas tentang kesiapan Indonesia dalam membangun regulasi keamanan siber. Selengkapnya dapat dibaca di sini. Versi bahasa Inggris dapat dibaca di sini.
IR Binus Encounter with the Refugees through The May 18 Academy, Gwangju
The May 18 Academy, Gwangju – South Korea, 22 August – 4 September 2019
Our Deputy Head, Ms. Ratu Ayu Asih Kusuma Putri, participated in the May 18 Academy in Gwangju, South Korea from August 22 to September 4, 2019. The May 18 Academy is an intensive educational program for human rights and democracy activists from all around the world.
Since its inception in 2004, over 310 NGO workers and activists from over 50 countries participated in and graduated the program. This year, the May 18 Foundation selected only 15 invitees from hundreds of applicants to learn and share about refugee issues/problems and their possible solutions.
Throughout the training, she has gotten a first-hand experience in interacting with current and former refugees as well as refugee and human rights activists in Korea and from all around the world. She also visited a Yemeni restaurant in Jeju island run by a refugee and learned about refugee self-empowerment effort in host countries. Aside from that, the program provided a significant amount of knowledge about the history of democratization in South Korea, which was interesting as it is startlingly similar to the one experienced by Indonesia.
IR Binusian 2021 as Champion of Bali Australasian Debating Championship
On 1-8 July 2019, in Bali, Indonesia, our student, Agnes Isna Kuswondo, managed to reach the top position at Bali Australasian Debating Championship. Australs is the one and only tournament ranging in Asia-Pacific. The participants come from countries across Asia, Australia, and New Zealand making the tournament extremely competitive with many native speakers (EPL-English as Primary Language). This is the first participation of BINUS as institution in Australs. Their first appearance also brought the first Australs EFL trophy.
Agnes was the only Indonesian to be listed in top 5 EFL speakers. She was also the grand final best speaker. Congratulation, Agnes!
BIRDS di VETCOFESTMUN 2019
Jakarta – BINUS International Relations Dialectic Society (BIRDS) kembali mengirimkan delegasi untuk mengikuti perlombaan MUN atau Model United Nations yang diselanggarakan di UPN Veteran Jakarta yaitu VETCOFESTMUN 2019 dari tanggal 27-28 September 2019. BIRDS (BINUS International Relations Dialectic Society) yang merupakan salah satu BSO (Badan Semi Otonom) yang berada di bawah naungan HIMHI (Himpunan Mahasiswa Hubungan Internasional BINUS University) tidak jarang mengirimkan delegasi-delegasi untuk mengikuti perlombaan-perlombaan seperti MUN. Delegasi-delegasi yang dikirimkan oleh BIRDS untuk mengikuti perlombaan VETCOFESTMUN 2019 adalah Anatasya Indah Putri Darmawan (UN-Women), Emily Rustania (UNHRC), Natasya Shofa Salsabila (SOCHUM), dan Ratna Ayu Dian Pramuditha (UNHRC).
Pelatihan pun diikuti oleh para delegasi-delegasi sebelum perlombaan dimulai. Pelatihan yang dilakukan oleh para delegasi pun dilatih oleh member dari BIRDS sendiri, yaitu Rafi Nugraha yang pada tahun 2019 ini telah mendapatkan penghargaan Diplomacy Award di perlombaan Harvard World MUN. Pelatihan yang dilakukan oleh para delegasi pun dapat dibilang hanya sebentar tetapi cukup untuk para delegasi dalam melatih speech maupun hal substantif lainnya, seperti latihan dalam pembuatan position paper dan mengkaji secara mendalam akan topik yang diikuti para delegasi. Para delegasi pun mengikuti pelatihan ini secara aktif dan serius.
Pelombaan VETCOFESTMUN 2019 ini dilaksanakan dalam 2 hari dan selama perlombaan dimulai, para delegasi pun belajar banyak hal dan bertemu dengan teman baru yang merupakan sebuah pengalaman yang pastinya berkesan. Mulai dari hari pertama hingga hari kedua, para delegasi pun menjalankan perlombaan dengan penuh semangat dan antusiasme yang tinggi. Penghargaan Most Outstanding Delegates pun telah diraih oleh salah satu delegasi, yaitu Anatasya Indah Putri Darmawan di council UN-Women. Dengan penghargaan yang dicapai ini diharapkan untuk menjadi sebuah motivasi untuk para mahasiswa/I terutama masyarakat HI BINUS University untuk menjadi mahasiswa berprestasi.
