Quantcast
Channel: International Relations BINUS University
Viewing all 406 articles
Browse latest View live

Invitation to the 34th International Relations Lecture Series “Indonesia’s Strategic Environment and Nature of Threats”

$
0
0

IRLS 34 - 2016-11-07 - Andi Widjajanto

Department of International Relations BINUS University invites you to the 34th International Relations Lecture Series:

Indonesia’s Strategic Environment and Nature of Threats

Speaker: Andi Widjajanto

Day: Monday, November 7, 2016

Time: 13:00-15:00
Place:  Auditorium, Anggrek Campus, Binus University, Jl. Kebon Jeruk Raya No. 27, Kebon Jeruk, Jakarta Barat 11530


Indonesia’s Strategic Environment and Nature of Threats

$
0
0

Indonesia  menghadapi  lingkungan  keamanan  strategis  yang  berubah  dari  masa  ke  masa. Sejak  2015,  politik  internasional  Asia-Pasifik  yang  menjadi  lingkungan  strategis  Indonesia semakin menunjukkan dimensi militer yang semakin mengemuka, dengan Tiongkok mengadopsi postur yang semakin tegas dalam kaitannya dengan klaim teritorial di Laut Tiongkok Timur dan Selatan, sementara Amerika Serikat mempertahankan strategi ‘rebalance’ terhadap kawasan ini. Dipengaruhi  keprihatinan  atas  kegiatan  Tiongkok  dan  kemungkinan  ambisinya  lebih  lanjut  di Laut  Tiongkok  Selatan,  beberapa  negara  Asia  Tenggara  telah  semakin  meningkatkan  upaya pembangunan  kekuatan  militer  mereka. Berbagai  latihan  militer  juga  terus  dilakukan  dalam upaya oleh angkatan bersenjata untuk mempertahankan dan meningkatkan kemampuan mereka. Angkatan bersenjata juga dikerahkan secara operasional.

Lingkungan  keamanan  strategis  tersebut  menghadirkan  karakter  ancaman  baru  terhadap keamanan  Indonesia, dengan banyaknya peluang konflik terjadi antara Indonesia dengan negara lain  di  kawasan.  Karakter  ancaman  yang  dihadapi  Indonesia  pada  masa  sekarang  ini  perlu menjadi  perhatian  agar  pembangunan  postur  TNI  sebagai  aparat  pertahanan  negara  dapat menyesuaikan  dengan  ancaman  yang  riil,  sehingga  dapat  mencegah  kemungkinan  terjadinya pendadakan strategis. Selain itu, Indonesia pun harus mempersiapkan diri terhadap kemungkinan terburuk yang dapat terjadi dari lingkungan strategis baru, yaitu konflik antara Indonesia dengan negara  lain  yang  menjadi  ancaman.  TNI  harus  dipersiapkan  untuk  dapat  melindungi  Indonesia dari  kerusakan  akibat  konflik  tersebut,  sementara  strategi  resolusi  konflik  dilaksanakan  demi mengakhiri konflik berlarut-larut.

Dengan  latar  belakang  permasalahan  di atas, Departemen Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara menyelenggarakan International Relations Lecturer Series (IRLS) ke-34 dengan tema “Indonesia’s Strategic Environment and Nature of Threats“. Kegiatan IRLS kali ini menghadirkan pembicara tamu Andi Widjajanto, pengamat masalah pertahanan dan keamanan yang sebelumnya menjabat sebagai Sekretaris Kabinet dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo dari November 2014 hingga Agustus 2015.

IRLS 34 - 2016-11-07 - Andi Widjajanto - image 1

Andi Widjajanto, seorang pemikir Realis dalam Hubungan Internasional, membahas lingkungan strategis Indonesia dengan mendeduksinya dari teori perimbangan kekuatan (balance of power), pengerahan kekuatan (force deployment), revolusi krida yudha (revolution in military affairs [RMA]), dan perdagangan senjata. Menggunakan teori-teori tersebut, Andi menyimpulkan bahwa dalam sistem internasional sekarang terjadi kemunduran hegemoni Amerika Serikat, bangkitnya kompetisi strategis Amerika Serikat-Tiongkok-India, dan kemungkinan sistem internasional menjadi multipolar pada 2050.

Kemunduran hegemoni Amerika Serikat terjadi bersamaan dengan bangkitnya Tiongkok. Dari segi belanja pertahanan, kekuatan angkatan laut, dan indikator kekuatan lainnya, Tiongkok diprediksi akan melampaui Amerika Serikat pada 2030 atau 2040. Angkatan laut Tiongkok telah memiliki kemampuan dan doktrin blue-water navy, atau kekuatan maritim yang mampu beroperasi secara global di perairan dalam lautan terbuka, seperti Amerika Serikat, Rusia, Inggris, Perancis, dan India. Tiongkok juga telah memiliki perencanaan matang terkait arah pengerahan kekuatannya, yang tampak dalam inisiatif Belt and Road.

Menurut Andi, jika terdapat pola-pola permusuhan, kemudian kenaikan kekuatan suatu negara, disusul dengan ekspansi teritorial, dapat terjadi perang di kawasan. Selain itu, rasio kekuatan antarnegara (force-to-force ratio), kemudian modernisasi militer yang melibatkan sistem senjata ofensif dan pengerahan kekuatan yang provokatif, disusul dengan dilema keamanan antarnegara, dapat menyebabkan peningkatan senjata (arms build-up), kemudian perlombaan senjata (arms race), hingga terjadi perang di kawasan.

Di level negara, kecenderungan berperang suatu negara dapat dilihat dari berbagai indikator, seperti persepsi terhadap balance of power, pola hubungan terhadap negara-negara lain di kawasan (regional complex), ideologi politik, organisasi militer, anggaran pertahanan, kompleks militer–industri, hingga proporsi anggaran pertahanan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Andi lalu memaparkan skenario yang akan terjadi di masa depan. Menurutnya, setelah terjadi kemunduran hegemoni Amerika Serikat, akan bangkit hegemoni Tiongkok, disusul kompetisi global Amerika Serikat-Tiongkok, kemudian dunia G-Zero (kekosongan kekuatan dalam politik internasional karena kemunduran pengaruh Barat dan fokus dalam negeri dari pemerintah negara-negara berkembang), hingga terjadi pertarungan regional. Menggunakan metode net assessment, Andi menunjukkan trayektori tiap-tiap skenario.

Dengan lingkungan strategis demikian, Indonesia harus mempersiapkan pertahanannya di masa depan. Indonesia telah melewati tahap konsolidasi demokrasi pada era Reformasi, melalui reformasi militer membentuk tentara profesional. Sekarang, Indonesia sedang melewati tahap ekonomi pertahanan dengan transformasi pertahanan menuju Kekuatan Pokok Minimum (KPM) 2024. Berikutnya, Indonesia akan memasuki tahap teknologi pertahanan dengan inovasi militer menuju kekuatan regional 2045.

Indonesia harus meningkatkan kekuatan angkatan lautnya, dari brown-water navy yang hanya mampu beroperasi di lingkungan pesisir dengan armada kapal patroli cepat dan fregat ringan; menjadi green-water navy yang mampu beroperasi di lautan terbuka daerah sekitarnya dengan armada kapal fregat, korvet, dan kapal selam; hingga menjadi blue-water navy dengan armada kapal destroyer dan kapal selam. Kekuatan blue-water navy membutuhkan komitmen anggaran pertahanan 3,5% PDB pada 2030.

Pemerintahan Presiden Joko Widodo telah menetapkan doktrin Poros Maritim Dunia dengan salah satu pilarnya adalah pertahanan maritim. Dalam membangun pertahanan maritim, dibutuhkan pertimbangan geomaritim, dinamika senjata angkatan laut, dan rezim keamanan maritim. Indonesia telah mengukuhkan negaranya sebagai negara kepulauan didukung oleh Deklarasi Djuanda, Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982, dan konsep Wawasan Nusantara. Indonesia masih membutuhkan arah proyeksi maritim dan lingkup pengaruh maritim yang jelas.

IRLS 34 - 2016-11-07 - Andi Widjajanto - image 2

Sesi diskusi dimeriahkan beberapa pertanyaan. Luthfi menanyakan pertimbangan TNI memilih Sukhoi Su-35 sebagai pengganti pesawat F-5E/F Tiger II. Andi memilih tidak menjawab pertanyaan tersebut karena spesifikasi teknis senjata bukan domain sipil, melainkan TNI. Floryan menanyakan tentang kesiapan Indonesia menghadapi perang sumber daya di Asia. Andi menjawab bahwa pada saat uji kelayakan dan kepatutan panglima TNI, Jenderal Gatot Nurmantyo telah memaparkan kemungkinan perang sumber daya di Asia. Sayangnya, konsep perang hibrid yang digunakan negara-negara Barat untuk tujuan ofensif dalam perang sumber daya digunakan oleh Indonesia untuk tujuan defensif.

Herbert menanyakan lingkungan strategis dalam aspek keamanan siber, yang dijawab Andi bahwa hal ini sudah riil terjadi. Assay mengkritisi apakah bijaksana melakukan bandwagoning dengan Tiongkok sebagai negara dengan kekuatan yang bangkit, yang dijawab Andi bahwa hal tersebut tergantung situasi perang yang terjadi. Penanya terakhir, Sulaiman, mempertanyakan bagaimana jika terjadi perang sebelum skenario perang pada 2050, apakah Indonesia perlu mempertimbangkan penafsiran kembali terhadap kebijakan luar negeri bebas aktif. Andi menjawab bahwa justru kebijakan bebas aktif sangat diperlukan dalam lingkungan strategis abad ke-21 sekarang ini.

Materi paparan Andi Widjajanto dapat diunduh di:

http://binus.ac.id/wp-content/uploads/2016/11/AW-LingStraXXI.pdf

IRLS 34 - 2016-11-07 - Andi Widjajanto - image 3

Invitation to the 22nd Kijang Initiatives Forum “Post-Secular World: The Resurgence of Religion in National and Global Politics”

$
0
0

KIF 22 - 2016-11-11 Narwastuyati Petronela Mbeo

Department of International Relations BINUS University invites you to the 22nd Kijang Initiatives Forum:

Post-Secular World: The Resurgence of Religion in National and Global Politics

Speaker: Narwastuyati Petronela Mbeo

Day: Friday, November 11, 2016

Time: 13:00-15:00

Place: Room C204, Kijang Campus, Binus University: Jl Kemanggisan Ilir III No 45, Palmerah West Jakarta

Wajah Baru Amerika Serikat

$
0
0

Ketua Jurusan Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara, Prof. Tirta N. Mursitama, Ph.D, memublikasikan artikelnya berjudul “Wajah Baru Amerika Serikat”. Di bawah ini adalah artikelnya.

