Quantcast
Channel: International Relations BINUS University
Viewing all 433 articles
Browse latest View live

Hubungan RI-UE Usai Brexit

$
0
0
Hubungan RI-UE Usai BrexitHubungan RI-UE Usai Brexit. Sumber: Koran Jakarta

Dosen dan Faculty Member Departemen Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara, Paramitaningrum, memublikasikan artikelnya berjudul “Hubungan RI-UE Usai Brexit”. Di bawah ini adalah artikelnya.

Hubungan RI-UE Usai Brexit

British Exit (Brexit),  keluarnya Inggris dari keanggotaan Uni Eropa, tengah menjadi topik hangat. Referendum Pemerintah Inggris 23 Juni 2016 memperlihatkan 51,9% rakyat  menginginkan meninggalkan  Uni Eropa (UE). Sementara 48,1% mengharapkan  Inggris tetap bersama UE. Brexit tidak hanya berdampak pada kondisi internal Inggris dan UE, tapi juga mempengaruhi hubungan luar negeri UE  dengan pihak ketiga seperti  ASEAN.

Inggris turut berkontribusi  pada perkembangan interaksi kelompok negara-negara Eropa dengan kawasan Asia Tenggara.  Keanggotaan Inggris dalam Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) tahun 1973 memperluas jangkauan integrasi Eropa. Keberadaan Inggris memfasilitasi MEE untuk berinteraksi dengan negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Negara-negara ini menikmati berbagai program MEE dalam bidang perdagangan dan kerja sama pembangunan. Sebaliknya, MEE  memanfaatkan sumber daya alam dan bahan-bahan mentah Asia Tenggara.

Formalisasi interaksi antara Eropa dan Asia Tenggara ada dalam EC-ASEAN Economic Agreement yang diteken tahun 1980. Fokusnya  kerja sama pembangunan dan perdagangan.  Perubahan situasi dunia internasional dan kondisi internal di tiap-tiap  ME serta  ASEAN mengalami pasang surut. ME berganti nama menjadi UE dan menambahkan unsur politik untuk memperkuat proses integrasi Eropa dan dalam hubungan UE dengan pihak ketiga, termasuk ASEAN.

Hubungan UE-Indonesia dibentuk melalui kerangka Perjanjian EC–ASEAN 1980 tadi, sehingga lebih difokuskan pada sektor perdagangan dan kerja sama pembangunan. Indonesia juga salah satu  penerima bantuan pembangunan  ME.  Namun UE  baru mengamati Indonesia setelah  reformasi politik dan proses demokratisasi tahun 1998. Indonesia juga sukses  menyelesaikan perseteruan dengan Timor Leste tahun 1999.

Indonesia juga memiliki modalitas untuk menjadi aktor penting kawasan. Dengan jumlah penduduk 255 juta, pertumbuhan ekonomi 5%  dengan pendapatan per capita 11,300 dollar AS, serta 42% penduduk produktif, menjadikan Indonesia sebagai pasar potensial. Prestasi Indonesia membangun demokrasi di tengah masyarakat multi-etnis, kultur, dan agama, apalagi Indonesia bersikap kooperatif dalam menangani isu internasional, menjadi salah satu role model bagi masyarakat internasional.

Berbagai Forum

Hal ini juga dibuktikan dengan partisipasi Indonesia di berbagai forum internasional seperti ASEAN, APEC, ASEM yang dimotori UE, dan East Asia Forum. UE  melakukan berbagai inisiatif untuk memperkuat hubungan bilateral dengan Indonesia. Ini diawali dengan Forum Konsultasi Bilateral tahun 2000. Tujuannya,  memfasilitasi para pejabat UE  dan Indonesia untuk membicarakan masalah nonekonomi dan ide-ide untuk mengembangkan hubungan kemitraan.

UE juga terlibat aktif dalam Aceh Monitoring Mission   tahun 2005-2006. Di samping itu, Country Strategy Paper 2002-2006 dan 2007-2013 menggambarkan komitmen UE membantu meningkatkan kapasitas Indonesia. Hubungan bilateral tersebut baru diformalkan dengan penandatanganan Partnership Cooperation Agreement (PCA) tahun 2009.

PCA mengintensifkan interaksi dan memperluas kerja sama ekonomi serta nonekonomi. Selain itu, interaksi intensif keduanya akan melibatkan pejabat pemerintah, parlemen, dan komponen masyarakat  seperti LSM, pengusaha, dan akademisi. Implementasi PCA baru dilaksanakan Mei 2014.

Saat ini, UE dan Indonesia tengah menegosiasikan pembentukan Comprehensive and Economic Partnership Agreement (CEPA) atau Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif yang sempat terhenti tahun 2012.  CEPA akan memperkuat hubungan ekonomi dan perdagangan yang sudah terjalin. Dia juga  bisa dianggap sebagai Free Trade Agreement (FTA/Perjanjian Perdagangan Bebas), namun memiliki komponen capacity building untuk  menyiapkan kapasitas Indonesia menjalani FTA.

Namuan,  Brexit membuat hubungan UE dengan ASEAN, dan Indonesia harus disesesuaikan.  Contoh, keluarnya Inggris dari UE membuatnya  tidak lagi terikat seluruh  kesepakatan  UE-ASEAN-Indonesia. Kesepakatan yang sudah terbentuk akan direvisi.  UE  tengah mengupayakan dokumen resmi yang mengatur pengunduran diri Inggris (withdrawal treaty/WT) dengan  mengimplementasikan artikel 50 Traktat Lisbon.

Selain itu, berlakunya WT membuat UE  harus  negosiasi ulang dengan seluruh mitra, termasuk ASEAN dan Indonesia akan setiap  kesepakatan. Kemudian karena Inggris memanfaatkan forum hubungan UE-ASEAN untuk berinteraksi dengan ASEAN, maka Brexit memberi Inggris peluang lebih besar meningkatkannya. Sebab ada hubungan historis Inggris dengan kawasan Asia Tenggara dan prestasi ASEAN pascapemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)  tahun lalu.

Indonesia juga berpeluang meningkatkan kemitraan dengan Inggris secara bilateral atau melalui forum ASEAN.  Perjanjian Kemitraan (2012) yang menjabarkan kepentingan Inggris di bidang perdagangan dan investasi, serta counterterrorism-tata kelola global memperlihatkan keduanya telah saling berkepentingan. Kekuatan hubungan bilateral ini bias terus diperkuat dengan prinsip saling menguntungkan.  Indonesia, misalnya,  bisa menjadikan Inggris sebagai pasar, di luar  UE, yang bisa digarap lebih serius lagi.

Paramitaningum PhD
Subject Content Coordinator, Foreign Policy and International Politics, Departemen Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara.

***

sumber: http://www.koran-jakarta.com/hubungan-ri-ue-usai-brexit/


Ketua Jurusan HI Binus: Atasi Akar Permasalahan Penculikan WNI oleh Abu Sayyaf

$
0
0
Sandera WNI Abu SayyafSandera WNI Abu Sayyaf. Sumber: tirtamursitama.com

Pada 9 Juli 2016 malam, tiga orang warga negara Indonesia (WNI) dilaporkan diculik oleh kelompok bersenjata Abu Sayyaf di Lahad Datu, Sabah, Malaysia. Insiden tersebut menjadi yang keempat kalinya terjadi dalam tujuh bulan terakhir.

Dalam wawancara dengan Rappler, Ketua Jurusan Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara, Prof. Tirta Mursitama, menilai patroli bersama tidak semata-mata akan menyelesaikan masalah. Menurutnya, penting juga untuk melakukan pendekatan sosial, religi, dan kesejahteraan.

“Pendekatan sosial, religi dan kemasyarakatan itu kita mencari akar masalah yang tumbuh di masyarakat termasuk soal agama. Adakah persoalan penyebaran agama Islam menjadi isu di sini?” kata Tirta yang dihubungi Rappler melalui pesan pendek pada Minggu malam, 10 Juli.

Sementara, pendekatan kesejahteraan dilakukan dengan mencari penyelesaian dari akar persoalan kehidupan sehari-hari mereka untuk bertahan hidup. Misalnya, terhadap pekerjaan, sekolah, kesehatan dan isu lainnya. Hal tersebut, kata Tirta, tidak bisa dilakukan seorang diri. Sebab, ini kombinasi persoalan domestik Pemerintah Filipina yang melebar menjadi isu regional di kawasan Asia Tenggara.

“Secara domestik, harus ada kemauan politik untuk membangun kawasan selatan Filipina dan harus direalisasikan oleh Presiden baru. Sedangkan, secara regional, ASEAN harus berusaha membangun daerah perbatasan bersama-sama, sehingga keamanan atau kesejahteraan menjadi tanggung jawab bersama,” tutur dia.