Sivitas Akademika Perlu Berperan dalam Antipencucian Uang dan Penanggulangan Pendanaan Teroris: Diskusi Panel PPATK dan BINUS
Pada Selasa, 15 Oktober 2019, Program Studi Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara (BINUS) bekerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyelenggarakan diskusi panel bertajuk “Anti-Money Laundering and Counter-Terrorist Financing” dengan panelis Dr. Dian Ediana Rae, S.H., LLM., Wakil Kepala PPATK, dan Dr. Ahmad Sofian, S.H., M.A., Ketua Program Studi Hukum BINUS.
Diskusi dibuka dengan kata sambutan oleh Prof. Dr. Tirta Nugraha Mursitama, S.Sos., MM., Ph.D., Wakil Rektor BINUS Bidang Riset dan Transfer Teknologi. Prof. Tirta menyambut Dr. Dian dan para perwakilan PPATK yang hadir, menyampaikan profil BINUS, serta menyampaikan komitmen BINUS menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran, oleh karenanya mendukung upaya antipencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme.
Kemudian moderator, Rangga Aditya, S.Sos., M.Si, Ph.D., Ketua Program Studi HI BINUS, memperkenalkan kedua panelis dan mempersilakan para panelis memulai pemaparan. Panelis pertama, Dr. Dian, mendefinisikan pencucian uang sebagai proses mengaburkan identitas atau asal-usul harta kekayaan yang diperoleh secara ilegal sehingga harta kekayaan tersebut tampak berasal dari sumber yang sah.
Menurut Dr. Dian, pencucian uang tidak hanya mengancam stabilitas perekonomian dan integritas sistem keuangan, tetapi juga dapat membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD) Tahun 1945. Dana pencucian uang dari hasil tindak pidana dan hasil kegiatan yang tidak sah pun dapat digunakan sebagai sumber pendanaan terorisme.
Dr. Dian menyampaikan bahwa terdapat 26 tindak pidana asal (TPA) bermotif ekonomi yang terkait pencucian uang, sebagaimana tercantum dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU). TPA yang berisiko tinggi terhadap pencucian uang berdasarkan National Risk Assessment (NRA) 2015 antara lain narkotika, tindak pidana di perbankan, korupsi, dan tindak pidana lainnya.
Menghadapi risiko tersebut, Dr. Dian menyampaikan bahwa paradigma baru pemberantasan kejahatan dengan “follow the money” pun berkembang, yaitu tidak hanya menangkap pelaku dan memproses perkara, tetapi juga menelusuri aliran dana dan lokasi keberadaan harta hasil tindak pidana untuk kemudian dirampas oleh negara. Dengan paradigma ini, diharapkan kriminalitas menurun, sementara integritas dan stabilitas perekonomian meningkat.
Dr. Dian menyampaikan bahwa manfaat pendekatan “follow the money” antara lain dengan upaya antipencucian uang (AML) mengejar hasil kejahatan, AML dapat menghubungkan kejahatan dengan pelaku intelektual, menjadi alat untuk pemulihan aset, dapat menembus kerahasiaan bank, dapat menjerat pihak-pihak yang terlibat dalam menyembunyikan hasil kejahatan, serta dapat menekan nafsu orang untuk melakukan kejahatan, terutama kejahatan ekonomi.
Menurut Dr. Dian, respons kebijakan antipencucian uang (AML) terdapat pada level global maupun domestik. Di level global, terdapat Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF). Di level kawasan, terdapat Asia/Pacific Group on Money Laundering (APG). Di Indonesia, terdapat Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Komite TPPU), PPATK, dan lembaga lainnya.
Dr. Dian menyampaikan bahwa peran sivitas akademika dalam antipencucian uang dan penanggulangan pendanaan teroris antara lain bersikap kritis terhadap asal-usul uang yang dimiliki, mengetahui kerentanaan kita dimanfaatkan dalam modus pencucian uang, serta mengenali orang-orang di sekitar kita. Mengutip J. Edgar Hoover, direktur pertama Federal Bureau of Investigation (FBI) Amerika Serikat, senjata paling efektif terhadap kejahatan adalah kerja sama.