Wajah Baru Amerika Serikat

Tak seperti yang diprediksikan banyak pengamat, Donald Trump memenangi kursi kepresidenan Amerika Serikat 2017-2021. Trump meraih 276 electoral votes dari 270 yang dibutuhkan.

Ia mengalahkan Hillary Clinton yang hanya memperoleh 218 electoral votes. Tidak hanya menjungkir balikkan ramalan para pengamat, tetapi hasil ini menggambarkan perbedaan ekspektasi masyarakat Amerika Serikat. Apa makna kemenangan Trump bagi masyarakat Amerika Serikat (AS), dunia, dan Indonesia?

Akar Kontroversi

Sejak awal proses pemilihan presiden AS ini berlangsung, kontroversi menyelimuti terpilihnya Trump menjadi kandidat presiden mewakili Partai Republik. Secara individu sosok Trump inheren bukan merupakan sosok yang ideal merepresentasikan Partai Republik. Sebagai sosok businessman yang sukses dengan karakter yang keras namun cenderung arogan, bertolak belakang dengan gambaran kaum republik yang cenderung konservatif dan menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan.

Selama kampanye pun Trump memersonifikasi dirinya sebagai sosok kanan yang keras. Pandangannya lebih inward looking, bahkan memperlihatkan Amerika Serikat yang isolasionis. Trump menolak migrasi, keras terhadap pelintas batas, khususnya dari Mexico yang memasuki Amerika Serikat. Bahkan ia bermaksud membangun tembok pembatas antara kedua negara. Selain itu, ketidaksukaan terhadap penduduk kulit hitam, kaum muslim, hingga penolakan terhadap pengungsi dari Timur Tengah antara lain dari Suriah menunjukkan sisi Trump yang bertolak belakang dengan karakteristik masyarakat AS yang plural dan menghargai perbedaan.

Makna Kemenangan

Hasil ini tentu mengejutkan bagi partai yang berkompetisi dan bagi masyarakat AS sendiri. Sejak awal Partai Demokrat optimis akan memenangkan kursi kepresidenan walau mereka sadar tidak akan diraih dengan sangat mudah. Hasil beberapa polling yang selalu menunjukkan keunggulan Hillary semakin memupuk aroma kemenangan. Namun, mereka lupa bahwa swing voters (massa mengambang) yang berkisar 20% di setiap polling ternyata susah ditebak pilihannya.

Masyarakat yang belum menentukan pilihan sejak awal dan menunggu hingga akhir masa pencoblosan memperlihatkan punya pilihan sendiri dengan alasan beragam. Banyak yang menentukan pilihan karena ketidaksukaan terhadap pemerintah sekarang yang dianggap terlalu lunak. Sebagian lain menentukan pilihan mungkin karena ingin melihat AS dipimpin oleh sosok lain di luar partai yang berkuasa sekarang dengan mengharapkan perubahan.

Bisa jadi, massa mengambang jenis ini sebenarnya tidak bermaksud secara serius memilih Trump untuk sebuah perubahan atas AS yang mereka idam-idamkan. Pilihan terakhir ini mungkin lebih banyak didasarkan pada keisengan belaka atau lebih bersifat emosional sesaat. Mereka tidak berpikir lebih panjang bila pilihan mereka akan membawa kemenangan bagi Trump dan akan membawa AS empat tahun ke depan ke arah yang tidak bisa diprediksikan.

Suka atau tidak, kemenangan Trump menggambarkan wajah baru AS yang berbeda dengan delapan tahun kepemimpinan Obama. Kenyataan ini menimbulkan pertanyaan terhadap efektivitas kepemimpinan Trump empat tahun ke depan tidak hanya secara domestik, tetapi juga terhadap dunia internasional.

Implikasi

Kemenangan Trump ini membawa implikasi yang beragam bagi negara mitra AS maupun negara lain secara global. Mexico tentu sekarang harus lebih berhati-hati bila kebijakan pengetatan atau bahkan penutupan perbatasannya dengan AS dilaksanakan. Walau ide ini sebenarnya terlihat muskil diterapkan karena selama ini AS, Mexico, dan Kanada telah mengenyam banyak manfaat dari kerja sama perdagangan lintas batas.

Implikasi lain adalah ketidak jelasan arah dan pilihan kebijakan luar negeri yang akan diterapkan AS di bawah kepemimpinan Trump. Misalnya, dari sisi kerja sama ekonomi, penolakan terhadap Trans-Pacific Partnership (TPP) akan semakin mempersulit posisi AS dalam memimpin tata kelola ekonomi global. Di sisi lain, bila ini benarbenar terjadi maka China akan mengambil alih kendali dan semakin melaju kencang dengan Regional Comprehensive Economic Partnerships (RCEP).

Bila ini terjadi, relakah AS menyaksikannya? Dengan pandangan AS yang isolasionis maka harus dihitung ulang kemitraan strategis di bidang keamanan yang selama ini dijalin, misalnya di Asia dengan Jepang dan Korea Selatan. Bila AS memilih lebih fokus pada isu domestik menampilkan sosok yang kurang bersahabat terhadap negara-negara lain, maka pertanyaannya kemudian apakah Jepang akan berani mengambil pilihan lebih asertif menggantikan kepemimpinan AS di Asia.

Dengan kata lain, AS membiarkan Jepang berhadapan dengan China sendirian. Bagi Indonesia, pergantian rezim ini kemungkinan tidak akan memberikan perubahan hubungan yang mendasar dari era Obama yang memiliki keterikatan batin dengan Indonesia sehingga kebijakannya lebih preferable.

Secara alamiah, para presiden dari Partai Republik biasanya berhubungan lebih baik dengan Indonesia dengan dukungan kalangan bisnisnya. Hal ini berbeda dengan pola hubungan yang biasanya terjadi bila presiden dari kalangan Demokrat yang cenderung memojokkan Indonesia untuk lebih menghormati nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia. Namun, perlu diingat bahwa terpilihnya seorang presiden dalam pemilu adalah satu hal dan menjalani kepresidenan adalah hal yang berbeda.

Trump saat ini telah memenangi pemilu, tetapi sepanjang sejarah politik domestik AS memperlihatkan bahwa seorang presiden terpilih tidak akan serta-merta dengan mudah menjalankan kebijakan yang radikal. Ia berada dalam sistem politik AS yang menerapkan checks and balances dan mempertimbangkan opini publik. Dapatkah Trump melewati semua itu semudah mengungkapkan kata-kata kerasnya seperti dalam kampanyenya selama ini?

PROF TIRTA N MURSITAMA, PHD

Ketua Departemen Hubungan Internasional BINUS University

***

sumber: http://www.koran-sindo.com/news.php?r=1&n=0&date=2016-11-10

Kepemimpinan Amerika Serikat

$
0
0

Ketua Jurusan Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara, Prof. Tirta N. Mursitama, Ph.D, memublikasikan artikelnya berjudul “Kepemimpinan Amerika Serikat”. Di bawah ini adalah artikelnya.

Kepemimpinan Amerika Serikat

Keberhasilan mengapitalisasi persoalan riil domestik AS mungkin merupakan salah satu kunci utama kemenangan Donald Trump ke singgasana Presiden ke-45 AS. Trump memainkan sentimen emosional rakyat AS. Ia mengeksploitasi kecemburuan, kecurigaan, ketidaksukaan terhadap kaum imigran dan memusuhi negara tetangga.

Catatan pentingnya ialah bagaimana menjadi relevan bagi rakyat AS. Itu yang dikampanyekan Trump dan disampaikan dengan tone yang keras, jelas, tegas, bahkan cenderung arogan. Secara nilai, hal itu sangat bertolak belakang dengan nilai-nilai yang dijunjung tinggi rakyat AS maupun dengan platform politik Partai Republik yang mengusungnya. Akan tetapi, ternyata, secara kebutuhan riil di lapangan itulah yang dihadapi.

Imbas globalisasi

Sisi gelap globalisasi bisa dijadikan arsenal lain bagi Trump. Di satu sisi, globalisasi menawarkan hilangnya sekat-sekat pembatas dalam berdagang, berinvestasi, dan hubungan ekonomi lainnya. Dengan harapan, penciptaan lapangan kerja dan pasar yang lebih luas bak mantra yang menyihir negara-negara yang memercayai dan menjalankan, termasuk AS.

Di sisi lain, globalisasi menggilas negara yang tidak memiliki daya saing. Tidak peduli ideologi apa yang dijunjung negara itu. Intinya mengedepankan persaingan. Negara yang memiliki daya saing tinggi akan berjaya. AS banyak kehilangan kemampuan bersaingnya dengan munculnya Tiongkok yang mampu menawarkan biaya produksi jauh lebih murah, produksi manufaktur yang sudah semakin baik kualitasnya, serta shipment yang cepat. Hal-hal seperti itu jelas menggerogoti harapan kelas menengah pekerja kulit putih di AS dan jauh dari ketenangan hidup.

Cara mencapai kekuasaan dengan menebar kebencian jelas bukan pilihan yang bijak bagi seorang pemimpin negeri adidaya seperti AS. Sungguh bukan atribut positif yang layak melekat diri seorang presiden AS. Hal itu sangat membahayakan. Apalagi dalam logika politik di mana pun, setelah seorang kandidat mencapai kekuasaannya, dia harus melakukan kompromi yang begitu besar.

Sapu bersih

Partai Republik tidak hanya berhasil mengantar Trump menjadi presiden AS yang belum pernah memiliki pengalaman politik sedikit pun. Republik berhasil menguasai Senat AS dengan 51 kursi yang cukup menjadi mayoritas, sedangkan Demokrat mencapai 48 kursi. DPR AS pun dikuasai Republik dengan 239 kursi, jauh melebihi mayoritas 218 kursi, sedangkan Demokrat hanya 192 kursi.

Sapu bersih ini secara teoretis maupun praktis akan mempermudah Trump menjalankan kebijakannya bila ia serius ingin mengejawantahkan apa yang disampaikan dalam kampanye kepresidenan yang lalu. Janji-janji menjadikan AS kembali hebat dengan menebarkan ancaman dan bibit-bibit kebencian sehingga membakar emosi rakyat dan membelah para pemilih dan menjadikan AS sebagai negara isolasionis (inward looking).

Namun, sepertinya janji-janji masa kampanye tidak akan serius dilaksanakan begitu saja. Pidato kemenangan Trump dengan sangat mengejutkan memberikan tone sangat positif. Ia menunjukkan keinginan merangkul kembali seluruh rakyat AS yang sempat terbelah di masa pemilu presiden. Selain itu, niat untuk bekerja sama dengan negara-negara mitra menggambarkan posisi yang bertolak belakang dari apa yang disampaikan dalam kampanye.