Wawancara Prof. Tirta oleh Rappler dapat dilihat pada tautan berikut:

http://www.rappler.com/indonesia/139403-wni-jadi-target-penculikan-abu-sayyaf

Dosen HI Binus: Keputusan Pengadilan Arbitrase Internasional Takkan Digubris Tiongkok

$
0
0
PCA South China SeaKeputusan Pengadilan Arbitrase Internasional (PCA) tentang Laut Tiongkok Selatan. Sumber: www.thehagueinstituteforglobaljustice.org

Pada 12 Juli 2016 sore, Pengadilan Arbitrase Internasional (Permanent Court of Arbitration/PCA) di Den Haag memenangkan gugatan Filipina terhadap Tiongkok dalam sengketa teritori Laut Tiongkok Selatan.

Dalam wawancara dengan Rappler, dosen dan Faculty Member Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara, Tangguh Chairil, mengatakan tak akan ada banyak perubahan setelah PCA memenangkan Filipina. Sebab, sejak awal gugatan diajukan, Tiongkok tidak pernah mengacu pada Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) ataupun Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). “Jadi, kalau argumentasi ini mengacu pada UNCLOS, ya memang tak akan diindahkan.”

Namun, posisi Indonesia memang menjadi lebih kuat. Sebab, klaim traditional fishing ground dan nine-dashed lines yang sempat diklaim Tiongkok sudah dinyatakan tak berlaku. Laut Natuna, yang menjadi teritori sengketa, memang masuk dalam ZEE Indonesia. Tangguh memperkirakan Tiongkok tidak akan bergeming dengan putusan PCA. Maka, Indonesia dan negara lain yang berkepentingan di Laut Tiongkok Selatan harus menyatukan suara dan kekuatan. “Seperti memperkuat militer dan bekerjasama supaya Tiongkok tidak macam-macam. Karena ini power politic.” Tiongkok memang sering memanfaatkan aparat militernya, bahkan membangun basis-basis pertahanan untuk memperkuat kedudukan mereka di Laut Tiongkok Selatan.

Mengingat adanya perbedaan kekuatan militer antara negara-negara di ASEAN dan Tiongkok, maka sebaiknya ada penyatuan suara. Sejauh ini, setiap negara yang berkepentingan memilih jalur berbeda untuk menyelesaikan sengketa dengan Tiongkok. Vietnam memilih jalur damai bilateral; Filipina lewat jalur PCA; namun negara lain seperti Laos, Myanmar, dan Kamboja cenderung abai dengan kasus ini. “Harus peringatkan mereka dan harus tunduk pada hukum internasional, meski sudah beberapa kali dilanggar,” kata Tangguh.

Wawancara Tangguh oleh Rappler dapat dilihat pada tautan berikut:

http://www.rappler.com/indonesia/139498-dampak-keputusan-pengadilan-arbitrase-internasional-indonesia

 

Dosen HI Binus Menyampaikan Analisis atas Kegagalan Upaya Kudeta di Turki

$
0
0
Turkey Coup Failure badUpaya Kudeta Turki 2016. Sumber: www.nationalreview.com

Pada 15 Juli 2016, sebuah upaya kudeta dilakukan terhadap pemerintah Turki, yang diduga direncanakan oleh sebuah faksi di tubuh Angkatan Bersenjata Turki. Gedung Parlemen dan Istana Presiden di Ankara dibom, sementara kediaman Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan di Marmaris diserang. Akan tetapi, upaya kudeta ini telah gagal.

Dalam wawancara dengan CNN Indonesia, dosen dan Faculty Member Departemen Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara, Tia Mariatul Kibtiah, menyampaikan analisisnya tentang kegagalan upaya kudeta di Turki. Wawancara Tia oleh CNN Indonesia dapat dilihat pada tautan berikut:

http://www.cnnindonesia.com/tv/20160717123636-401-145276/dialog-pembahasan-kegagalan-upaya-kudeta-di-turki/

Ketua Jurusan HI Binus: Militerisasi Natuna Penting Terkait Kemelut Laut Tiongkok Selatan

$
0
0
Jokowi di Atas KRI Imam BonjolJokowi di Atas KRI Imam Bonjol. Sumber: news.merahputih.com

Setelah terjadi penangkapan nelayan Tiongkok yang melakukan penangkapan ikan ilegal oleh TNI AL di perairan Natuna di Kepulauan Riau, pemerintah mempertimbangkan opsi pengerahan kekuatan militer sebagai upaya untuk mengamankan kawasan itu. Dengan sikap Indonesia yang terlihat lebih tegas, Tiongkok diharapkan akan lebih menghormati kebijakan Indonesia.

Dalam wawancara dengan BeritaBenar, Ketua Jurusan Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara, Prof. Tirta Mursitama, menyampaikan pernyataan senada dengan kebijakan tersebut. Menurutnya, secara de facto Indonesia sudah terlibat dalam kemelut Laut Tiongkok Selatan meski menyatakan tegas bukan sebagai negara pengklaim. “Ini persoalan kedaulatan. Jadi saya pikir mengerahkan kekuatan militer di Natuna sebagai ide memperkuat daerah perbatasan dan tidak melulu berkaitan dengan konflik Laut Tiongkok Selatan dan hasil keputusan PCA (Pengadilan Tetap Arbitrase).”

Langkah itu, tambahnya, tidak akan mengurangi peran Indonesia maupun hubungan baik Indonesia – Tiongkok. “Justru akan memperkuat sekaligus mengirimkan pesan kepada para pihak yang terlibat untuk lebih serius menghadapi konflik Laut Tiongkok Selatan ini. Tiongkok juga akan memahami bahwa Indonesia hanya menjaga kedaulatan Indonesia dan bukan upaya ofensif.”

Wawancara Prof. Tirta oleh BeritaBenar dapat dilihat pada tautan berikut:

http://www.benarnews.org/indonesian/berita/natuna-militer-lcs-07182016163131.html

 

Military in counterterrorism: Restraining collateral damage

$
0
0
Troops prepare to hunt for terrorist Santoso in Poso, Central Sulawesi.(ANTARA)Troops prepare to hunt for terrorist Santoso in Poso, Central Sulawesi.(ANTARA/*). Source: www.thejakartapost.com

One of the Faculty Members of the Department of International Relations at Bina Nusantara University, Tangguh Chairil, published an opinion article titled “Military in counterterrorism: Restraining collateral damage”. The article is as follows.

Military in counterterrorism: Restraining collateral damage

The House of Representatives’ special committee set up to amend the Terrorism Law is considering granting counterterrorism enforcement powers to the Indonesian Military (TNI). Such authorization could lead to a predicament.

The TNI has played a crucial role in the joint operation to capture Indonesia’s most wanted terrorist, Santoso, and his followers in the Central Sulawesi regency of Poso. TNI soldiers shot Santoso dead in an exchange of fire recently, ending a manhunt that lasted for years.

In his press statement TNI Commander Gen. Gatot Nurmantyo argued that terrorism was “not an ordinary crime, but a crime against the state”, which therefore required a change in approach that prioritizes early detection and preventive measures.

Gatot cited the theory of Israeli counterterrorism expert Boaz Ganor, according to which criminal law is not sufficient to address terrorism, because it is designed to organize daily life.

By contrast, according to Ganor’s way of thinking, the law of warfare is more suitable for combating terrorism, because methods of military operations are often required in counterterrorism.

What Gatot fails to explain is that Ganor’s theory actually presents a series of dilemmas around how the state should respond to terrorist activities. One of them concerns the dominance of a military component in counterterrorism policy: Military means against terrorist organizations may be effective, but they could also induce the terrorists to escalate and exacerbate their actions.

The success of military actions in damaging the terrorists’ ability to perpetrate attacks will only increase their motivation to commit acts of terror. All the more so when offensive actions are taken against terrorist activists or facilities. On the other hand, if no actions are taken in retaliation for a terrorist attack, the terrorists will have little incentive to preempt/stop such attacks. Ganor calls this dilemma the “boomerang effect”.

The “boomerang effect”, I will argue, is present in the context of terrorism in Indonesia. Prior to 2011, the targets of terrorist attacks in this country were mostly places of foreign, Western interests and residents. Since then, the attacks seem to have shifted to targeting authorities, especially police officers.

This phenomenon shows that terrorist organizations are retaliating against the police for arresting and killing their members. Indeed, counterterrorism squad Detachment 88 (Densus 88) — which has had considerable success in disrupting terrorist deployment and operations throughout the country — is part of the National Police.

Densus 88 has been accused of excessive use of force and human rights violations in counterterror operations and of torture against people in custody. Their methods have not only infuriated terrorists but also raised concerns among the Muslim population, who link the war on terrorism with an attack on Islam as well as human rights groups.

If the police — whose use of physical force is normally limited to low-level, non-lethal engagement — often resort to deadly force when facing terrorists, then what sort of expectation is to be put on military personnel — whose training is to eliminate the enemy in the most effective combat manner possible?

The “boomerang effect” is part of the collateral damage of counterterrorism in the war model, where the emphasis on restraining terrorism is stronger than on maintaining liberal democratic rights.

The war model in counterterrorism employs the exercise of military force and strategies with the intention of eradicating terrorism as dictated by the law of warfare, while consequently any constitutional or legal consideration is solely secondary. The armed forces’ response to terrorism is guided by military doctrine, whose nature often falls outside of acceptable democratic standards.