Panelis kedua, Dr. Sofian, menyampaikan bahwa pendanaan teroris harus dipahami dari dua sudut vital, yaitu pendanaan untuk operasional kegiatan terorisme itu sendiri, dan pendanaan penyebaran ideologi dan/atau infrastruktur jaring-jaring kelompok teroris itu sendiri. Dr. Sofian mendefinisikan pendanaan teroris berdasarkan pasal 1 ayat (1) Undang-Undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.
Menurut Dr. Sofian, sumber dana teroris antara lain perdagangan, organisasi nonpemerintah/organisasi amal, iuran anggota, penyelundupan senjata, narkoba, kegiatan ilegal lainnya, hingga pemerasan/penyitaan. Kelompok teroris ISIS, misalnya, memiliki sumber pendapatan utama dari industri minyak, perdagangan barang antik di pasar gelap, serta pengenaan pajak dan pemerasan terhadap populasi lokal di bawah kendalinya di Suriah dan Irak.
Contoh lain, Hezbollah memperoleh pendanaan dari jaringan perdagangan narkoba dan pencucian uang berbasis di Lebanon, seperti perusahaan Hassan Ayash Exchange dan Ellissa Exchange. Keberhasilan strategi antipencucian uang dalam mengurangi akses teroris ke mata uang resmi juga telah menimbulkan kekhawatiran bahwa kelompok teroris dapat meningkatkan penggunaan mata uang kripto digital seperti Bitcoin untuk mendukung kegiatan mereka.
Dr. Sofian menyampaikan bahwa pendanaan teroris di Indonesia dapat bersumber dari kegiatan yang legal, media sosial, dan publik. Dana dikumpulkan melalui organisasi nonprofit dan iuran antara sesama anggota. Dana juga dapat bersumber dari kegiatan yang ilegal, biasanya dikirimkan dalam jumlah yang kecil (maksimum US$1.000), dan pergerakan dana terjadi dalam bentuk tunai.
Misalnya, pada 5 Maret 2015 dan 26 Maret 2015, “S” mengirimkan uang sebesar Rp21,15 juta hasil infak para pendukung Mujahidin Indonesia Timur (MIT) untuk membeli senjata di Filipina. “AS” mengirimkan uang sebesar Rp468,37 juta untuk memfasilitasi keberangkatan rombongan foreign terrorist fighters (FTF) dari Indonesia ke Suriah dan Filipina. Suyitno alias “AM” mengirimkan uang sebesar Rp2 juta untuk pembiayaan pelatihan terorisme di Tamanjeka, Poso.
Sebagai kesimpulan, pencucian uang dapat terkait dengan tindak pidana lain, termasuk pendanaan teroris. Pencucian uang tidak dapat dihentikan kecuali dengan kerja sama nasional maupun internasional. Masyarakat, khususnya sivitas akademika, juga perlu berperan dalam memberantas pencucian uang dan pendanaan teroris. Diskusi panel ini dihadiri oleh 129 peserta dari PPATK serta para dosen dan mahasiswa/i BINUS.
FPCI Binus in ACADEMIC ORIENTATION for BINUSIAN 2023
On the 2nd of September 2019 – FPCI Chapter Binus University welcomes Binusian 2023 as the latest addition to the International Relations Binus University Society in Academic Orientation that organized by department of International Relations Binus University as part of First Year Program B2023.
Sayid Haikhal, Freshmen Leader who acted as Vice Director of Internal Affairs and Organizational Development of FPCI Binus University introduces the organization that was established on March 27th, 2018. In his presentation, Sayid reckon the presence of Willy Dwira Yudha as the initiator of FPCI Chapter Binus. Moreover, he introduces Secretary Osvaldo Liviera and Director Adelia Putri and Wendsney Sadi. He explained in detail how this organization operates their program. Freshmen are also encouraged to join the FPCI Squad.
By the end of the day, FPCI broke record for the most members in a semi-autonomous unit of Binus University International Relations Department through FPCI Squad. The exact number that day was 225 members: 115 existing and 110 new members.
FPCI Squad is growing still and expected to have more than 300 members by September 2020.