Ditambah lagi, menjadi seorang presiden AS tidak bisa dilepaskan dari birokrasi yang sudah sangat menggurita dengan kompleksitas rantai kepentingannya. Presiden AS harus mempertimbangkan berbagai masukan dari para pembantunya seperti menteri luar negeri, menteri pertahanan, kelompok-kelompok lobi, dan kalangan pers. Belum lagi ia harus mendapatkan persetujuan dari Kongres untuk hal-hal sangat strategis.

Bila melihat hal di atas, kecil kemungkinan Trump akan bertindak serampangan seperti yang ia sampaikan semasa kampanye. Dengan demikian, hal yang menjadi krusial ialah siapa yang akan menjadi para pembantu terdekat Trump sehingga dapat memberikan masukan penting kepada presiden.

Konstelasi global

Secara umum reaksi para pemimpin dunia adalah positif dan menyambut baik kemenangan Trump. Walaupun hal itu terlihat standar ucapan kepada kandidat yang memenangi pemilu, bisa dilihat bahwa dunia memiliki harapan besar terhadap AS. Hal itu sekaligus memperlihatkan posisi AS masih sangat penting dalam konstelasi global.

Bagi Rusia yang belakangan ini memiliki hubungan tidak terlalu baik dengan AS, Putin menyambut baik dan menyampaikan keinginan melanjutkan kerja sama dengan menghilangkan kecurigaan yang terjadi. Walaupun hal itu tidak mudah dicapai, Putin menegaskan selama kepentingan kedua negara terpenuhi, Rusia siap bekerja sama memperbaiki hubungan.

Dari Asia, Presiden Tiongkok Xi Jinping menegaskan Tiongkok siap menjalin hubungan baik dengan mengedepankan prinsip nonkonflik, nonkonfrontasi, saling menghargai, dan saling menguntungkan. Sementara itu, di Eropa, para sekutu AS seperti Inggris pun menyampaikan pesan yang kurang lebih sama. PM Theresa May mengatakan akan mempererat kerja sama dengan AS dari sisi perdagangan, keamanaan, dan pertahanan.

Bila memperhatikan beberapa kekuatan penting di atas, konstelasi global sepertinya akan baik-baik saja. Dalam tataran sekarang ini, skenario yang mungkin bisa terjadi adalah AS semakin dekat dengan Rusia sehingga Rusia dapat menjadikan dirinya faktor penting yang memengaruhi hubungan AS dan Tiongkok. Bagi AS dan Tiongkok, itu bisa menjadi hal yang menguntungkan.

Bagi Tiongkok, bila kedekatan itu terjadi, mungkin akan menjadi hal yang merugikan. Tiongkok tidak terlalu bebas bergerak di Asia karena Rusia akan bisa meminta Tiongkok lebih mengendalikan diri. Akan tetapi, bagi Tiongkok, di sisi lain, bila AS lebih mengisolasi diri dan bersifat inward looking, Tiongkok memiliki kesempatan lebih besar untuk memimpin pertarungan berebut pengaruh dalam perwujudan tata kelola ekonomi global yang baru.

Apalagi bila AS menolak Trans-Pacific Partnership (TPP), Tiongkok lebih leluasa mendorong agenda-agenda dalam Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) yang memang lebih disukai negara-negara di Asia Tenggara. Bila itu terjadi, akan semakin lengkap Tiongkok menguasai Asia setelah inisiatif Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB), rencana One Belt One Road (OBOR), dan internasionalisasi yuan sedang mendapat dukungan dari berbagai negara dan kalangan.

Pendeknya, bila AS bersifat inward looking, itu tidak hanya merugikan domestik AS, tetapi juga mengurangi pengaruh mereka di tata kelola ekonomi global. Itu berarti memberikan kesempatan lebih besar kepada Tiongkok untuk tidak hanya menjadi pemimpin regional Asia, tetapi juga dunia. Bila skenario itu terjadi, membuat AS kembali hebat menjadi pertanyaan besar.

Tirta N. Mursitama

Ketua Departemen Hubungan Internasional Binus University

***

sumber: E-paper Media Indonesia 11 Nov 2016 http://pmlseaepaper.pressmart.com/mediaindonesia/ halaman 6

Post-Secular World: The Resurgence of Religion in National and Global Politics

$
0
0

Fenomena kelompok militan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS), kasus serangan terhadap kantor surat kabar Charlie Hebdo di Paris, penggunaan sentimen anti-Islam dalam kampanye pilpres Amerika Serikat, sampai aksi protes umat Islam terhadap Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atas tuduhan penistaan ayat Alquran memunculkan pertanyaan tentang kemunculan kembali agama dalam politik nasional dan global. Apakah benar fenomena itu terjadi? Apakah ini bentuk perlawanan terhadap modernisasi dan sekularisme?

Dengan  latar  belakang  permasalahan  di atas, Departemen Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara menyelenggarakan Kijang Initiatives Forum (KIF) ke-22 dengan tema “Post-Secular World: The Resurgence of Religion in National and Global Politics“ pada Jumat, 11 November 2016, pukul 13.00-15.00 di ruang C.204 Kampus Kijang Binus. Kegiatan KIF kali ini diisi oleh pembicara Narwastuyati Petronela Mbeo, atau akrab dipanggil Naya, dosen HI Binus.

Menurut Naya, kata ‘sekuler’ bukan berarti tidak religius. Kata ini berasal dari kata ‘Saeculum‘, yang berarti era/suatu periode waktu, merujuk pada sebuah tradisi kekristenan Barat atau Katolik Roma, di mana para pastor harus pergi keluar dari biara. Menurut filsuf Charles Taylor, terdapat dua dinamika sekularisasi dalam kekristenan Barat, yaitu 1) spiritualisasi dunia sekuler melalui tradisi Saeculum dan 2) emansipasi aspek-aspek sekuler dari kendali Gereja melalui Reformasi Protestan. Kedua dinamika ini disebabkan adanya upaya untuk memberdayakan manusia dengan mengedepankan narasi Kristus yang manusia/menderita.

Naya berikutnya membahas tiga makna sekularitas menurut Charles Taylor: 1) Sekularitas politik adalah gerakan mengosongkan ruang publik dari semua religiositas, atau pembagian ruang publik dan ruang privat; 2) Sekularitas individu adalah hilangnya iman kepada Tuhan dan praktik agama, atau perubahan masyarakat menjadi lebih antroposentris; 3) Sekularitas religius adalah ketika religiositas menjadi luas sehingga iman pada Tuhan hanya menjadi sebuah pilihan di antara banyak pilihan religiositas, atau perubahan manusia menjadi apa yang disebut Taylor sebagai ‘immanent frame‘.

Naya kemudian membahas tesis klasik sekularisasi, yang diringkas oleh sosiolog agama Jose Casanova. Menurut teori ini, dalam tahap tertentu sejarah dunia, agama akan lenyap dan hanya ada di ruang pribadi. Semakin modern suatu masyarakat, semakin sekuler masyarakat tersebut. Hal ini adalah warisan Abad Pencerahan (Aufklärung), yang melihat bahwa suatu hari nanti irasionalitas agama akan diatasi.

Menurut Naya, teori ini salah karena agama tidak hilang dari masyarakat modern, seperti di Amerika Serikat, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Arab Saudi, hingga Indonesia. Selain itu, ada kebangkitan agama dalam masyarakat yang berkembang atau ‘baru’, terutama setelah akhir era Perang Dingin, seperti di eks-Uni Soviet, Eropa Timur, Afrika, dan Amerika Latin. Bahkan, selama Perang Dingin, faktor agama berpengaruh untuk memperkuat nasionalisme, terutama bagi masyarakat diaspora. Berita buruknya, konflik yang disebabkan oleh agama masih terjadi, serta muncul radikalisme setelah akhir era Perang Dingin.

Dalam menjelaskan mengapa agama tidak hilang dari masyarakat modern, Naya mengutip berbagai cendekia. Sosiolog Peter Berger mengungkapkan bahwa, dalam menghadapi sekularisasi, agama mengambil dua strategi, yaitu 1) penolakan terhadap sekularisasi, seperti munculnya kelompok tertutup yang melestarikan tradisi tertentu; serta 2) adaptasi, seperti yang dilakukan oleh Katolik Roma dalam Konsili Vatikan ke-2 atau oleh wanita berpendidikan mengenakan jilbab.

Charles Taylor mengungkapkan bahwa agama tidak hilang karena manusia memiliki kerentanan abadi terhadap kematian dan kekerasan, yang merupakan manifestasi dari sifat kita sebagai Homo religiosus. Hal ini menyebabkan dalam kehidupan profan sehari-hari, orang cenderung untuk terus menjaga religiositas mereka melalui berbagai cara.

Filsuf Jürgen Habermas mengungkapkan bahwa agama menjadi basis prapolitik yang meningkatkan solidaritas di antara orang-orang dalam dinamika ekonomi dan politik global. Agama memiliki potensi untuk memainkan peran politik dengan menafsirkan nilai-nilai moral dengan bahasa universal.

Naya menyimpulkan bahwa modernisasi memang berhubungan dengan sekularisasi, tetapi modernisasi tidak selalu berarti sekularisasi. Sehingga, modernitas tidak sama dengan sekularitas. Dalam dunia sekuler, agama masih memiliki peran penting dan tidak hilang begitu saja dari masyarakat modern. Religiositas bisa berjalan bersama dengan sekularitas dan mengembangkan dasar moral bersama. Pertanyaan pentingnya adalah: Apakah agama saat ini hanya digunakan sebagai kedok untuk masalah lain yang mungkin lebih mendasar, atau apakah agama menjadi prinsip dasar atau faktor memobilisasi dan mengemansipasi manusia?

Materi paparan Naya dapat diunduh di:

Post-Secular World

Delegasi Binus dalam Pertemuan Nasional Mahasiswa Hubungan Internasional ke-28

$
0
0

Delegasi HI Binus dalam PNMHII ke-28

Pada 8-11 November 2016, Forum Komunikasi Mahasiswa Hubungan Internasional se-Indonesia (FKMHII) menyelenggarakan Pertemuan Nasional Mahasiswa Hubungan Internasional se-Indonesia (PNMHII) ke-28. PNMHII merupakan agenda tahunan dari FKMHII yang menjadi wadah interaksi mahasiswa Hubungan Internasional (HI) dari seluruh Indonesia. Pertemuan ini menjadi ajang mahasiswa HI untuk menyalurkan dan mengimplementasikan segala ilmu yang telah diterima di bangku pendidikan formal sebagai proses pembelajaran bersama melalui serangkaian kegiatan, seperti diskusi ilmiah, seminar nasional, short diplomatic course, joint statement forum, maupun new International Relations professionalism courses. PNMHII ke-28 dilaksanakan dengan tuan rumah Universitas Budi Luhur dan membahas tentang kontribusi studi HI Indonesia dalam perdamaian dunia.