On the other hand, even the most democratic states with commitment to civil liberties, national and international law are vulnerable to perversion by terrorist organizations that bait the states into causing collateral damage among the civilian population. The terrorists could exploit civilian casualties as supposed proof of the immorality of the state.

Restraining collateral damage, therefore, must be the number one priority before involving the TNI in counterterrorism.

Only when that requirement is fulfilled may the TNI be called in for specific military roles in counterterrorism, such as military support to civil authorities, preventive operations, interception of terrorists and arms shipments, hostage rescue, intelligence gathering, preemptive intervention, targeted strikes and retaliatory raids.

As a precautionary measure, every involvement of the TNI must be treated as an integrated part of the overall counterterrorism strategy. In this context, TNI elements as well as National Police elements must be placed under the operational control of the Indonesian National Counterterrorism Agency (BNPT) as counterterrorism coordinator.

BNPT needs to ensure synergy between Densus 88 and the TNI’s elite forces, such as Denjaka, Sat-81/Gultor, and Satbravo-90, to avoid overlapping engagement: Densus 88 carries out normal counterterrorism operations, and when the threat escalates into a matter of national security, then the TNI’s special forces are deployed. This should be clarified in the form of a government regulation.

Involvement of the military in counterterrorism is inevitable. However, to restrain collateral damage to civilians, there must be strict regulations to the military means in the war on terrorism concerning the circumstances, conditions, degree and manner in which the use of force may be applied.

Tangguh Chairil
Subject Content Coordinator, Security StudiesDepartment of International Relations at Bina Nusantara University

***

source: http://www.thejakartapost.com/academia/2016/08/10/military-in-counterterrorism-restraining-collateral-damage.html

Troubled Transit review

$
0
0
Troubled Transit_ Asylum Seekers Stuck in IndonesiaCover of Troubled Transit by Antje Missbach. Source: bookshop.iseas.edu.sg

One of the Faculty Members of the Department of International Relations at Bina Nusantara University, Wayne Palmer, published a review of a book titled Troubled Transit: Asylum Seekers Stuck in Indonesia by Antje Missbach, published in 2015 by ISEAS – Yusof Ishak Institute. The book review is as follows.

  • Wayne Palmer. 2016. Review of Troubled Transit: Asylum-seekers Stuck in Indonesia, by Antje Missbach, Singapore: ISEAS Yusof-Isak Institute 2015. Pp. 289. Asia Pacific Migration Journal 25 (3): 342-344.

Troubled Transit makes a welcomed contribution to knowledge about the experiences of asylum seekers in Indonesia while they wait for the opportunity to settle in a third country. Antje Missbach was motivated to study this problem by the Australian view that they are a people to be pitied and a security concern. At the same time, she noted that the view was also generally uninformed about what life in transit is like. She works hard to give a balanced take of the situation through the use of often conflicting perspectives from both asylum seekers and policy-makers. Central arguments are that transit migration is a time-intensive process and that asylum seekers’ lives are complicated in transit countries like Indonesia, which proscribe integration and where the international protection system does not provide durable alternatives for resettlement.

Missbach reframes Indonesia’s asylum seekers as migrants in transit, who have arrived in the country with the express purpose of moving on to another. She argues that this intention is key because asylum seekers have become ‘stuck’, as the duration of their stay is sometimes much longer than planned and the outcome of their entire journey uncertain. Integration is not a legal option in Indonesia so settlement in a third country is the most sought after solution to their predicament. In other words, the international protection system is the ongoing method of choice for extricating themselves from it.

The positioning of transit migrants as recipients of services rather than rights-holders in the Indonesian context is another useful contribution to better understanding the combination of policies required to respond appropriately to their situation. Inter-governmental agencies, especially the UNHCR and IOM, are tasked with the responsibility of providing transit migrants with all possible support given the Indonesian context as part of an attempt to improve their economic and social standing. Missbach observes that the assistance is a form of ‘semi-protection’ that does indeed support transit migrants but also re-affirms the perception that the group has no urgent need for legal rights.

Another valuable contribution of Troubled Transit is its analysis of the nexus between people smuggling and transit migration. Missbach presents some powerful stories that reveal the reasons why transit migrants use the services of people smugglers. Many transit migrants come to Indonesia with the assistance of people smugglers. There is evidence that people smugglers even encourage transit migrants to register their presence with the UNHRC or the IOM. But it is clear also that the international protection system does little, if anything, to disrupt the people smuggling business. Rather, the length of time it takes to process asylum claims and then re-settle approved applicants may in fact facilitate it.

The uncertainty around official processes encourages transit migrants to turn once more to the people smugglers. That and the opportunity to make money also motivate some transit migrants to work as intermediaries for people smugglers or even establish their own services. Missbach presents a series of case studies about transit migrants turned people smuggler to identify factors that influence the decision-making process. An important conclusion is that legal and political inadequacies of the Indonesian context combined with uncertainty of the international protection regime make people smuggling an attractive means with which to deal with being ‘stuck’ in a transit country.

Missbach offers a detailed case study of transit migration in one country to academic debates on irregular migration. The concept is often linked with illegal means for crossing borders, for example, in countries within the European Union. Indeed, Indonesia’s transit migrants have in someway broken immigration law, and Troubled Transit acknowledges this. But without focussing on their irregular migration status as part of an attempt to reinvigorate the concept as a tool of analysis, Missbach skillfully applies transit migration to examine the asylum seekers’ lived experience only.

This book will be a useful resource for rights advocacy groups. It is less likely to find favour with policy-makers, who remain convinced that they have struck a reasonable balance between the treatment of transit migrants and security concerns. Missbach attempted to accommodate this standpoint in the chapters that provide a perspective from above on the ‘semi-protection’ services provided to transit migrants. It also acknowledges the security concerns that transit migrants generate in Indonesia and neighbouring countries like Australia. But as Missbach argues, however, it is very difficult to justify the injustice and suffering incurred as a result of the limitations of the international system. This book is an important guide to the consequences of this failure.

Troubled Transit, then, should be mandatory reading for those interested in learning about the hardships transit migrants in Indonesia go through before they arrive in a third country. Missbach showed how life in transit is characterized by ‘poverty, insufficient protection, unemployment and social exclusion’ (p.18). Any ongoing response to this situation should seek to mitigate and remedy these excesses while keeping in mind evidence-based conclusions about security concerns. An attempt to balance these two legitimate endeavours does not always have to be a zero sum game.

Wayne Palmer
Lecture SpecialistDepartment of International Relations at Bina Nusantara University

***

source: https://waynepalmer.asia/publications/troubled-transit-review/

http://amj.sagepub.com/content/current

Scopus, Kapitalisme dan Guru Besar

$
0
0

Ketua Jurusan Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara, Prof. Tirta N. Mursitama, Ph.D, memublikasikan artikelnya berjudul “Scopus, Kapitalisme dan Guru Besar”. Di bawah ini adalah artikelnya.

Scopus, Kapitalisme dan Guru Besar

Perdebatan bahwa penerbitan artikel ilmiah pada jurnal yang terindeks di database Scopus menjadi salah satu syarat pengajuan guru besar tak kunjung padam.

Bahkan, berkembang menjadi kontroversi yang bisa mengarah pada hal yang kontraproduktif dan tidak perlu. Satu sisi, Kemristekdikti menetapkan persyaratan ini sebagai upaya mengerek lebih tinggi kualitas ilmu pengetahuan Indonesia di kancah global. Semakin banyak artikel ilmiah para ilmuwan Indonesia terindeks pada database Scopus (dan lainnya), semakin besar kontribusi ilmuwan Indonesia dan kemungkinan ilmuwan Indonesia dikenal di dunia semakin luas.

Akhirnya, kemungkinan Indonesia masuk dalam radar persilatan akademik global semakin besar. Kontroversi ini paling tidak dapat dilihat dari dua hal yang berbeda, namun saling berkaitan. Pertama, Scopus (dan indexingdatabase lainnya: WoS, ISI, SSCI Thomson-Reuters) merupakan upaya indexing/ kodifikasi knowledge yang dilakukan oleh penerbit besar dan terkemuka dunia dalam bisnis pengetahuan/akademik global.

Secara reputasi mereka sudah tumbuh berkembang dan diakui dalam komunitas epistemik dunia. Namun, upaya tersebut memang tidak terlepas dari sebuah bagian dari bisnis yang berujung memupuk keuntungan (profit) yang kadang menafikan unsur keadilan dan kesetaraan antara pemilik modal (penerbit) dan akademia sebagai produsen knowledge sekaligus konsumen.

Logika kapitalisme tidak bisa dihindarkan di sini. Apalagi bila dilihat dari sisi hak cipta yang mengharuskan penulis memindahkan haknya ke penerbit. Hal ini terlihat tidak adil. Tetapi, apa kuasa dari penulis karena bila tidak mau menandatangani itu, artikelnya tidak akan diterbitkan. Mungkin aspek ini yang harus dilawan. Bahwasanya ada penerbit/ jurnal yang lebih kecil dan independen yang mungkin kualitasnya di bawah standar, harus diakui kemungkinan itu ada.