FPCI in Talks with Nobukatsu Kanehara: Towards the Free and Open Indo-Pacific, Japan’s Grand Strategy
On Thursday, 17 October 2019 Foreign Policy Community of Indonesia or FPCI Invited Mr. Nobukatsu Kanehara and Prof. Dewi Fortuna Anwar to Bengkel Diplomasi at Mayapada Tower 1 to talk about Japan’s grand strategy from 14:00 WIB until 16:00 WIB. This talk is attended by student of several university in Jabodetabek, Think-thank, and publics. The topic in this talk is “Towards the Free and Open Indo-Pacific, Japan’s Grand Strategy”. Mr. Nobukatsu Kanehara as the speaker is a former deputy secretary general of national security secretary and assistant chief cabinet secretary in the prime minister’s office of Japan.
This talk is moderated by Prof, Dewi Fortuna Anwar, she’s a research professor of Indonesia Institute of Sciences or LIPI. In this opportunity, Mr. Nobukatsu kanehara talk about Japan-Indonesia relations in economical aspect and how Japan’s plan to maintaining sustainable partnership in region. We also discus about how China, Korea, and US activity effecting Japan’s plan. This talk closed with Q&A for 30 minutes and photo session.
FPCI in the workshop for the member of Marketing and Design (McD)
On the 27th of September 2019 – FPCI Chapter Binus held a workshop for the member of Marketing and Design (McD) in C204 Kijang Campus. This workshop is aimed to prepare the member of Marketing and Design to work in the next period of 2019-This workshop is important in order to maintain and enhancing the quality of the division and its member.
Willy Dwira Yudha, as the founder and executive director of FPCI Chapter Binus opened the session with short evaluation regarding the performance of the division and continued with workshop that explains the detail framework of the division such as the use of canva, photoshop, Instagram, website, and etc, and also explaining the target for the next period.
Through this workshop, member of marketing and design is expected to understand how to use the supporting tools or apps and also social media that will be used by the member of McD in the next period. This workshop attended by Willy Dwira Putra, Gabriel Caesar, Steven Juliardy, Jeverson, and Sayid Haikhal L H.
FPCI: How We Refresh Ourselves
On the 12th of September 2019 – FPCI Chapter Binus goes to Spincity Bowling Alley the Breeze BSD to refresh the member before the 3rd semester begin in BSD. This refreshment held in order to strengthen up the bond between members and prepare the member of FPCI chapter Binus that will face the new academic year as well. FPCI Chapter Binus played 2 for hours with 3 lanes in the breeze bowling BSD start from 19.00 P.M until 21.00 P.M and continued with dinner in Wakaka serpong. This program executed by Adelia Putri Irwana and Sayid Haikhal Luqmanul Hakim as PiC of the program from IRGP and IAOD division.
The member of FPCI chapter Binus feel happy to join this refreshment program and hoping that bowling will be a yearly agenda, reminding that the first anniversary of FPCI chapter Binus held in Spincity Bowling Alley as well and it’s located in BSD which provide a lot of entertainment, restaurant, and café as well with competitive price.
FPCI WORKSHOP: BUILDING A SMALL, IMPACTFULL AND SUSTAINABLE ORGANIZATION
On the 11th of October 2019 – FPCI Chapter BINUS University held a workshop named “Building a Small, Impactful and Sustainable Organization”. This workshop was led by Willy D. Yudha as President of FPCI Chapter BINUS University. This workshop is considered exclusive because it is held for prospective leaders of organizations, especially for prospective leaders of the FPCI Chapter. This also relates to the election of the new president of FPCI Chapter BINUS University which will be held on November 29, 2019.
The material provided is emphasized with the 3K formula namely, Collaboration, Content and Community. In this case, FPCI has those three things. Willy then explained and taught how to build collaboration together with organizations, as well as other experts who already had popularity and good quality outside.
In addition, the content also has an equally important position. One thing that must be maintained from content is the quality of the content itself. Quality of content can be judged by several criteria such as originality of an idea of content, can provide answers to a problem, and also accurate in retrieving and reporting information. Thus the discussion organization must have the product produced. The products produced will then be shared with the community. And the last “K” is community. At this time the FPCI Chapter BINUS University community has reached more than 250 people and is projected to reach 350 people next year.
The next session continued with the planning to build a new cabinet together with the prospective chairman of the FPCI Chapter BINUS University. In this session Willy explained how to select and form candidates for division heads who would carry out their respective duties as an extension of the divisions in an organization. This workshop is expected to be a guide and provision for future leaders.