Dalam PNMHII ke-28 ini, Universitas Bina Nusantara (Binus) mengirimkan enam delegasi mahasiswa, yaitu Achmad Farhan, Hanri Imam Rabbani, Janice Parera, Keiko Kezia, Margareth Misyel Wongkar, dan Tengku Fitri Indriani Effendi. Pertemuan ini dibuka dengan acara welcome dinner atau jamuan makan malam untuk menyambut seluruh peserta. Welcome dinner dilaksanakan pada Selasa, 8 November 2016 pukul 19.00-22.00 WIB di Grand Serpong Hotel.

Keesokan harinya, dilaksanakan seminar nasional yang menghadirkan pembicara yang terdiri dari para guru besar HI di Indonesia. Seminar dilaksanakan pada Rabu, 9 November 2016 pukul 08.00-12.15 WIB di gedung auditorium Universitas Budi Luhur. Prof. Mochtar Mas’oed dari Universitas Gadjah Mada membahas tema implementasi teori dan konsep HI dalam proses perdamaian dunia di tengah konflik internasional dalam dua dekade terakhir. Berikutnya, Prof. Bob Sugeng Hadiwinata dari Universitas Katolik Parahyangan membahas tema efektivitas diplomasi, politik internasional, dan pemberdayaan nation-state sebagai elemen esensi perdamaian internasional. Kemudian, Prof. Obsatar Sinaga dari Universitas Padjadjaran membahas tema kajian strategi dalam stabilitas pertahanan dan keamanan global pada milenium ke-3. Pembicara keempat adalah Prof. Aleksius Jemadu dari Universitas Pelita Harapan. Lalu, Prof. Tirta Nugraha Mursitama dari Binus membahas tema globalisasi, ekonomi politik internasional, dan media: dilema antara pemicu dan solusi konflik.

Setelah seminar, PNMHII ke-28 dilanjutkan dengan diskusi ilmiah yang memberikan kesempatan bagi masing-masing delegasi untuk mempresentasikan hasil karya tulis ilmiah dalam bentuk makalah (paper). Berikutnya, dilaksanakan joint statement forum (JSF) sebagai suatu forum khusus untuk menyatukan suara dan pemikiran untuk merespons suatu isu terkait dengan kebijakan luar negeri Indonesia.

PNMHII ke-28 juga menyelenggarakan short diplomatic course (SDC) dalam bentuk simulasi sidang internasional mengenai isu tertentu sebagai pembentuk soft skill peserta PNMHII dalam praktik diplomasi dan memberikan pemahaman mengenai isu internasional yang terjadi. Bekerja sama dengan Kementerian Luar Negeri Indonesia, SDC dalam pertemuan kali ini menyimulasi Sidang Bali Democracy Forum (BDF) III di Ruang Nusantara Kementerian Luar Negeri, pada Kamis, 10 November 2016. Kegiatan simulasi dipandu dan dievaluasi oleh Duta Besar Sunten Z. Manurung, Senior Adviser Universitas Budi Luhur, dan Staf Direktorat Diplomasi Publik Kemlu.

Berikutnya, dilaksanakan sidang forum yang membahas dan mengkaji program-program kegiatan presidium nasional dan FKMHII selama satu tahun terakhir dan perkembangan ke depan. Setelah rangkaian kegiatan acara akademis selesai, dilaksanakan city tour pada Jumat, 11 November 2016 pukul 07.00-16.00 WIB di Monumen Nasional, Masjid Istiqlal, dan Gereja Katedral Jakarta. Closing ceremony PNMHII ke-28 dilaksanakan pada hari yang sama pukul 19.00-22.00 WIB di Universitas Budi Luhur.

 

Informasi Persiapan Wisuda ke-55

$
0
0

Sehubungan dengan situasi dan kondisi yang kurang kondusif belakangan ini di Wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya, yang kebetulan berdekatan dengan waktu penyelenggaraan rangkaian Acara Wisuda 55 BINUS University, pada tanggal 25-26 November 2016 di JCC, maka Panitia Wisuda 55 memandang perlu mengambil langkah-langkah antisipasi guna menjaga keamanan dan kenyamanan para Calon Wisudawan/i.

Adapun kebijakan yang ditempuh terkait kondisi tersebut adalah:

1. Gladi Bersih (GR) yang sedianya akan dilaksanakan pada hari Jumat, tanggal 25 November 2016 diputuskan untuk DITIADAKAN. Sebagai pengganti GR, maka wisudawan/i diwajibkan mengunduh Link Video Singkat Proses Wisuda:

Memahami Tata Cara Keseluruhan acara Wisuda dan Alur Pelantikan diatas Panggung agar mendapatkan gambaran mengenai jalannya prosesi wisuda.
Nomor kursi wisuda dapat dilihat di binusmaya.binus.ac.id >> Pilih Menu Graduation >> Pilih Graduation Status And Schedule.

2. Wisuda 55 akan TETAP dilaksanakan pada hari Sabtu, tanggal 26 November 2016, sesuai Shift yang ditentukan:

  • Shift 1: Jam 07.00 – 11.00 WIB
  • Shift 2: Jam 12.30 – 15.00 WIB
  • Shift 3: Jam 15.45 – 18.15 WIB

3. Proses pengambilan Paket Wisuda (Toga & Undangan) untuk semua wisudawan/i dilakukan di Kampus Anggrek pada jam 10.00 – 16.00 WIB, dengan jadwal sbb:

  • Shift 1: Selasa, 22 Nov 2016
  • Shift 2: Rabu, 23 Nov 2016
  • Shift 3: Kamis, 24 Nov 2016

4. Kesempatan terakhir mendaftar Foto Pelantikan Wisuda dapat dilakukan setelah pengambilan paket wisuda di Stand Pameran Tarzan Photo.

CARA PENGAMBILAN PAKET WISUDA (TOGA & UNDANGAN):

Sebelum mengambil paket wisuda, setiap wisudawan/i harus mengetahui ukuran toganya yang dapat dicek melalui binusmaya.binus.ac.id >> Pilih Menu Graduation >> Pilih Graduation Status And Schedule >> Graduation Robe Size.

I. Datanglah pada hari yang telah ditentukan di Kampus Anggrek, sesuai Shift Wisuda, pada jam 10.00 – 16.00 WIB, dengan jadwal sbb:

  • Shift 1: Selasa / 22 Nov 2016
  • Shift 2: Rabu / 23 Nov 2016
  • Shift 3: Kamis / 24 Nov 2016

II. Berikut ini adalah ruangan untuk pengambilan toga sesuai dengan ukuran:

  • R. 312 : untuk ukuran toga S
  • R. 314: untuk ukuran toga M
  • R. 308: untuk ukuran toga L, XL, XXL

III. Berikut ini adalah tahapan yang harus dilakukan dalam pengambilan toga di ruangan masing-masing:

1. Mengambil nomor antrian dan kuesioner status bekerja/entrepreneur dari Binus Career di meja registrasi depan pintu ruangan masing-masing

2. Duduk dan mengisi kuesioner lalu menyerahkan kepada Staf Binus Career di dalam ruangan

3. Mengambil Paket Wisuda berdasarkan nomor urut antrian

4. Menerima toga dan menandatangani bukti pengambilan toga.

5. Mendaftar foto pelantikan di meja Tarzan Photo depan ruang pengambilan toga

Terima kasih

Panitia Wisuda 55

 

Untuk Pengumuman Khusus Menjelang Wisuda 55, unduh di sini: Pengumuman Khusus Menjelang W55-2

Untuk Info Penting Persiapan Wisuda 55, unduh di sini: Info Penting Persiapan Wisuda 55 – R1-1


Wisuda ke-55: Kelulusan Angkatan Pertama Hubungan Internasional

$
0
0

Wisuda 55 Binus Angkatan Pertama HI

Universitas Bina Nusantara (Binus) menggelar wisuda ke-55 di Plenary Hall, Jakarta Convention Center (JCC), Senayan – Jakarta pada Sabtu (26/11). Binus melepaskan putra-putri terbaiknya, menuju jenjang lanjutan setelah mengemban masa perkuliahan. Tentunya, pertambahan jumlah lulusan Wisuda ke-55 ini akan menambah komunitas lulusan Binus sebagai persembahan kepada bangsa, negara, dan dunia. Wisuda ke-55 ini juga merupakan wisuda yang sangat istimewa, karena Departemen Hubungan Internasional (HI) akhirnya meluluskan angkatan pertama mahasiswa/inya.

Pada kesempatan nan agung ini, Departemen HI meluluskan 50 orang mahasiswa-mahasiswi angkatan pertamanya. Di antaranya, tiga orang menyandang predikat summa cumlaude, yaitu Nova Joanita, Oliviana Handayani, dan Nathacia Suhendra. Tidak ketinggalan, Nova menjadi salah satu penerima Binus Award of Excellence, yang dianugerahkan kepada para wisudawan/ti dengan IPK 4,00. Natacia juga menyampaikan pidatonya atas nama seluruh wisudawan/ti pada Wisuda ke-55 ini.

Besar harapan Binus pada para wisudawan/ti agar dapat berkontribusi dan berkarya di masyarakat setelah kelulusannya. Semoga mereka dapat menjadi pemimpin masa depan yang mampu mengajak dan melakukan perubahan dalam masyarakat untuk kemajuan bangsa, negara, dan dunia.

Berikut daftar 50 wisudawan/ti angkatan pertama HI Binus yang mengikuti Wisuda ke-55:

  1. Nathacia Suhendra
  2. Evelyn
  3. Hanny Yuliyanti
  4. Vellen Varlensia
  5. Ayu Tiara Maretha
  6. Igusti Saraswati Kristi
  7. Wildan Jannatin Aliyah
  8. Martinus Bimo Apriandi
  9. Cindy
  10. Maria Megasari
  11. Maureen Gabriele
  12. Jody Reza Pratama
  13. Kathlin Mariyano Medricz Heo
  14. Marsya Putrei Karin
  15. Valeria Callista
  16. Devo Adhi Putra Setiawan
  17. Vidya Putri Andini
  18. Assarina Afrila
  19. Felicitas Jessica
  20. Diandra Marsha Utami Pahlevi
  21. Nirmala Aninda
  22. Ferca Bella
  23. Claudia Chikita Sembiring
  24. Mira Aulia
  25. Yuddy Cahya Budiman
  26. Fan Ezy Maulana
  27. Rilia Mega Lengkong
  28. Priska Gratia Lasapu
  29. Isti Prihartanti
  30. Natasya Sakinah
  31. Sandra Eldiana
  32. Irma Yunita
  33. Clarinda Desvinia
  34. Gladys Grenada
  35. Nova Joanita
  36. Christine Cheng
  37. Atria Laili Nasution
  38. Gita Meilani
  39. Winston
  40. Oliviana Handayani
  41. Ginda Pamela
  42. Monika Pramita
  43. Adisty Scoriyanvi
  44. Lipka Jonarsi
  45. Naufal Ageng Putera
  46. Devienta Permata Sari
  47. Andella Romelia Rizqa
  48. Putri Avini Razy
  49. Dita Gustina Sari
  50. Anindya Prameshvary Ramadhanty

Segenap Departemen HI Binus mengucapkan selamat kepada para wisudawan/ti angkatan pertama!