Mereka juga terindeks Scopus . Namun, sebagian besar penerbit ternama (Elsevier, Springer, Palgrave, Taylor-Francis, Brill, Inderscience, dan sebagainya) kualitas mereka bagus. Tetapi, mereka menutup akses pengunduhan artikel secara gratis dan mengharuskan konsumen berlangganan dengan biaya besar. Konsumen bisa juga membeli single copy yang biasanya cukup mahal.

Belakangan mereka juga menerbitkan open access dengan harga premium. Nah, sekarang kita mau bagaimana? Maukah kita mengakui sistem publikasi dalam reproduksi pengetahuan ala penerbit besar seperti di atas atau tidak? Kalau mengakui, suka tidak suka ikut sistem tersebut.

Bila tidak mengakui, solusi hanya satu: membuat sistem sendiri sebagai tandingan sehingga bisa menyaingi reputasi mereka. Dengan demikian, (lambat laun) akademia akan memilih sistem baru tersebut dan bila sukses, akhirnya akan menjadi standar.

Kualitas

Kedua, kita harus pisahkan antara argumentasi bahwa karier akademisi ditentukan oleh sistem kapitalisme industri penerbitan dunia (baca: syarat publikasi di Scopus) dengan kualitas sebagai akademia. Jangan sampai kita terjebak pada apologi atas ketidakmampuan kalangan akademia dengan menyalahkan narasi besar sistem kapitalisme industri penerbitan dunia.

Para ilmuwan Indonesia tidak demikian. Banyak akademia Indonesia dari berbagai disiplin ilmu yang mampu menerbitkan karya-karya di jurnal-jurnal bagus dunia (baca: terindeks Scopus , WoS, ISI, SSCI, dan sebagainya). Argumentasi ini bukan bermaksud membela penerbit besar dan memuja kapitalisme di dunia penerbitan jurnal, melainkan lebih pada upaya mendudukkan persoalannya secara lebih jelas.

Apakah ini soal copyrights saja, kualitas akademia atau narasi besar sistem kapitalisme dunia yang sedang menjadi arus utama saat ini yang mau dilawan dengan narasi baru? Perlu dilakukan perenungan bersama secara lebih jernih. Apakah inti persoalannya? Apakah tujuan dari perjuangan akademia? Apa pilihan strategi yang ada? Salah satu alternatif yang bisa dilakukan adalah pendekatan pragmatik dan strategis.

Ukur diri kita. Pilihan apa yang ada di depan mata yang sesuai dengan kapabilitas kita. Tunjukkan bahwa kita mampu berkontribusi pada ilmu pengetahuan dan kesejahteraan umat manusia, makhluk ciptaan Tuhan YME lainnya, dan dunia seisinya melalui pengembangan ilmu pengetahuan. Dari dua hal di atas, apakah adil terbitan Scopus menjadi salah satu syarat pengajuan guru besar?

Jawabannya kembali kepada kita masing-masing. Pengakuan jabatan akademik tertinggi (baca: menjadi guru besar) memang tidak ditentukan semata-mata oleh terbit dan tidak artikel kita di jurnal terindeks Scopus . Tapi, bukan berarti indeksasi di Scopus tidak perlu. Bukan berarti juga karya ilmiah yang tidak terindeks Scopus berkualitas buruk.

Kalau ilmuwan Indonesia mampu menunjukkan reputasi yang berkualitas dengan ukuran lain yang sudah diterima oleh komunitas epistemik dan dunia, silakan ditunjukkan. Mari kita usulkan kepada pembuat kebijakan (Kemristekdikti). Jadi, buka dengan menghapuskan syarat terindeks di Scopus tanpa alternatif yang jelas. Memang sistem yang ada selama ini tidak sempurna.

Tapi, perbedaan antara pembuat kebijakan dan ilmuwan murni adalah keberanian memutuskan di antara berbagai pilihan yang sulit. Dalam konteks ini saya angkat topi untuk Kemristekdikti. Kebijakan penetapan syarat terbit di Scopus mungkin pahit sekarang, tapi bisa jadi berbuah manis beberapa tahun ke depan. Mereka juga terus berbenah. Dunia memang tidak selamanya bisa adil dilihat dari kacamata setiap orang.

Namun, bila paling tidak memberikan manfaat untuk sebagian besar orang, sebuah pilihan layak dijatuhkan. Kalau mau berburu binatang di hutan, bukan hutannya yang dibakar, bukan?

Tirta N Mursitama PhD
Guru Besar, Departemen Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara

***

sumber: http://www.koran-sindo.com/news.php?r=1&n=0&date=2016-08-27


Production Politics and Migrant Labour Regimes

$
0
0
Production Politics and Migrant Labour Regimes_ Guest Workers in Asia and the GulfProduction Politics and Migrant Labour Regimes, by Charanpal Singh Bal. Source: Palgrave Macmillan

The Department of International Relations of Bina Nusantara University congratulates our Faculty Member and Deputy Head of Global Class, Charanpal Singh Bal, for the publication of his new book titled Production Politics and Migrant Labour Regimes published by Palgrave Macmillan.

The bibliographic information about Charan’s book can be found in: http://www.palgrave.com/us/book/9781137548580

Life During and After International Relations Studies

$
0
0
P_20160914_130353Group photo pascasesi Orientasi Akademik Mahasiswa Baru HI Binus 2016, Topik Life During and After International Relations Studies

Departemen Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara mengadakan sebuah sesi  yang merupakan salah satu rangkaian kegiatan Orientasi Akademik untuk mahasiswa baru Binus pada hari Rabu (14/9) di kampus Anggrek Binus. Acara ini mengangkat topik “Life During and After International Relations Studies“. Sesi ini bertujuan untuk memberi gambaran pada mahasiswa baru HI Binus bagaimana mereka dapat sukses sebagai mahasiswa HI serta seperti apa karier yang dapat mereka tempuh selama dan sesudah menjadi mahasiswa HI.

Pada sesi ini, Departemen HI Binus mengundang beberapa pembicara untuk berbagi pengalaman dan kiat-kiat untuk meraih kesuksesan. Bertindak sebagai moderator adalah dosen dan Faculty Member HI Binus Pamungkas Ayudaning Dewanto, atau akrab dipanggil Yuda. Yuda memoderatori para pembicara, yaitu Baskoro Pramadi dari Kementerian Luar Negeri Indonesia, Aryani Kristanti dari PT Tempo Inti Media Tbk, Nova Joanita, fresh graduate angkatan pertama HI Binus, dan Jessica, mahasiswa HI Binus angkatan B2018 (tahun masuk 2014).

Baskoro Pramadi, yang merupakan Diplomat Junior Kemlu, mengungkapkan bahwa ia merasa sangat beruntung dapat bekerja di Kemlu. Satu hal yang ia sadari setelah lulus dan bekerja di Kemlu adalah bahwa teori-teori yang ia pelajari dalam ilmu HI jauh lebih jelas pada saat diterapkan dalam pekerjaannya. Akan tetapi, menurut Baskoro, teori-teori saja tidak cukup. Cara berkomunikasi juga penting agar tujuan negosiasi dapat dicapai.

Aryani Kristanti, yang merupakan Business Development Section Head di PT Tempo Inti Media Tbk, mengungkapkan bahwa walaupun dalam ilmu HI menulis merupakan hal yang biasa (hampir sama dengan dunia jurnalistik), yang paling penting adalah keahlian hubungan interpersonal. Hal tersebut penting karena informasi bisa datang dari mana saja, dan dengan banyaknya hubungan baik dengan semua orang membuat proses investigasi informasi menjadi lebih mudah. Ia menambahkan bahwa ia sangat senang karena belajar HI membantunya untuk berpikir logis dan berdiplomasi dengan siapapun.

Nova Joanita, yang pernah magang sebagai Advisory Perfomance Improvement Strategy team di PT Ernst & Young Indonesia, adalah mahasiswi yang aktif selama kuliah. Ia sering mengikuti lomba debat, simulasi sidang PBB (Model United Nations/MUN), student exchange, dan lain-lain. Walaupun ia sekarang bekerja di perusahaan swasta akuntan publik, ia menambahkan bahwa ilmu HI yang ia dapatkan juga membantunya dalam menjalani pekerjaannya. Menurutnya, mahasiswa HI mempunyai banyak spot pekerjaan di manapun dalam posisi apapun, karena pemikiran mahasiswanya yang logis.

Terakhir, Jessica yang masih mahasiswi HI Binus mengaku bahwa pada saat awal kuliah ia tidak terlalu mengerti apa yang dosen jelaskan dan ingin cepat pulang. Akan tetapi, dua tahun kemudian ia sadar ia tidak ingin dalam kondisi seperti itu terus. Ia tidak ingin menghabiskan waktu kuliahnya yang berharga dengan tidak ada perkembangan. Lalu, ia mulai aktif di berbagai kegiatan dan bertemu dengan orang-orang yang menginspirasinya. Sekarang, ia freelance di PT Tech in Asia Indonesia, sibuk berorganisasi, mempunyai pengalaman internasional dari student exchange, mendapatkan beasiswa, dan mempertahankan IPK yang tinggi, yaitu 3,94.