Foreign Policy Discussion 5 FPCI: FOREIGN TERRORIST FIGHTERS and the GROWING SECURITY ISSUE IN SOUTHEAST ASIA
On the 11th of October 2019 – FPCI Chapter BINUS University in collaboration with Arvin Dimitris – a student with majoring International Relations at BINUS University – held a Foreign Policy Discussion (FPD) titled “Foreign Terrorist Fighters (FTF): Growing Security Issue in Southeast Asia”. FPCI held its regular discussion activities after passing the previous semester break. This discussion was attended by members of FPCI Chapter BINUS University. This FPD was then opened as well as moderated by Willy D. Yudha as President of FPCI Chapter BINUS University. Before entering into the discussion, as usual, begins with a “news flash” session. Members are given the opportunity for 1-2 minutes to share whatever news they have red / heard / watched during the previous week at most.
Furthermore, Arvin delivered a discussion material on security issues, especially on themes related to terrorism in Indonesia and in Southeast Asia. At the beginning of the delivery of material, Arvin threw a question to the audience about “what is the definition of terrorism”. The audience was very enthusiastic by giving various interesting answers related to the definition of terrorism.
Arvin also explained the term of FTF, and also the cases that occurred in Southeast Asia. According to the United Nations Security Council resolution 2178, the FTF is “individuals who travel to a State other than their States of residence or nationality for the purpose of the preparation, planning, or preparation of, or participation in, terrorist acts or the providing or receiving of terrorist training, including in connection with armed conflict.” Arvin also stressed that the FTF is a problem not only to the target states, but also to countries where fighters might be returned.
Arvin then explained that until now there was no certain definition of terrorism, but there were three criteria that could be the basis for interpreting terrorism itself. The first criteria is ‘use of violence’, the second is ‘creating climate of fear’, and the last is ‘ideological or political obective’. Referring to the three criteria above, it can be drawn the understanding that terrorism is a ‘systematic use of violence to create a general climate of fear in a population and thus to bring about a particular political objective’.
In the case of Southeast Asia, several countries in the region consider that FTF is a transnational threat that has the potential to disrupt stability in the region. Several countries in the region, including Indonesia, Malaysia and the Philippines, came up with strategies to overcome the problem including tightening border security and cooperation with relevant law enforcement agencies in responding to FTF issues in Southeast Asia.
At the end of the material, Arvin conveyed several methods that can be used in countering FTF threats, including tightening border security, enhancing law enforcement and intelligence capabilities, and counter-radicalization and violent extremism. In addition, he gave examples of cooperation that had been carried out by ASEAN such as cooperation among counter-terrorism, intelligence and law enforcement agencies in SEA, SOMTC and AMMTC, and ASEAN Plan of Action to Prevent and Counter the Rise of Radicalization and Violent Extremism ( ASEAN PoA P / CVE) 2018-2025. The FPD then ended with a question and answer session which involved all members.
Beban Berat Prabowo dalam Dinamika Pertahanan Indonesia
Terpilihnya Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan Republik Indonesia periode pemerintahan 2019-2024 menimbulkan banyak reaksi dari berbagai kalangan. Dari kalangan akademisi, Curie Maharani Savitri bersama rekannya, Evan A. Laksmana, mengomentari isu ini dengan menggarisbawahi sejumlah poin yang perlu dibereskan oleh Prabowo. Poin penting yang menjadi sorotan adalah relasi Prabowo dengan banyak institusi, baik sipil maupun militer, serta perubahan-perubahan kebijakan yang ada, dengan menyesuaikan dirinya dengan prioritas-prioritas yang berjalan untuk menyeimbangkan institusinya dengan pihak sipil dan pihak militer lain.
Prabowo harus meneruskan kebijakan penyejahteraan personel yang telah diinisiasi sejak zaman SBY, di tengah ketatnya alokasi budget yang akan tersita untuk rencana Minimum Essential Force (MEF). yang merupakan rencana jangka panjang Kementerian Pertahanan. Di samping itu, Prabowo juga menghadapi dinamika hubungan dengan TNI di dalam dinamika pertahanan Indonesia itu sendiri.
Artikel lengkapnya dapat dibaca di sini.