Delegasi Binus dalam Konvensi Nasional VII Asosiasi Ilmu Hubungan Internasional Indonesia

$
0
0

Delegasi HI Binus dalam Vennas VII AIHII Makassar

Sebagai wujud komitmen dalam pengembangan ilmu HI di Indonesia, Departemen Hubungan Internasional (HI) Universitas Bina Nusantara (Binus) berpartisipasi sebagai peserta dalam Konvensi Nasional (Vennas) VII Asosiasi Ilmu Hubungan Internasional Indonesia (AIHII) yang diselanggarakan di Makassar, Sulawesi Selatan, pada 22-24 November 2016. Delegasi HI Binus diisi antara lain oleh Ketua Jurusan Prof. Dr. Tirta Mursitama, Ph.D., Sekretaris Jurusan Ratu Ayu Asih Kusuma Putri, dan para faculty members yaitu Dr. Paramitaningrum, Rangga Aditya, Tangguh Chairil, Dennyza Gabiella, dan Tia Mariatul Kibtiah. Prof. Tirta juga bertindak sebagai Ketua AIHII dalam acara ini.

Delegasi HI Binus mengikuti secara aktif kegiatan-kegiatan yang diadakan dalam acara Vennas VII AIHII, antara lain sidang organisasi AIHII, seminar nasional, sidang akademik, launching jurnal AIHII, launching buku, diskusi lembaga akreditasi, dan rekomendasi professor forum. Sebagian besar kegiatan ini dilaksanakan di venue Hotel Novotel Makassar Grand Shayla. Pada hari pertama, setelah acara pembukaan, dilaksanakan temu organisasi AIHII yang membahas laporan pengurus pusat AIHII, pembahasan agenda, dan tata tertib. Kegiatan ini dilanjutkan dengan sidang komisi yang dibagi ke dalam tiga panel paralel, yaitu yang membahas bidang akademik, kerja sama, dan organisasi AIHII.

Pada hari kedua, dilaksanakan seminar nasional di kampus Universitas Hasanuddin (UNHAS), didahului acara tur kampus singkat. Acara seminar nasional mengangkat tema “Benua Maritim Indonesia” dan mengundang pembicara guru besar HI Universitas Padjadjaran (UNPAD) Prof. Yanyan Mochamad Yani serta ketua program studi Keamanan Maritim Universitas Pertahanan (UNHAN) Dr. Abdul Rivai Ras. Sebagai penanggap, diundang Konsul-Jenderal Australia di Makassar Richard Mathews dan Ketua Jurusan HI Universitas Sebelas Maret (UNS) Andrik Purwasito.

Pada siang harinya, dilaksanakan konferensi akademik dalam sesi paralel. Dr. Paramitaningrum mempresentasikan paper-nya yang berjudul “Model Diplomasi Perlindungan Pemerintah Indonesia terhadap Warga Negara Indonesia Pekerja Sektor Formal dan Informal di Luar Negeri”. Tangguh, Ratu Ayu, dan Dennyza mempresentasikan paper mereka yang berjudul “Menanggulangi Migrasi Ireguler di Laut: Bakamla dan Manajemen Keamanan Maritim di Indonesia”. Sementara, Tia juga mempresentasikan paper-nya yang berjudul “Jatuhnya Harga Minyak Dunia: Pengaruhnya Terhadap Hubungan Diplomatik Saudi Arabia-Amerika Serikat”. Acara hari kedua ditutup dengan jamuan makan malam dan professor forum.

Pada hari terakhir, dilaksanakan peluncuran jurnal AIHII bernama Indonesian Journal of International Relations (IJIR) serta workshop manajemen jurnal akademik. Setelahnya, acara Vennas VII AIHII ditutup dan dilanjutkan tur kota Makassar. Melalui acara ini, HI Binus semakin menebalkan tekad dan komitmennya menjadi garda terdepan untuk menarik lokomotif pengembangan ilmu HI di Indonesia di masa ini maupun di masa yang akan datang.

Dosen HI Binus Berpartisipasi dalam Taiwan-ASEAN Dialogue

$
0
0

IMG-20161127-WA0018

Pada 15 November 2016, Paramitaningrum, faculty member Departemen Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara, berkesempatan menjadi anggota delegasi Indonesia dalam mengikuti Taiwan-ASEAN Dialogue, yang diadakan oleh Kementerian Luar Negeri Taiwan dan The Prospect Foundation bekerja sama dengan Indonesian Council of World Affairs (ICWA) dan The Habibie Centre di kota Taipei, Taiwan. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Duta Besar, Dr. Makarim Wibisono (ICWA), serta beranggotakan Dr. Rahima Abdulrahim dan Dr. Alexander Chandra (The Habibie Centre), Asrul Sani (Komisi III DPR RI), dan Rene Pattirajawane (Harian Kompas).

Dialog ini dibuka oleh Presiden Taiwan, Tsai Ing-wen, dan diikuti oleh perwakilan dari negara-negara anggota ASEAN (Indonesia, Malaysia, Thailand, Singapura, Myanmar, dan Vietnam) serta tuan rumah Taiwan. Dalam sambutannya, Presiden Tsai menjabarkan kebijakan New Southbound, di mana Taiwan memfokuskan diri pada penguatan hubungan dengan negara-negara yang terletak di Asia Tenggara dan Asia Selatan karena pesatnya perkembangan kawasan ini sejak lebih dari 10 tahun terakhir. Dengan total populasi sekitar 600 juta jiwa, ASEAN merupakan pasar yang potensial bagi Taiwan. ASEAN sendiri saat ini merupakan mitra dagang dan daerah tujuan ekspor Taiwan terbesar kedua. Untuk itu, selain bidang perdagangan dan investasi, Taiwan berencana meningkatkan kerjasama di bidang strategis seperti pertanian, kemaritiman, dan pendidikan.

Selain itu, Dr. Surin Pitsuwan, mantan Sekretaris Jenderal ASEAN yang juga berpidato pada sesi makan siang, menegaskan bahwa sekalipun Taiwan dengan segala keterbatasannya bukan anggota ASEAN, interaksi Taiwan dengan kawasan Asia Tenggara sudah berlangsung lama dan Taiwan sudah menjadi bagian dari dinamika masyarakat di kawasan ini.

Pada kesempatan ini, Paramitaningrum memaparkan konsep student mobility yang tengah populer di kalangan negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Student mobility ini menjadi salah satu komponen kerja sama pendidikan Indonesia-Taiwan dan akan diperkuat. Hal ini selaras dengan rencana pemerintah Taiwan untuk meningkatkan  pemberian beasiswa dari 28.000 menjadi 60.000 mahasiswa dari Asia Tenggara sampai dengan 2019.

Sehari setelah acara, 16 November 2016, seluruh peserta Taiwan-ASEAN Dialogue 2016 diterima oleh Wakil Presiden Taiwan Chen Chien-jen. Di sini Wapres Chen kembali menegaskan keinginan Taiwan untuk bekerja sama dengan negara-negara ASEAN dalam pembukaan akses pasar dan berbagi pengalaman mengenai pengelolaan sumber daya.

IMG-20161121-WA0014

Medali Lagi! Prestasi Mahasiswi HI BINUS di 11th Singapore National Open Synchronized Swimming Championship

$
0
0

IMG_9928

Kebanggaan dan prestasi kembali diukir oleh mahasiswi Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara, Andriani Shintya Ardhana, yang kembali meraih medali bersama Tim Renang Indah DKI Jakarta. Medali diperoleh dalam ajang kompetisi 11th Singapore National Open Synchronized Swimming Championship di OCBC Aquatic Center, Sportshub Singapura, yang berlangsung pada tanggal 25-27 November 2016.

Pertandingan kali ini diikuti oleh PRSI DKI Jakarta, Aquadance Synchro Swimming Club (ASSC), Aquatic Performance Swim Club (APSC), Speediswim (SS), Guangdong Synchronised Swimming Team (GSST), YUSO Synchronized Swimming Club Yogyakarta, dan Selangor Amateur Swimming Association (SASA). Selain Andriani, Tim Renang Indah DKI Jakarta beranggotakan Gabrielle Permatasari, Hilda Tri Julyandra, Hazura Prabowo, dan Naima Syeeda Sharita.

Dalam pertangingan ini, Andriani dan Naima berhasil memperoleh medali emas dari nomor pertandingan Open Duet Technical Routine dan Free Routine, sementara pasangan duet dari Tim Renang Indah DKI Jakarta lainnya yaitu Hilda dan Gabrielle berhasil memperoleh medali perak dari nomor Duet Free Routine untuk kelompok umur 11-12 tahun.

Prestasi ini semakin mengibarkan Indonesia lebih tinggi dan membanggakan Departemen HI Binus, tempat di mana Andriani menuntut ilmu. Selamat kepada Andriani dan kawan-kawan!

IMG_9949Andriani Shintya Ardhana, mahasiswi HI Binus dan atlet Tim Renang Indah DKI Jakarta

Trump dan Timur Tengah: Mengakhiri Konflik Suriah

$
0
0

Faculty Member Departemen Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara merangkap Ketua Bidang Politik Timur Tengah The Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES), Tia Mariatul Kibtiah, memublikasikan artikelnya berjudul “Trump dan Timur Tengah: Mengakhiri Konflik Suriah”. Di bawah ini adalah artikelnya.