Mahasiswa baru HI Binus tampak antusias dalam sesi ini. Terbukti, pada saat sesi tanya jawab dibuka, mereka aktif bertanya kepada para pembicara. Diharapkan setelah sesi ini, mahasiswa baru dapat termotivasi untuk merencanakan karir mereka di masa depan.

P_20160914_123611Kiri-kanan: Nova Joanita, Baskoro Pramadani, Pamungkas Ayudaning Dewanto, Aryani Kristanti, dan Jessica

“Creating Peaceful Young Generations”: Pemutaran & Diskusi Film “Jihad Selfie”

$
0
0

Jihad Selfie

Poster Film Jihad Selfie

Noor Huda Ismail: ISIS Rekrut Anggota Melalui Medsos

Pada 15 September 2016, Departemen Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara menyelenggarakan acara pemutaran dan diskusi film buah karya sutradara Noor Huda Ismail berjudul Jihad Selfie, yang dihadiri sekitar 500 penonton dari berbagai kalangan. Acara ini menghadirkan sang sutradara sebagai special guest.

Dalam sambutannya, ketua departemen HI Binus Prof. Tirta Mursitama menyampaikan bahwa mahasiswa HI dituntut tidak hanya mempelajari HI melalui literatur, namun juga melalui studi kasus aplikatif. Dengan menonton film tentang perjalanan seorang anak muda asal Aceh yang tergerak bergabung dengan kelompok teror ISIS (Islamic State in Iraq and Syria), mahasiswa HI Binus dapat memahami terorisme sebagai salah satu kajian HI dari berbagai sudut pandang.

1474546307573

Sambutan ketua departemen HI Binus, Prof. Tirta Mursitama

Pernyataan Prof. Tirta Mursitama disambut positif oleh Noor Huda Ismail. Pria yang kini tengah menyelesaikan tesisnya dengan judul “Indonesian Foreign Fighters, Hegemonic Masculinity and Globalisation” di Monash University, Australia, tersebut mengatakan bahwa pendekatan yang ia lakukan pada sejumlah jihadis adalah kemanusiaan. Kekerasan tak seharusnya dibalas dengan kekerasan. Melalui film, Noor Huda ingin menceritakan bahwa pendekatan “kasih”  terhadap kelompok radikal mampu meredam konflik, bahkan mengembalikan mereka kepada masyarakat.

Pembuatan film ini juga tergerak karena target ISIS mulai membidik anak-anak remaja melalui jejaring media sosial. Huda menyebutnya literasi digital. Akbar, aktor yang dikisahkan lewat tangan dingin Huda di film Jihad Selfie, merupakan contoh konkret dari remaja yang memiliki literasi digital. Akbar tertarik dengan ISIS karena melihat sahabatnya yang memegang senapan AK-47 di internet dengan gagahnya. Pemahaman mendalam Akbar akan agama dan hapalan Alqurannya ternyata tak mampu membendung keinginannya untuk bergabung dengan ISIS seperti temannya. Gagah versi Akbar adalah mencoba memegang senjata dan berjihad dengan cara perang. Akbar merasa bosan dengan pelajaran di sekolahnya yang dianggap terlalu mudah.

IMG_7432

Noor Huda Ismail mengarahkan diskusi film Jihad Selfie

Inilah yang terus diteliti Noor Huda: bahwa yang menjadi korban target rekrutmen ISIS bukan hanya anak muda yang kurang wawasan, melainkan juga orang yang cerdas. Noor Huda melihat bahwa perkembangan dunia Internet yang sangat pesat dapat membahayakan generasi muda Indonesia. Sekitar 500 warga negara Indonesia pergi ke Suriah dengan tujuan jihad. Mereka mayoritas terpengaruh dari jejaring media sosial dengan iming-iming kesejahteraan hidup yang akan diperoleh sesampainya di Suriah.

Acara diskusi antara mahasiswa HI Binus dengan Noor Huda Ismail disambut sangat antusias mahasiswa. Bahkan ada pertanyaan tentang kekuatan ISIS yang akan menjadi poros baru pemicu perang dunia ketiga. Dengan bahasanya yang renyah dan gaya bertuturnya yang humoris, Huda menjawab tidak yakin ISIS akan menjadi kekuatan baru dalam konflik global. Meski demikian, keberadaan ISIS dan cara rekrutmen mereka yang mulai mengincar anak muda di seluruh dunia lewat internet tetap harus diwaspadai.

IMG_7446

Penyerahan cendera mata kepada Akbar, salah seorang aktor film Jihad Selfie

Forum Komunikasi Mahasiswa Hubungan Internasional se-Indonesia: Pemerintah Harus Meningkatkan Kemandirian Industri Pertahanan dalam Sektor Kemaritiman

$
0
0
228352Atas: perwakilan mahasiswa/i HI Binus dalam Joint Statement Forum FKMHII, ki-ka: Floryan Akerina, Hizkia Casela, dan Audhia Firdaus.
Bawah: delegasi Joint Statement Forum FKMHII

Pada 20-22 September 2016, Forum Komunikasi Mahasiswa Hubungan Internasional se-Indonesia (FKMHII) Korwil II menyelenggarakan diskusi antarmahasiswa dengan nama Joint Statement Forum (JSF) yang bertujuan untuk memberikan rekomendasi dan ekspresi sebagai mahasiswa atas suatu isu di dalam negeri. Dalam JSF kali ini, tiga mahasiswa/i mewakili Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara, yaitu Audhia Firdaus, Floryan Akerina, dan Hizkia Casela.

Diskusi JSF ini mengangkat tema “Peningkatan Kemandirian Industri Pertahanan Nasional dalam Sektor Maritim”. Alasan utama tema ini diangkat adalah negara kita tidak memiliki kemampuan menghadapi ancaman dari luar karena kurangnya alat utama sistem senjata (alutsista) yang dimiliki. Indonesia tidak dapat mengandalkan produsen luar negeri untuk memenuhi kebutuhan alutsista dalam negeri karena, jika negara kita menghadapi perang atau memiliki masalah dengan negara-negara produsen tersebut, mereka dapat berhenti memasok kebutuhan alusista kita. Maka dari itu, kemandirian industri pertahanan dalam negeri sangat diperlukan untuk memperkuat pertahanan negara kita dan mendukung Tentara Nasional Indonesia (TNI) khususnya Angkatan Laut (AL) yang kurang memiliki alutsista yang ideal dalam menjaga perairan kita.

Ada banyak hal yang menghambat pemerintah kita dalam meningkatkan industri pertahanan kita. Pertama, terbatasnya pengetahuan dan teknologi membuat Indonesia tidak dapat menjamin pasar global dalam industri pertahanan yang mandiri. Kemudian, kurangnya kolaborasi dan sinergi antara pemerintah dengan pihak terkait, seperti TNI dan industri pertahanan.

Topik yang diangkat kali ini, khususnya di Indonesia, memang bersifat rahasia dan strategis, di mana hanya pemerintah dan para ahli yang ideal mendiskusikannya. Namun, kontribusi mahasiswa Hubungan Internasional juga dibutuhkan untuk memberikan pandangan lain sebagai pertimbangan pemerintah ke depannya. Rekomendasi delegasi JSF disusun dalam satu buah paper yang kurang lebih berisi:

  1. Delegasi JSF mendorong pemerintah untuk meningkatkan kolaborasi dan sinergi lewat KKIP (Komite Kebijakan Industri Pertahanan) dengan pihak terkait, yaitu TNI sebagai pengguna peralatan pertahanan dan industri pertahanan dalam negeri. Kemudian, delegasi JSF juga mendorong pemerintah untuk segera membentuk perencanaan jangka panjang yang jelas agar pembangunan berkelanjutan lebih terarah. Pemerintah lewat KKIP juga harus mendukung secara penuh pelaksanaan riset dan pengembangan dengan lembaga terkait, seperti LIPI, dan juga melibatkan akademisi dan para ahli dengan mengadakan diskusi ilmiah untuk mendapatkan pandangan lain dalam mengembangkan industri pertahanan.
  1. Delegasi JSF merekomendasikan pemerintah untuk melakukan efisiensi anggaran pertahanan dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas berkolaborasi dengan aparat hukum terkait, seperti Polri, KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan Kejaksaan Agung, untuk menghindari adanya kecurangan maupun penyalahgunaan anggaran yang terjadi baik di pemerintah, TNI, maupun industri pertahanan itu sendiri. Kemudian, untuk meningkatkan kemampuan industri pertahanan khususnya dalam sektor finansial, kami merekomendasikan kepada pemerintah untuk mengembangkan teknologi yang bersifat dual use, yaitu dapat digunakan baik oleh militer maupun sipil, untuk mengantisipasi saat permintaan pasar tidak terlalu tinggi, kelangsungan produksi tetap dapat berjalan untuk produk berbasis sipil. Program ini juga sebagai tambahan modal bagi industri pertahanan untuk mengembangkan teknologi yang sudah ada atau melakukan riset baru lagi.
  1. Delegasi JSF mendorong pemerintah untuk meningkatkan kerja sama dengan mitra luar negeri untuk mempermudah alih teknologi (Transfer of Technology; ToT) serta alih pengetahuan (Transfer of Knowledge; ToK) sehingga memperbesar kesempatan Indonesia untuk segera mengadopsi teknologi militer terkini ke dalam proses pengadaan alat serta persenjataan militer agar dapat segera menciptakan inovasi serta menguatkan dan mulai mematenkan hak cipta akan produk yang sudah dimanufaktur oleh Indonesia dari hasil ToT maupun ofset.