Sivitas Akademika Perlu Mengembangkan Kesadaran Keamanan Nuklir Melalui Pendidikan: Faculty Development Course on Nuclear Security Education 2019, Singapore
Pada Senin–Jumat, 21–25 Oktober 2019, dosen Program Studi Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara (BINUS) Tangguh Chairil mengikuti Faculty Development Course on Nuclear Security Education 2019 yang diselenggarakan International Atomic Energy Agency (IAEA) di S. Rajaratnam School of International Studies (RSIS), Singapura. IAEA menyelenggarakan kegiatan ini untuk memberikan bantuan kepada universitas-universitas yang sudah dan sedang mengembangkan kurikulum pendidikan keamanan nuklir dengan mengacu kepada pedoman dan rekomendasi dari IAEA.
Kegiatan ini dibuka oleh Duta Besar Ong Keng Yong, diplomat Singapura yang juga Wakil Ketua Eksekutif RSIS. Selama tiga hari pertama, kegiatan diisi oleh Dmitriy Nikonov dan Francesca Andrian dari IAEA, serta Sunil Chirayath dari Texas A&M University. Sementara itu, para peserta mempresentasikan program pendidikan keamanan nuklir yang sudah ada di institusi masing-masing dan yang direncanakan. Kemudian, pada dua hari terakhir, para pemateri dan peserta kegiatan melakukan diskusi untuk merancang program pendidikan keamanan nuklir serta mengembangkan dan/atau mengadopsi kurikulum program pendidikan keamanan nuklir.
Program Studi HI BINUS sendiri telah memiliki komponen terkait nuklir di beberapa mata kuliah terkait. Sebagai contoh, mata kuliah Arsitektur Keamanan Global membahas isu proliferasi senjata pemusnah massal, termasuk senjata nuklir, dan rezim keamanan nuklir global. Mata kuliah Terorisme membahas isu terorisme senjata nuklir, biologi, dan kimia. Sebagai organisasi antarpemerintah otonom di bawah naungan keluarga organisasi PBB, IAEA juga dapat dibahas dalam mata kuliah Organisasi Internasional.
IAEA diperkuat oleh Sekretariat yang berkantor pusat di Wina, Austria. Organ pembuat kebijakannya adalah Dewan Gubernur yang terdiri atas 35 negara anggota yang dirotasi tiap dua tahun dan Konferensi Umum antara seluruh 171 negara anggota. Misi IAEA adalah memaksimalkan kontribusi teknologi nuklir yang aman dan terjamin bagi masyarakat, sambil memverifikasi penggunaannya secara damai. Pilarnya adalah sains dan teknologi, keselamatan dan keamanan, serta perlindungan dan verifikasi.
Material yang ditangani oleh IAEA antara lain material nuklir (uranium, plutonium, dan thorium dalam berbagai bentuk), sumber-sumber radioaktif, dan material yang terkontaminasi radioaktif. Material-material ini dapat digunakan secara legal untuk tujuan kedokteran, industri, pembangkit energi, riset, reaktor riset, dan lain-lain. Akan tetapi, material-material ini juga dapat digunakan dengan niat jahat untuk tujuan kriminal, dengan potensi dampak kesehatan, ekonomi, lingkungan, hingga masyarakat.
Untuk mencegah material-material tersebut disalahgunakan, IAEA mempromosikan keamanan nuklir, yaitu pencegahan, deteksi, dan respons terhadap pencurian, sabotase, akses tidak sah, pemindahan ilegal, atau tindakan jahat lainnya yang melibatkan material nuklir, zat radioaktif lain, atau fasilitas terkait. Keamanan nuklir menjadi tanggung jawab tiap-tiap negara terkait, sementara IAEA berperan mendukung negara dalam upaya membangun dan memelihara keamanan nuklir yang efektif, serta memfasilitasi kepatuhan terhadap implementasi instrumen hukum internasional yang terkait.
Faculty Development Course on Nuclear Security Education yang diselenggarakan IAEA bertujuan mendukung negara-negara membangun dan memelihara keamanan nuklir yang efektif, khususnya melalui melalui pengajaran dan pendidikan keamanan nuklir. Kegiatan ini diikuti oleh belasan peserta dari Bangladesh, Indonesia, Malaysia, Myanmar, Pakistan, Singapura, Thailand, Tiongkok, dan Vietnam. Para peserta mewakili akademisi keamanan nuklir – baik dari disiplin sains, teknik, hingga sosial humaniora – dari universitas serta pejabat pemerintah di bidang energi nuklir negara masing-masing.