Mengakhiri Konflik Suriah

Penulis: Ketua Bidang Politik Timur Tengah ISMES, Tia Mariatul Kibtiah

Pasca terpilihnya Donald J. Trump menjadi Presiden Amerika Serikat ke-45, dunia Islam ketakutan. Berdasarkan kampanye Trump, salah satu program kerjanya meminta imigran muslim keluar dari Amerika Serikat. Sejumlah pengamat politik dan Hubungan Internasional (HI) melihat, terpilihnya Trump merupakan kiamat bagi perdamaian dunia. Amerika Serikat akan bersikap keras dalam kebijakan luar negerinya terutama pada kawasan negara-negara muslim seperti Timur Tengah. Namun dalam politik tak bisa dilihat ‘hitam putih’ karena seyogyanya politik adalah strategi bersama untuk mencapai tujuan. Dalam sistem demokrasi, jika tujuan telah tercapai, maka akan tercipta deal-deal baru untuk memperkuat posisi pemerintahan. Dalam ilmu politik, politik dibagi dalam tiga bagian; Pertama, political behavior yakni yang berkaitan dengan partai, koalisi, voters, bagi-bagi kekuasaan, birokrasi. Kedua, political institutions, yakni di beberapa negara, mereka menganut presidential system atau federal system dimana eksekutif dan legislatif terpisah seperti Amerika Serikat dan Amerika Latin. Ketiga, political outcomes yakni lebih fokus pada kebijakan seperti pertumbuhan ekonomi, lingkungan, harmoninasi masyarakat dan lain-lain.

Dari ketiga bagian politik tersebut, Trump akan mengabaikan apa yang menjadi campaign icons yakni mengusir imigran muslim keluar dari Amerika Serikat dan menolak imigran baru datang ke Amerika, menekan dunia Islam dan anti Islam. Tidak sesederhana itu. Trump dan tim hanya cerdas berstrategi untuk memeroleh suara sebanyak-banyaknya. Awal start kampanye, Trump hanya mendapatkan delapan persen suara. Dengan mengangkat isu “anti Islam”, suara atau popularitas Trump  terus naik tajam hingga mencapai 60 persen. Bahkan isu ini “meninabobokan” kubu Hillary Clinton yang terlalu percaya diri dengan kampanye damai untuk semua etnis dan agama. Alhasil, kemenangan Trump mengagetkan dunia dan banyak kalangan pengamat politik mengatakan, ini akan menjadi bencana untuk kawasan Timur Tengah yang dikenal sebagai kawasan mayoritas muslim yang juga kerap dijadikan ajang pertaruhan ekonomi Amerika Serikat dalam penjualan senjata dan pengerukan sumber daya alam minyak. Hal tersebut juga disampaikan Smith Haddar, Dewan Penasihat ISMES (Indonesian Society for Middle East Studies) yang sempat berbincang bersama pengurus ISMES di Gedung LIPI mengenai semakin kerasnya sikap Trump terhadap Timur Tengah dan akan mendukung terhadap kebijakan Israel.

Namun setelah dinyatakan menang, komentar Trump berbeda dengan saat kampanye. Trump mengatakan bahwa ras apapun, agama apapun mereka adalah rakyat Amerika yang akan mengembangkan perekonomian Amerika. Ini adalah sebuah ‘clue’ tajam yang menunjukkan bagaimana kebijakan luar negeri Trump ke depan. Trump Nampak bergeser dari janji-janji kampanyenya. Trump dalam sebuah laporan media juga menyesalkan  soal kematian Saddam Hussein (Presiden Irak) dan Muammar Khadafi (Pemimpin Libya). Saddam dan Khadafi dianggap sebagai tokoh penyeimbang dunia (balance of power) yang dihabisi pemerintahan George W Bush atas tuduhan kepemilikan senjata pemusnah massal Irak dan keduanya dianggap diktator serta melanggar HAM (Hak Azasi Manusia). Diketahui, Amerika Serikat pada masa Bush melakukan invasi ke Irak Tahun 2003 yang berujung pada berakhirnya kekuasaan Saddam serta menggiringnya ke kematian Tahun 2006. Dilanjutkan pemerintahan Obama yang membiarkan tentara Amerika Serikat di Irak melakukan tindakan kriminal terhadap masyarakat Sunni. Dari sinilah awal munculnya ISIS (Islamic State Iraq and Syria). Kelompok fanatik Saddam yang sakit hati karena termarjinal dengan bergantinya rezim Syiah di Irak dibawah Nouri al-Maliki, membentuk barisan dan menciptakan mimpi untuk mendirikan negara sendiri yang terbentang antara Irak hingga Suriah. Kelompok inilah yang kini melakukan teror di beberapa belahan dunia termasuk di Suriah dan Indonesia yang dikenal dengan IS (Islamic State). Hal ini juga diakui oleh David William Donald Cameron, Mantan Perdana Menteri Inggris. Menurutnya, Amerika dimasa pemerintahan Obama ikut andil dalam terbentuknya ISIS.

Trump serius ingin menghentikan apa yang menjadi langkah Obama terhadap Timur Tengah. Rencana awal 100 hari program kerja pemerintahannya, Trump akan fokus pada masalah teroris dan imigran. Ada sekitar 2 juta imigran akan dikeluarkan dari Amerika Serikat. Namun imigran yang memiliki riwayat tindakan kriminal. Tidak semua imigran muslim ‘asal’ dikeluarkan dari Amerika Serikat. Mengutip dari situs Telegraph, Trump akan memisahkan pribumi dengan pendatang dan menghalau pendatang baru yang masuk ke Amerika Serikat terutama yang berasal dai Suriah. Ini dimaksudkan untuk menghapus rekam jejak kebijakan Obama di Gedung Putih dan untuk menjaga stabilitas dalam negeri Suriah. Meski sudah diperingatkan oleh pihak pengamat politik di Amerika bahwa kebijakannya akan memicu merosotnya perekonomian Amerika, Trump akan tetap melendingkan program pembersihan imigran dari Timur Tengah ini dengan serius. Berkaitan dengan terorisme, Trump juga  akan lebih bersikap tegas menyelesaikannya terutama ISIS.

Bekerja Sama Dengan Iran dan Rusia

Untuk memuluskan rencananya yang cukup complicated ini, Trump akan mendekat pada Iran dan Rusia. Kedua negara tersebut (Iran-Rusia-red) konsentrasi atas konflik di Suriah. Iran menginginkan rezim Bashar al-Assad tetap menjadi penguasa Suriah. Sementara kaum Sunni dibawah komando Saudi Arabia, menginginkan Assad turun dan digantikan pihak mereka (para oposisi Sunni). Hasrat politik Iran dan Assad ini didukung Rusia. Iran dan Rusia secara tidak langsung berhadapan atas konflik Suriah dengan Amerika Serikat dan Saudi Arabia. Pasokan senjata dari Amerika Serikat dengan dana yang ditopang Saudi, menyebabkan konflik ini panjang tak berkesudahan. Atas konsekuensi ini, Amerikapun dibawah pemerintahan Obama, menerima imigran dari Suriah. Pada masa Trump, mereka akan dibersihkan dan akan dibuat benteng di Meksiko untuk menghalau kedatangan para imigran.

Bukti mendekatnya Trump atas Rusia, Presiden Rusia Vladimir Putin langsung mengucapkan ”selamat” atas kemenangan Trump. Putin berharap, Rusia dan Amerika bisa menyelesaikan masalah-masalah internasional yang tidak ada titik temunya pada masa Obama. Iran yang notabene merupakan koalisi permanen Rusia, pada masa Trump ini akan sedikit dekat dengan Amerika meski tidak akan sedekat saat masa rezim Amerika-Shah Reza Pahlevi (sebelum Revolusi Iran 1979). Namun banyak kesepakatan-kesepakatan Timur Tengah yang akan sejalan dengan Trump termasuk konflik Yaman yang melibatkan Iran dan Saudi Arabia dan akan dihentikannya perang di Suriah. Saudi Arabia selama ini dikenal sebagai negara yang menopang kampanye Partai Demokrat Amerika Serikat termasuk kampanye Obama dan Hillary Clinton. Namun, Trump tidak serta merta menjauh secara signifikan dengan Saudi Arabia. Kedua negara ini sudah memiliki rasa saling ketergantungan yang kuat dalam menjalankan kebijakan luar negeri masing-masing terutama untuk stabilitas ekonomi Amerika dan politik Timur Tengah.

Raja Saudi Salman bin Abdul Aziz mengucapkan “selamat” atas terpilihnya Trump dan meminta presiden ke-45 ini bersama-sama menjaga stabilitas politik Timur Tengah. Ucapan selamat ini merupakan bentuk harapan pemerintah Saudi agar Amerika tetap menjadi sahabat terbaiknya untuk menangkis pengaruh Iran di Timur Tengah. Smith Haddar memberikan pandangan berbeda mengenai sikap Trump atas Iran. Trump akan lebih bersikap keras terhadap Iran daripada Obama. Kesepakatan nuklir yang sudah ditandatangani di Vienna Austria pada 2015 antara Iran, Amerika Serikat dan negara-negara P5+1 (Inggris, Perancis, Rusia, Jerman), akan dimentahkan kembali oleh Trump. Trump akan me-review kesepakatan tersebut hingga embargo berlaku lagi untuk Iran. Namun ini masih fifty-fifty karena dalam menjalankan kebijakan luar negerinya, banyak “deal-deal” yang akan memengaruhi Trump termasuk dari koalisi Iran yakni Rusia dan Cina serta pengaruh Saudi Arabia yang tidak bisa lepas begitu saja dari Amerika Serikat berkaitan dengan besarnya jumlah investasi Saudi di Amerika. ***

***

sumber: http://ismes.net/2016/12/trump-dan-timur-tengah/

Menuruti Kehendak Mayoritas?

$
0
0

Faculty Member Departemen Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara Aditya Permana memublikasikan artikelnya berjudul “Menuruti Kehendak Mayoritas?”. Di bawah ini adalah artikelnya.

Menuruti Kehendak Mayoritas?

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Aditya Permana SFil MHum *)

Menjelang pergantian tahun ini, politik Indonesia mengalami beberapa peristiwa besar yang mengusik normal politics (1) dalam exercise of power demokrasi Indonesia. Dua peristiwa yang menjadi catatan khusus dalam konteks ini adalah aksi massa 411 dan 212. Peristiwa semacam ini dapat dikategorikan sebagai bentuk baru social movement berbasis agama yang unik karena terjadi dalam sebuah negara demokrasi pluralistik. Unik, karena dilakukan oleh ‘mayoritas’ muslim yang membuktikan bahwa kekuatan Islam masih menjadi kekuatan yang perlu diperhitungkan dalam peta politik nasional, serta ‘menggeser’ dominasi dua organisasi massa Islam terbesar Indonesia, NU dan Muhammadiyah.

Dalam filsafat politik, gerakan massa yang mengusik normal politics semacam ini disebut sebagai politics of the extraordinary (Andreas Kalyvas, 2008). Berdasarkan kedua peristiwa yang terjadi, sulit untuk tidak mengatakan bahwa kedua aksi massa tersebut, betapapun berbeda makna dan tuntutannya, adalah aksi yang mengukuhkan tegangan antara kaum mayoritas dan minoritas; problem laten bangsa ini yang selalu mengemuka dalam pelbagai bentuknya.