Tiga poin di atas adalah rangkuman dari seluruh rekomendasi delegasi JSF yang sudah disampaikan kepada presiden melalui diskusi dengan Deputi V Kantor Staf Presiden Jaleswari Pramodhawardani. Delegasi JSF berharap pemerintah dapat mempertimbangkan rekomendasi mereka dalam usaha bersama kita mewujudkan kemandirian industri pertahanan Indonesia.

Gagasan Pertahanan Nasional dari Forum Mahasiswa: Mahasiswa HI Binus dalam Situs Web Kantor Staf Presiden

$
0
0
Gagasan Pertahanan Nasional dari Forum MahasiswaDelegasi Joint Statement Forum FKMHII dalam diskusi dengan Deputi V Kantor Staf Presiden Jaleswari Pramodhawardani. Sumber: ksp.go.id

Pada 20-22 September 2016, Forum Komunikasi Mahasiswa Hubungan Internasional se-Indonesia (FKMHII) Korwil II menyelenggarakan diskusi antarmahasiswa dengan nama Joint Statement Forum (JSF) yang bertujuan untuk memberikan rekomendasi dan ekspresi sebagai mahasiswa atas suatu isu di dalam negeri. Diskusi JSF ini mengangkat tema “Peningkatan Kemandirian Industri Pertahanan Nasional dalam Sektor Maritim”. Dalam JSF kali ini, tiga mahasiswa/i mewakili Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara, yaitu Audhia Firdaus, Floryan Akerina, dan Hizkia Casela.

Rekomendasi delegasi JSF tersebut sudah disampaikan kepada presiden melalui diskusi dengan Deputi V Kantor Staf Presiden Jaleswari Pramodhawardani. Dalam diskusi tersebut, gagasan yang disampaikan oleh Floryan dikutip dalam situs web Kantor Staf Presiden (KSP): “Kami mendorong pemerintah untuk mengembangkan teknologi dan menemukan inovasi dalam industri pertahanan khususnya sektor maritim.” Selain itu, mahasiswa berharap pemerintah lebih mengoptimalkan institusi litbang seperti LIPI dan keterlibatan perguruan tinggi dalam melakukan inovasi teknologi untuk membangun kemandirian industri pertahanan.

Pernyataan Floryan yang dikutip dalam situs web KSP dapat dilihat pada tautan berikut:

Gagasan Pertahanan Nasional dari Forum Mahasiswa

Ketua Jurusan HI Binus Berdialog tentang Debat Hillary-Trump

$
0
0

Dialog Special Report_ Debat Hillary-Trump _1

Dialog Special Report: Debat Hillary-Trump #1. Sumber: YouTube BeritaSatuTV

Pada 10 Oktober 2016 WIB, telah dilaksanakan debat presidensial kedua antara para kandidat presiden AS, Hillary Clinton dan Donald Trump. Debat ini berlangsung di Washington University di St. Louis, Missouri, dalam bentuk pertemuan kota, di mana setengah dari seluruh pertanyaan diajukan langsung oleh peserta warga dan setengah lainnya diajukan oleh moderator berdasarkan topik kepentingan publik yang luas seperti yang tercermin di media sosial dan sumber-sumber lainnya. Video debat lengkap dapat dilihat di situs web 2016 Election Central dan transkripnya dapat dilihat di Washington Post.

Dalam Dialog Special Report dengan BeritaSatuTV, Ketua Departemen Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara, Prof. Tirta Mursitama, mengulas debat presidensial AS yang kedua tersebut bersama Prof Firmanzah, Rektor Universitas Paramadina.

Dialog Prof. Tirta dengan BeritaSatuTV dapat dilihat pada tautan berikut:

Dialog Special Report: Debat Hillary-Trump #1

Dialog Special Report: Debat Hillary-Trump #2

Dialog Special Report: Debat Hillary-Trump #3

Dialog Special Report: Debat Hillary-Trump #4

Dialog Special Report: Debat Hillary-Trump #5

Indonesia’s Overseas Labour Migration Programme, 1969-2010

$
0
0

Indonesia's Overseas Labour Migration Programme, 1969-2010

Indonesia’s Overseas Labour Migration Programme, 1969-2010, by Wayne Palmer. Source: Brill

The Department of International Relations of Bina Nusantara University congratulates our Faculty Member and Lecture Specialist, Wayne Palmer, for the publication of his new book titled Indonesia’s Overseas Labour Migration Programme, 1969-2010 published by Brill.

The bibliographic information about Wayne’s book can be found in: http://www.brill.com/products/book/indonesias-overseas-labour-migration-programme-1969-2010


ICOBIRD 2016

$
0
0

“Regional Economic Cooperation in Southeast Asia: Revisiting the Path and the Way Forward for the ASEAN Economic Community”

 

 

 

The implementation of ASEAN Economic Community (AEC) effectively in January 2016 has significances for both decision makers and academic community that need wider discussion on the matter. Against this backdrop, the Department of International Relations of Binus University has organized The 5th International Conference on Business, International Relations, and Diplomacy (ICOBIRD) under the theme “Regional Economic Cooperation in Southeast Asia: Revisiting the Path and the Way Forward for the ASEAN Economic Community” on 19-20 October 2016.

The opening ceremony of ICOBIRD was conducted together with other conferences in the Faculty of Humanities of Binus University to commemorate the 35th anniversary of Binus University on 19 October 2016 morning. It was followed by a plenary session of those conferences, by the theme “Empowering Diversity to Strengthen the Implementation and Revitalization of the Global Partnership for Sustainable Development” which invited Prof. Zhou Xiaobing from Sun Yat Sen University, Prof. Stephen Benton from Westminster University, and Donatus Klaudius Marut from the Department of International Relations of Binus University.

On the afternoon, ICOBIRD international seminar was conducted, with keynote speech by Director General for ASEAN Cooperation of the Ministry of Foreign Affairs of the Republic of Indonesia, H.E. Jose Antonio Morato Tavares. The seminar also invited speakers Prof. Charnvit Kasetsiri from Thammasat University, Thailand, and Prof. Tirta Nugraha Mursitama, our Head of Department. The seminar was moderated by Rangga Aditya.

The seminar was followed by two panel sessions. The first panel went by the theme “Theorizing Regional Economic Cooperation in Southeast Asia”. Paramitaningrum, Ph.D. acted as moderator for presenters Dr. Tamas Novak, Dr. Sue Thompson, Siti Daulah Khoiriati, and Jacob E. Hogan. Another panel was under the theme “Regionalism or Globalism? Balancing the Vision of Single Market and Integration to Global Economy”. Dayu Nirma Amurwanti moderated this panel with Dr. Teuku Rezasyah, Neneng Konety, Affabile Rifawan, Wahyu Wardhana; Prof. Tirta Nugraha Mursitama & Handy Cahyono; and Sukmawani Bela Pertiwi & Nia Janira as presenters.

On 20 October 2016, ICOBIRD continued with two other panel sessions in the morning. The third panel went by the theme “The Political, Security, and Socio-Cultural Aspects of the AEC”. Curie Maharani Savitri, Ph.D. acted as moderator for presenters Enrico Cau, Ratu Ayu Asih Kusuma Putri & Dennyza Gabiella, Wu Juan, and Paramitaningrum, Ph.D.. The other panel was a special panel under the theme “Indonesia in Perspectives”. Tia Mariatul Kibtiah moderated this panel with Mita Yesyca, Luh Nyoman Ratih Wagiswari Kabinawa, Dr. Tai Wan-Ping, and Geradi Yudhistira as presenters.

After lunch break, ICOBIRD workshop on “How to Conduct Research in Area Studies” was conducted, with speakers Dr. Charanpal Singh Bal and Prof. Tirta Nugraha Mursitama.

The workshop was followed by a closing ceremony which invited Senior Economist of the ASEAN Secretariat, Ahmad Zafarullah Abdul Jalil. ICOBIRD 2016 was officially closed after concluding remarks by Amalia Sustikarini.