Kita dapat memahami alasan aksi massa yang pertama, 411, yakni tuntutan kepastian hukum atas dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh gubernur non-aktif DKI Jakarta, Basuki Tjahaya Purnama. Sedangkan aksi 212 yang dilakukan dalam konteks terpenuhinya sebagian tuntutan hukum tersebut dapat dianggap memiliki makna yang berbeda. Sebagian pengamat mengatakan bahwa aksi 212 menunjukkan pesan-pesan simbolis tentang ketidakmampuan pemerintah mengelola masalah-masalah sosial, termasuk penegakan hukum dan keadilan serta relasi mayoritas- minoritas.

Dalam negara demokrasi pluralistik seperti Indonesia, tegangan antara ‘mayoritas’ dan ‘minoritas’ memang tak terhindarkan dan acap menjadi sumber konflik sosial. Penyebutan ‘mayoritas’ dan ‘minoritas’ memang memuat potensi kekeliruan politik (political incorrectness) yang besar dan berisiko mempertajam perbedaan dan konflik.

Namun perlu diakui bahwa kedua aksi tersebut setidaknya dapat dibaca sebagai vulgar display of power kelompok ‘mayoritas’. Akan tetapi pengakuan (recognition) semacam ini, betatapun riskan, tetap mesti dilakukan, justru demi mencapai solusi yang adekuat dalam persoalan ini. Dengan secara jujur menunjuk pihak-pihak yang berkonflik, maka solusi bersama dapat dicapai.

Dalam konteks demikian, kita anggap politik sebagai sebuah ‘panggung’, di mana kepentingan-kepentingan kelompok-kelompok masyarakat dipertontonkan (displayed). Dalam filsafat politik Claude Lefort (1988), pertanyaan-pertanyaan mengenai politik hanya dapat muncul ketika suatu peristiwa politis memenuhi tiga syarat, yakni mise en sens (diberi makna), mise en scène (dipanggungkan/ditampilkan/dipertontonkan), dan mise en forme (diberi bentuk/definisi).

Sesuatu disebut sebagai peristiwa ‘politis’ sendiri jika peristiwa tersebut ‘mengganggu’ (disrupting) normal politics. Di sinilah Lefort membedakan politik (dalam konteks normal politics yang ‘ontis’) dan ‘yang politis’ (the political, yang bernuansa ‘ontologis’). Politik normal merupakan ‘representasi’ kekuasaan yang menyelimuti masyarakat setempat.

Politik normal merupakan wajah dari masyarakat yang relasi kekuasaannya dapat berupa masyarakat demokratis, monarkis, sosialis, dan seterusnya. Masyarakat, dengan demikian, adalah ‘quasi-representasi’ (2) dari ‘yang politis’, yang kemudian direpresentasikan lebih lanjut dalam politik kenegaraan sebagai pemegang kekuasaan yang “nyata”/otoritatif.

Lefort sendiri menyatakan bahwa relasi kekuasaan dalam masyarakat tergantung dari exercise of power yang melibatkan kelompok-kelompok yang bersaing dalam masyarakat. Bagi Lefort, dasar dari adanya masyarakat justru ditemukan dalam konflik. Tidak ada masyarakat tanpa konflik, dan sebaliknya, konflik adalah dasar dari masyarakat itu sendiri.

‘Yang politis’ merupakan ‘gangguan’ dalam politik normal, dan gangguan ini dilakukan oleh kelompok yang terganggu kepentingannya dan membuat ‘patahan’ atau disrupsi dalam panggung politik normal dan menciptakan ‘the moment of the political’ (momentum dari yang politis). Dalam kasus kita, ‘the moment of the political’ ini terjadi ketika massa melakukan aksi yang mampu ‘memaksa’ pemerintah menjalankan peran idealnya. Sebagai catatan, dalam politik normal, dugaan pelanggaran hukum semestinya langsung direspon dan diproses oleh pemerintah tanpa menunggu adanya disrupsi massa.

Peristiwa 411 dan 212 dapat dibaca sebagai suatu aksi massa (mise en forme) yang memanggungkan (mise en scène) suatu kepentingan konfliktual tertentu dan mengantar makna tertentu (mise en sens). Konflik antara ‘mayoritas’ dan ‘minoritas’ dalam kasus ini bukan lagi semata-mata konflik ‘virtual’ yang laten, namun telah menjelma menjadi konflik ‘aktual’ dengan adanya distingsi atau pembatasan yang jelas tentang “siapa yang sesungguhnya berkuasa” dalam masyarakat (Lefort menyebutnya insider), dan siapa yang dimaksudkan untuk dikuasai (outsider). Dalam konteks ini, pengakuan adanya konflik ini harus dinyatakan secara terbuka agar dapat dicari solusi yang memadai, tentang siapa yang diuntungkan maupun dirugikan, secara adil.

Tegangan politik ideal (politik normatif) dan politik praktis (real politics) filsafat politik pada mulanya adalah studi tentang hakikat politik, hakikat hidup bersama dalam polis, yakni sebuah komunitas hidup bersama yang memperjuangkan ideal-ideal hidup bersama, yakni “kebaikan bersama” (bonum commune). Cara mencapai kepentingan umum ini berbeda-beda tergantung kesepakatan etis komunitas yang bersangkutan.

Pada gilirannya, perbedaan ini menentukan bagaimana “keadilan” ditentukan dalam negara tersebut. Keadilan itu sendiri merupakan suatu kesepakatan etis, artinya terikat oleh prinsip-prinsip moral masyarakat yang bersangkutan. Dalam negara demokrasi pluralistik Indonesia, prinsip-prinsip keadilan tersebut dijabarkan dalam konsep normatif dasar “bukan dominasi mayoritas ataupun tirani minoritas”.

Kendati mengatakan bahwa dasar ontologis masyarakat adalah konflik, Lefort pada dasarnya mengakui bahwa politik normal, dalam konteks demokrasi, merupakan suatu kesepakatan publik untuk menentukan dirinya sendiri (self-determination). Dalam sejarah, demokrasi, bagi Lefort, adalah pemindahan/mutasi kekuasaan dari monarki/aktor otoritarian/totalitarian kepada pemerintahan rakyat.

Sebagaimana kita ketahui, jatuhnya kekuasaan ke tangan rakyat ini dilakukan melalui kesepakatan publik (kontrak sosial), setelah ada peristiwa revolusioner. Artinya, dalam batas tertentu, Lefort mengakui, bahwa negara demokratis merupakan hasil kesepakatan etis dari masyarakat luas (sebagai “insider”) yang membedakan dirinya dengan kelompok bangsawan (sebagai “outsider”). Jatuhnya monarki (contohnya Revolusi Perancis 1789) digantikan oleh demokrasi merupakan “the moment of the political”, sedangkan negara demokratis itu sendiri menjelma menjadi politik normal. Indonesia, contohnya, punya Revolusi Kemerdekaan dan Reformasi 1998.

Dibaca dengan cara lain, demokrasi memiliki ideal-ideal bersama yang disepakati masyarakat, yang dilakukan dengan cara menciptakan jurang pemisah antara “insider” dan “outsider” dengan cara (salah satunya) menciptakan “musuh bersama”. Problemnya adalah, “the moment of the political” dalam masyarakat Indonesia berdiri di atas masyarakat yang plural dan kompleks dengan perbedaan-perbedaan SARA yang memiliki sejarah konfliktual.

Para pendiri bangsa merancang dasar negara dan konstitusi kita untuk melampaui perbedaan-perbedaan ini dan melakukan rekayasa sosial yang sedemikian rupa untuk menghindarkan konflik. Rekayasa sosial ini ditubuhkan dalam demokrasi Pancasila, yang merupakan sistem demokrasi yang tidak memihak suara terbanyak, melainkan mengedepankan konsensus (musyawarah untuk mufakat) untuk mencapai kebaikan bersama (keadilan sosial).

Kita semua tentu menyadari bahwa prinsip ideal ini nyaris tidak dapat ditemukan lagi dalam realpolitik Indonesia, terlebih sekarang ini. Namun bagaimanapun, ideologi kita, betapapun tersingkirnya dari real politik dan keseharian kita, digantikan oleh ideologi lain yang konstitusional.

Kendatipun real politik kita tidak lagi berkaca kepada ideal-ideal etis pendahulu bangsa, namun bukan berarti tidak ada lagi “politik ideal” di dalamnya. Pertanyaan mendasar dalam “ideal” politik ala mayoritas ini adalah soal siapa yang menguasai (insider), siapa yang dikuasai (outsider). Ada yang “ideal” di balik realpolitik/politik praktis serta aksi massa (dan “penunggang-penunggangnya”) 411 dan 212, dan kita perlu jujur mengakuinya, yakni “idealnya/adilnya pemerintahan ini diselenggarakan di atas ideal- ideal/keadilan versi kalangan ‘mayoritas’, sebab sejauh ini pemerintahan (khususnya DKI Jakarta) dijalankan oleh ‘tirani minoritas’”.

Dua skenario ini sama-sama tidak “adil” karena sama-sama menjauhi prinsip-prinsip kesetaraan (equality), kebebasan (freedom), dan pengakuan hak-hak sebagai ideal demokrasi secara umum. Kasus penistaan agama oleh seorang politisi dari kalangan “minoritas” mendorong adanya aksi massa “mayoritas” yang menunjukkan diri sebagai pihak yang dominan dalam exercise of power demokrasi masyarakat ini.

Lefort sendiri menyadari risiko ini dan kemudian mengingatkan bahwa demokrasi menyimpan paradoks dan bahayanya sendiri. Mutasi kekuasaan dalam demokrasi, dalam sejarahnya, adalahmutasi kekuasaan dari pihak otoriter/totaliter (yang biasanya tunggal) ke pihak lain, yakni rakyat. Namun secara paradoksikal, ketika kekuasaan berpindah ke tangan rakyat, rakyat sendiri berpeluang menjadi pihak yang otoriter/totaliter. Terlebih jika yang kita bicarakan adalah kalangan “mayoritas”.

Namun yang perlu dipersoalkan adalah standar normatif kalangan mayoritas dalam penyelesaian kasus penistaan agama tersebut. Problem yang kemudian mencuat adalah tegangan dan inkompatibilitas antara “nilai-nilai Islam” dan nilai-nilai demokrasi Pancasila. Yang menjadikan ini problem adalah upaya mempertentangkan kedua set nilai-nilai tersebut; dan ini adalah masalah klasik dalam kebangsaan Indonesia.