See more at: http://ir.binus.ac.id/icobird/post/about-icobird-2016/

About ICOBIRD 2016

$
0
0

“Regional Economic Cooperation in Southeast Asia: Revisiting the Path and the Way Forward for the ASEAN Economic Community”

 

 

The implementation of ASEAN Economic Community (AEC) effectively in January 2016 has significances for both decision makers and academic community that need wider discussion on the matter. Against this backdrop, the Department of International Relations of Binus University has organized The 5th International Conference on Business, International Relations, and Diplomacy (ICOBIRD) under the theme “Regional Economic Cooperation in Southeast Asia: Revisiting the Path and the Way Forward for the ASEAN Economic Community” on 19-20 October 2016.

The opening ceremony of ICOBIRD was conducted together with other conferences in the Faculty of Humanities of Binus University to commemorate the 35th anniversary of Binus University on 19 October 2016 morning. It was followed by a plenary session of those conferences, by the theme “Empowering Diversity to Strengthen the Implementation and Revitalization of the Global Partnership for Sustainable Development” which invited Prof. Zhou Xiaobing from Sun Yat Sen University, Prof. Stephen Benton from Westminster University, and Donatus Klaudius Marut from the Department of International Relations of Binus University.

On the afternoon, ICOBIRD international seminar was conducted, with keynote speech by Director General for ASEAN Cooperation of the Ministry of Foreign Affairs of the Republic of Indonesia, H.E. Jose Antonio Morato Tavares. The seminar also invited speakers Prof. Charnvit Kasetsiri from Thammasat University, Thailand, and Prof. Tirta Nugraha Mursitama, our Head of Department. The seminar was moderated by Rangga Aditya.

The seminar was followed by two panel sessions. The first panel went by the theme “Theorizing Regional Economic Cooperation in Southeast Asia”. Paramitaningrum, Ph.D. acted as moderator for presenters Dr. Tamas Novak, Dr. Sue Thompson, Siti Daulah Khoiriati, and Jacob E. Hogan. Another panel was under the theme “Regionalism or Globalism? Balancing the Vision of Single Market and Integration to Global Economy”. Dayu Nirma Amurwanti moderated this panel with Dr. Teuku Rezasyah, Neneng Konety, Affabile Rifawan, Wahyu Wardhana; Prof. Tirta Nugraha Mursitama & Handy Cahyono; and Sukmawani Bela Pertiwi & Nia Janira as presenters.

On 20 October 2016, ICOBIRD continued with two other panel sessions in the morning. The third panel went by the theme “The Political, Security, and Socio-Cultural Aspects of the AEC”. Curie Maharani Savitri, Ph.D. acted as moderator for presenters Enrico Cau, Ratu Ayu Asih Kusuma Putri & Dennyza Gabiella, Wu Juan, and Paramitaningrum, Ph.D.. The other panel was a special panel under the theme “Indonesia in Perspectives”. Tia Mariatul Kibtiah moderated this panel with Mita Yesyca, Luh Nyoman Ratih Wagiswari Kabinawa, Dr. Tai Wan-Ping, and Geradi Yudhistira as presenters.

After lunch break, ICOBIRD workshop on “How to Conduct Research in Area Studies” was conducted, with speakers Dr. Charanpal Singh Bal and Prof. Tirta Nugraha Mursitama.

The workshop was followed by a closing ceremony which invited Senior Economist of the ASEAN Secretariat, Ahmad Zafarullah Abdul Jalil. ICOBIRD 2016 was officially closed after concluding remarks by Amalia Sustikarini.

BINUS International Relations’ Faculty Members Participated in Regional School on Nuclear Security

$
0
0

4R

With the increasingly wide applications of nuclear energy all around the world, nuclear security is now more important than ever. With over 430 operating nuclear power plants, providing ~ 11 % total electricity worldwide; nearly 250 research reactors; over 300 fuel cycle facilities; more than 70 new nuclear power plants are being built in 15 countries; about 30 new countries embarking on nuclear power programs; and millions of radioactive sources used in medicine, agriculture, industry, research, etc.; establishing an effective and sustainable nuclear security infrastructure is crucial for the protection of individual, people, society and the environment.

To provide young professionals from nuclear facilities and other relevant institutions in the Asia and the Pacific region with a basic understanding of nuclear security, the International Atomic Energy Agency (IAEA) in cooperation with the National Nuclear Energy Agency of Indonesia (BATAN) and the Nuclear Energy Regulatory Agency of Indonesia (BAPETEN) had organized Regional School on Nuclear Security in Jakarta, Indonesia, on 17–28 October 2016. The School sessions were mostly held in BATAN’s Center for Education and Training on Jalan Lebak Bulus Raya No. 9, though there was a technical visit to BATAN’s reator in Serpong, South Tangerang, and BAPETEN’s office in Gambir, Central Jakarta on 25 October 2016.

20161017_163327

The Regional School on Nuclear Security convened 36 participants from 13 IAEA member states from the Asia and the Pacific region. Among them were our Faculty Members, Tangguh Chairil and Mutti Anggitta, who engaged in the two-week program. The curriculum topics that were covered included:

  • International legal framework supporting nuclear security
  • Identification of, and remedies to, threats against nuclear security
  • Instruments and methods for physical protection at associated facilities
  • Illicit trafficking in nuclear and other radioactive material, including radiation detection instruments and detection strategies and techniques
  • Transport security for nuclear and other radioactive material
  • Nuclear and radiological forensics, and crime scene management
  • Nuclear security culture, cybersecurity and security at major public events
  • Measures for systematic nuclear security human resource development at the national level
  • Practical exercises designed to incorporate this knowledge into Member States’ planning and procedures to protect against threats to nuclear security

All topics aimed to tackle some of the most prominent nuclear security issues with professionals from IAEA, BATAN, and BAPETEN. The program had brought young nuclear professionals together to foster discussion and debate on nuclear security, to increase international cooperation on nuclear security. At the end of the School, our Faculty Member Mutti Anggitta was announced as the best participant with the highest score on the evaluation. Congratulations to Mutti, for the very proud achievement, one of the best nuclear scholars who also raised the name of BINUS International Relations Department.

Nobel yang Tak Diinginkan

$
0
0

Research Coordinator Departemen Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara, Amalia Sustikarini, memublikasikan artikelnya berjudul “Nobel yang Tak Diinginkan”. Di bawah ini adalah artikelnya.

Nobel yang Tak Diinginkan

Panitia mengumumkan bahwa Nobel Perdamaian 2016 diberikan kepada Presiden Kolombia Juan Santos yang sukses melahirkan perjanjian damai untuk mengakhiri konflik bersenjata yang telah berjalan lebih dari setengah abad.  Kolombia mengalami konflik politik berkepanjangan sejak 1948 saat terjadi perang sipil antara kelompok liberal dan konservatif (La Violencia).

Usai perang sipil tahun 1968  tidak otomatis melahirkan  perdamaian di Kolombia karena kemudian terbentuk kelompok bersenjata berhaluan marxis. Mereka kecewa karena tidak dilibatkan dalam political sharing agreeement pascaperang sipil. Mereka lalu mengangkat senjata melawan pemerintah yang dianggap memihak kelompok kaya dan tuan tanah. Dua kelompok bersenjata yang terkuat adalah FARC  dan ELN.

Perlawanan FARC dan ELN direspons dengan keras oleh pemerintah. Tak kurang dari 250.000 jiwa melayang dan jutaan orang lainnya mengungsi. Aksi-aksi penculikan, pembunuhan, kekerasan seksual yang berkelindan dengan peredaran obat-obatan menjadi realita sehari-hari yang harus dihadapi penduduk Kolombia.

Saat Jose Santos menjadi presiden tahun 2010, pendekatan mulai berubah menjadi lebih lunak dengan beberapa kali usaha perundingan damai. Akhirnya berhasil dicapai perdamaian antara pemerintah dan FARC.

Beberapa hari sebelum hadiah Nobel tersebut diberikan kepada Santos, perjanjian perdamaian ditolak rakyat Kolombia. Hal itu tampak dari hasil referendum  di mana 50,2 persen suara menolak, dan 49,8 persen menerima. Hasil referendum ini menyebabkan perjanjian perdamaian yang telah ditandantangani Presiden Juan Santos dan Pemimpin FARC  tidak bisa diimplementasikan.

Keberatan utama dari rakyat Kolombia terhadap perjanjian perdamaian ini karena konsesi yang terlalu besar dan murah hati bagi kelompok FARC. Berdasarkan perjanjian tersebut, kelompok FARC berhak mendapat amnesti, atau menjalani peradilan khusus dengan hukuman penjara minimal serta melakukan community service. Mereka juga mendapat alokasi 10 kursi di parlemen sambil menunggu transformasi menjadi partai politik agar dapat berkompetisi di pemilu.

Selain itu, juga ada juga program reintegrasi para serdadu FARC yang memakan biaya besar. Rakyat Kolombia yang menolak perjanjian perdamaian mengaggap klausul-klausul tersebut sebagai bentuk ketidakadilan dan pengabaian segala kejahatan FARC selama 50 tahun.

Mirip Aceh

Perjalanan konflik dan perdamaian  Kolombia ini sedikit banyak mengingatkan pada proses serupa  di Aceh pada tahun 2005. Terjadi pula kemiripan,  inisiator perdamaian tersebut dianugerahi hadian nobel perdamaian, yang pada kasus Aceh diterima oleh Marti Ahtisaari, mediator perundingan Helsinki antara GAM dan pemerintah Indonesia. Beberapa klausul perjanjian perdamaian pun mirip:  reintegrasi, pembentukan partai politik dan amnesti. Saat perundingan berjalan pun ada resistensi dari kalangan militer dan anggota DPR. Namun penentangan tersebut bisa diredam duet SBY-JK yang berasal dari kalangan militer dan Golkar, parpol dominan di DPR.

Proses penyusunan Undang-Undang Pemerintah Aceh  (UUPA) sebagai turunan dari MoU Helsinki menjalani proses yang cukup lama karena beberapa subjek dianggap cukup sensitif seperti pembentukan (partai politik lokal).  Namun perbedaannya konflik di Aceh hanya terjadi di satu provinsi. Sedangkan di Kolombia melibatkan seluruh negeri sehingga proses penyelesaiannya pun lebih rumit.

Ada pelajaran dari kegagalan perdamaian Kolombia dibanding Aceh. Rakyat Kolombia masih sulit memaafkan  dan menjalin rekonsiliasi dengan  FARC melalui proses transitional justice. Ini memang sensitif dalam setiap perjanjian perdamaian.

Dalam kasus Aceh, peradilan HAM dan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR)  menjadi klausul yang cenderung dikesampingkan. Pengadilan HAM menjadi tidak bergigi untuk menyelesaikan kasus-kasus kekerasan selama konflik Aceh karena tidak mengadopsi prinsip rectroactive. Jadi, hanya dapat mengadili kasus-kasus setelah perdamaian.

Komisi KKR bernasib  sama. Dasar hukum pembentukannya dianulir karena pasal tentang amnesti dianggap menciderai rasa keadilan. Lebih dari 10 tahun kemudian, belum ada insiatif baru pemerintah untuk memulai usaha-usaha nonjudisial dalam menuntaskan kekerasan semasa konflik Aceh.

Kemudian,  mekanisme referendum atau plebisit ternyata memiliki risiko  bahwa rakyat ternyata mengambil pilihan yang diangap kurang baik. Ingat Brexit di mana  referendum rakyat Inggris secara mengejutkan memilih  keluar dari EU. Informasi tidak berimbang dan lebih dominannya info negatif  bergabungnya Inggris ke  EU ditengarai jadi sebab kekalahan pendukung EU.

Di Kolombia, kurangnya penjelasan resmi dari pemerintah dan gencarnya informasi negatif tentang perjanjian damai diduga menjadi salah satu penyebab penolakan.  Di samping itu, terdapat pula tingginya jumlah penduduk yang memilih untuk abstain.

Referendum,  bentuk demokrasi langsung, kerap ditafsirkan sebagai bentuk tertinggi demokrasi karena rakyat dapat memutuskan secara langsung masalah-masalah krusial negara. Namun terdapat konsekuensi terjadinya instabilitas politik karena rakyat rentan dimanipulasi oposisi.

Perjanjian perdamaian Aceh berhasil dikawal  pemerintah dan DPR sehingga menghasilkan MoU Helsinki dan UUPA yang menjadi landasan proses peacebuilding di Aceh.  Dengan kata lain, pencapaian perdamaian  Aceh sedikit banyak dibantu  pembatasan pelibatan rakyat untuk persetujuan  perdamaian.

Hal ini memang akan menimbulkan ketidakpuasan dari beberapa kalangan, namun  mampu membuat perdamaian  terwujud dan memiliki ketetapan hukum. Tugas berikutnya melaksanakan klausul perjanjian perdamaian secara konsisten  berdasarkan prinsip keadilan.

Perdamaian Aceh sudah berjalan lebih dari 10 tahun. Menjadi tugas banyak pihak yang terkait baik di level nasional, lokal, maupun societal agar perdamaian terus dapat dipertahankan. Hal ini termasuk dimulainya kembali usaha-usaha transitional justice untuk memenuhi rasa keadilan para korban konflik.  Sementara di Kolombia, para pemimpin  masih harus berjuang untuk meyakinkan kembali rakyatnya bahwa perdamaian  layak diterima.

Penulis  Master of International Law and Politics University of Canterbury, New Zealand, dosen Binus

Amalia Sustikarini
Research Coordinator, Departemen Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara

***

sumber: http://www.koran-jakarta.com/nobel-yang-tak-diinginkan/

Agus for Governor: Military Comeback, or…?

$
0
0

One of the Faculty Members of the Department of International Relations at Bina Nusantara University, Tangguh Chairil, published an opinion article titled “Agus for Governor: Military Comeback, or…?”. The article is as follows.

Agus for Governor: Military Comeback, or…?

Agus Harimurti Yudhoyono, an infantry major in the Army and first son of ex-president Susilo Bambang Yudhoyono, has joined the race for the Jakarta gubernatorial seat. He will face incumbent governor Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama and the ex-minister of education and culture, Anies Baswedan.

Among the candidates, Agus’ nomination is the most surprising. He had not even been named in opinion polls before he registered for the election. His military background has also generated negative sentiment, with some suggesting his candidacy represents the military’s comeback to social and political affairs, an echo of the past dwifungsi (dual function) doctrine during the New Order era.

Agus is not alone. There are other former military men participating in local elections all over the country. In Poso, Central Sulawesi, Marine Corps Lt. Col. Darmin Sigilipu just lost the 2015 regent election. In Merangin, Jambi, Try Herman Efendi has declared his candidacy in the 2018 regent election. In South Sulawesi, Maj. Gen. (ret) Andi Tanribali Lamo and Navy Col. Abdul Rivai Ras have announced their bid for the 2018 gubernatorial election.

Concern over a military comeback may have been fueled by some lawmakers, who proposed a revision of Law No. 8/2015 on regional elections, which, if realized, would no longer require candidates from the military or police force to quit before they contest elections. The move faltered as the revision was deemed contradictory to Law No. 34/2004 on the Indonesian Military (TNI).

Another reason may have been a statement by TNI commander Gen. Gatot Nurmantyo, who wishes to see soldiers exercise their right to vote someday.

Agus’ candidacy, as well as that of other former military men, will not be narrowly viewed as representation of the military’s return to public service. Like Agus, they have to retire before registering for the contest. Besides, the TNI has declared neutrality in elections.

The candidacies of men with military backgrounds shall be perceived in terms of the constraints that the TNI places on their career paths. In Kompas on Aug. 16, Evan A. Laksmana wrote about Centre for Strategic and International Studies (CSIS) research on the pattern of TNI officer transfers, which found stagnancy in officer promotions from 2005-2015 and a lack of transparency in the TNI’s personnel policy.

Indeed, there have been a large number of TNI transfers recently. In August, the TNI transferred 43 generals and in September, 45 more.

Most of them were horizontal transfers, where a position was reassigned to another officer of equal rank or a graduate of the same military academy.

The problem with these transfers within the TNI stems from the increasing number of military academy graduates, the decreasing number of strategic positions within the TNI in the Reformation era and a longer military career path than in the past. Now, the TNI has 395,500 active personnel, 300,400 of which are from the Army, 65,000 from the Navy and 30,100 from the Air Force.

When the government remains unable to fully guarantee soldiers’ welfare, a personnel-heavy TNI posture is unwarranted. Personnel expenditure has taken the largest share of the defense budget for many years — approximately 40-45 percent — leaving very little for the greatly required military modernization to achieve the Minimum Essential Force by 2024.

Highlighting the clash between personnel and modernization expenditures, recently Defense Minister Ryamizard Ryacudu said the government would cut defense equipment purchases and committed the budget to the needs of TNI personnel in border areas. Under the Yudhoyono administration, personnel growth was curbed to zero in order to increase the budget for defense system modernization.

The personnel-heavy approach also clashes with the decreasing number of strategic positions within the TNI in the Reformation era, which restricts the TNI from taking social and political offices. The need to accommodate the large number of personnel within the few positions available has led the TNI to adding new military appointments, transferring personnel to agencies that are supposed to be civilian in nature (e.g. Coordinating Ministry for Political, Legal and Security Affairs, State Intelligence Agency [BIN], National Search and Rescue Agency [Basarnas], Maritime Security Coordinating Board [Bakorkamla], State Secretariat), or extending territorial command.

Other problems in the TNI personnel policy — a lack of institutionalization, professionalism and transparency — have a negative impact on TNI organizational unity. In the midst of these organizational constraints, a military career now is not as promising as it used to be. Unsurprisingly, many TNI personnel now look for other career options outside the military domain: local government positions, only now they compete for those positions not under the privilege of dwifungsi.

__________________________________

Tangguh Chairil

The writer, who lectures at the Department of International Relations at Binus University specializing in international security, obtained a Master’s degree in defense studies from the Indonesia Defense University and a Master’s degree in intelligence studies from the University of Indonesia.

***

source: http://www.thejakartapost.com/academia/2016/10/19/agus-for-governor-military-comeback-or.html

Viewing all 433 articles
Browse latest View live