Demokrasi adalah produk modernitas (“Barat”), yang acap mengalami perbenturan nilai dengan nilai-nilai Islam yang acap dianggap sebagai produk pra-modern dan eksklusif, kendatipun aksi massa 411 dan 212 tidak mungkin dilakukan di luar demokrasi. “Nilai-nilai Islam” yang dimaksud di sini bukan lagi semacam nilai-nilai Islam inklusif-pluralis era “lama”, melainkan produk baru di zaman ini yang butuh penyikapan tersendiri. Namun tidak semua vox populi adalah vox dei, karena Tuhan tidak akan serta-merta memihak karena jumlah dan tidak ada justifikasi yang sahih atasnya, kecuali sebagai slogan “mayoritas” yang menuntut kehendaknya dipenuhi(3).

Penutup

“The moment of the political” dalam pandangan Lefort akan menciptakan “kekosongan kekuasaan”. Kekosongan kekuasaan ini tidak berarti tidak ada kekuasaan politis yang memegang, melainkan adanya potensi mutasi atau perubahan dalam tubuh atau postur kekuasaan itu sendiri. Justru dalam momen ini, siapapun yang berhasil mengadakan perubahan dalam tubuh kekuasaanlah yang akan memegang kendali. Dalam kapasitasnya sebagai presiden, Jokowi perlu mengambil momentum ini untuk menyatukan ideal-ideal etis politik Indonesia dengan praktik realpolitik sebagai sripanggung dalam
panggung politik Indonesia.

Ideal-ideal politik yang dimaksud tidak dapat lepas dari kehendak “mayoritas”. Namun posisi Pemerintah Jokowi sendiri dalam kasus ini sulit ditentukan, apakah sebagai “insider” ataukah “outsider”. Namun justru di balik “ketidak-idealan” demokrasi ini realpolitik berfungsi melampaui politik normatif.

Politik, tak pelak lagi, adalah soal keberpihakan. Negara dalam konteks demikian tidak dapat lagi menjadi “watchdog” atau semata-mata netral dalam urusan-urusan masyarakat, melainkan betul-betul melakukan langkah intervensi demi mewujudkan keadilan. Basuki Tjahaya Purnama tentu harus “diadili”, bukan semata-mata “dihukum”. Peran Jokowi dalam hal ini adalah “memihak kepada ideal-ideal keadilan” yang telah menjadi kesepakatan etis publik, bukan karena semata-mata menuruti kehendak “mayoritas”. Jokowi mesti mengawal penegakan keadilan ini demi menghindarkan diri dari risiko totalitarianisme massa.

Bagaimana pun, peristiwa 411 dan 212 sebagai aksi massa bukanlah peristiwa makar, bukan suatu “the moment of the political” yang mengakibatkan adanya mutasi kekuasaan, melainkan pemanggungan kehendak “mayoritas” yang berani bersuara. Kehadiran Jokowi dalam peristiwa 212 adalah langkah yang semestinya, bukan sesuatu yang istimewa. Namun Jokowi bukan Soekarno serta hidup dalam situasi bangsa yang terlanjur mewarisi polemik klasik kalangan religius, nasionalis, dan kalangan nasionalis- religius. Namun kita tahu dari pengalaman sejarah, bahwa otoritarianisme/totalitarianisme bukan jawaban.

*) Pengajar Mata Kuliah Filsafat Ilmu Sosial, Jurusan Hubungan Internasional,
Universitas Bina Nusantara Jakarta

Keterangan:

1. Normal politics adalah istilah dalam ilmu sosial-politik yang menggambarkan kondisi politik sehari-hari tanpa adanya intrusi   kekuasaan (force) koersif yang mengubah drastis jalannya perpolitikan tersebut.

2. Representasi semu (pen.)

3. Slogan “vox populi, vox Dei” sebelum menjadi slogan penting demokrasi memiliki riwayat negatif, terutama dalam pandangan Gereja. Contohnya ketika masyarakat Yerusalem berkehendak menyalib Yesus di Bukit Golgota dan kehendak mereka terpenuhi.

***

sumber: http://www.republika.co.id/berita/jurnalisme-warga/wacana/16/12/06/ohrmts396-menuruti-kehendak-mayoritas

South-East Asia takes stock after a year of alarming democratic decline

$
0
0

Faculty Member Departemen Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara Moch Faisal Karim memublikasikan artikel yang ditulisnya bersama Scott Edwards, peneliti doktoral studi Hubungan Internasional University of Birmingham, berjudul “South-East Asia takes stock after a year of alarming democratic decline”. Di bawah ini adalah artikelnya.

South-East Asia takes stock after a year of alarming democratic decline

As democracy’s stability is questioned around the world, South-East Asia in particular has seen another year of democratic decline. Many countries remain undemocratic, and others have taken a worryingly repressive turn. Thailand, Malaysia and the Philippines have all suffered setbacks; Myanmar has failed to fulfil the high hopes following the election of its first civilian president for decades, and Indonesia faces serious problems, too.

After such a precipitous decline, 2017 will be a critical year. Unless these countries’ trajectories change soon, darker times are ahead.

Two years after a democratically elected government was thrown out by a coup, Thailand endured another year of uncertainty about the state of its democracy and remains under a military government. A new constitution, criticised for undermining elected representation and accountability, was approved by a referendum, boosting the military government’s legitimacy and licensing its repressive rule.

Worries about the military’s assertive attitude surged in October as Thais mourned the death of the aged King Bhumibol, a symbol of national unity. His successor, King Rama X, does not enjoy the same level of popularity or authority – and with the country’s beloved patriarch gone, any future transition to civilian government promises to be a rough ride indeed.

Malaysia, meanwhile, has seen some alarming government crackdowns of its own. There has been mounting pressure over a scandal involving 1MDB, a state-owned investment fund, from which funds have allegedly been misappropriated on a massive scale. There are questions over whether the government and Prime Minister Najib Razak are implicated, something he denies.

Many Malaysians are also alarmed at an Electoral Commission redelineation exercise, which they regard as an effort to gerrymander parliamentary districts in favour of the ruling coalition.
The Coalition for Clean and Fair Elections (known as Bersih, meaning clean) responded with a massive rally in November demanding that Najib step down. The Security Offences (Special Measures) Act, which is meant to safeguard national security, was used before the rally to detain Bersih’s leadership.

It is not the only accusation of security legislature being misused to prevent dissent. An opposition MP has been imprisoned under the Official Secrets Act for the release of a report on the IMDB scandal, and a cartoonist is the latest of many government critics to be arrested under Malaysia’s repressive sedition laws.

Crackdowns and dashed hopes

Concerns over democracy in the Philippines following Rodrigo Duterte’s election as president are also being realised. A wave of vigilante killings against those accused of being criminals has claimed around 4,500 lives.

Duterte’s reputation for endorsing and ignoring such actions extends back to his tenure as mayor of Davao. He has made statements threatening the same actions against human rights activists, and recently admitted to killing criminals himself while mayor. “I was really looking for a confrontation so I could kill,” he said.
The rule of law in the Philippines is therefore not in great shape. And besides Duterte’s ever more controversial statements and the remarkably brutal crackdown on drug crime, November saw the burial of former dictator Ferdinand Marcos in the national Heroes’ Cemetery. Duterte supported the decision to put Marcos there, raising the prospect that the country’s history of dictatorship could be whitewashed.

In Myanmar, meanwhile, the optimism that greeted its first full democratic elections in 2015 has rapidly faded. At first, the signs were good: the military-imposed constitution, under which Aung San Suu Kyi was prevented from becoming president, was neatly circumvented after the elections when she was was appointed State Counsellor, a new role with formal power. The military’s last efforts to maintain a grip on the country seemed futile – but there are other, more alarming problems afoot.

There has been a surge of violence against Myanmar’s Rohingya Muslim minority, a situation so dire that a UN official described it as ethnic cleansing. The government is under international and regional pressure to address the violence, and yet Suu Kyi has stayed silent. Such events demonstrate ongoing deficits in human rights and representation in Myanmar’s democratic process, as well as the lack of control the government has over the military.

The success story?

This leaves Indonesia, the region’s last real democratic holdout. But all is not well there either.

The ongoing row over an alleged blasphemous statement by Jakarta’s Christian governor, known as Ahok, shows that Indonesia’s political elites are still heavily invested in identity politics. Hundreds of thousands of people protested demanding Ahok’s imprisonment, even though the case is not settled and the evidence highly equivocal.

Indonesia is far from the only country facing the problem of identity politics, but it could nonetheless backfire in the long run if the rule of law is undermined by what some have called “mobocracy”.

Some attribute this to the growing prominence of political Islam in the democratic system, but there’s rather more to it than that: Indonesia is extremely diverse, meaning it’s naturally prone to ethnic and religious rifts and conflicts. And as long as identity politics work, this could exacerbate issues and lead to internal security issues.

It is also tarnishing the image projected abroad of Indonesia as a moderate, tolerant, and progressive Muslim country, nurtured and developed over a full decade by the Yudhoyono administration.

The strength of Indonesia’s democracy is a beacon for the region. If it starts to fail, South-East Asia could start to lose hope that hard-won democratic rule is really sustainable.

***

Scott Edwards
Doctoral Researcher in International Relations, University of Birmingham

Moch Faisal Karim
PhD Researcher, University of Warwick

sumber: http://theconversation.com/south-east-asia-takes-stock-after-a-year-of-alarming-democratic-decline-69185


Mencermati Kebijakan Ekonomi Trump

$
0
0

Ketua Jurusan Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara, Prof. Tirta N. Mursitama, Ph.D, memublikasikan artikelnya berjudul “Mencermati Kebijakan Ekonomi Trump”. Di bawah ini adalah artikelnya.

Mencermati Kebijakan Ekonomi Trump

UNTUK mewujudkan janji kampanyenya, Make America Great Again!, Presiden AS terpilih Donald Trump mulai menunjukkan keseriusannya dengan memilih para pembantu dalam pemerintahannya kelak. Pemilihan orang yang mengisi berbagai posisi penting itu menggambarkan adanya kesatuan antara visi yang ingin dicapai.
Di satu sisi, langkah tersebut memang sudah on the right track. Namun, timbul kekhawatiran, pemilihan orang yang tegas, keras, dan agresif mengirimkan sinyal bahwa AS serius menjadi lebih unilateralis, inward looking, dan protektif di bawah Trump empat tahun ke depan. Itulah yang menyulut kontroversi.

Visi Ekonomi

Program ekonomi Trump cukup ambisius dengan target terciptanya 25 juta lapangan kerja dalam sepuluh tahun. Untuk mencapainya, ada beberapa poin penting yang direncanakan. Pertama, mencapai target pertumbuhan ekonomi 3,5 persen rata-rata per tahun. Kedua, meluncurkan pro-growth tax plan yang di dalamnya mengurangi pajak bagi kelas pekerja dan kelas menengah AS secara bervariasi serta memotong pajak korporasi hingga 15 persen dari yang selama ini 35 persen.
Ketiga, Trump berencana menerapkan terobosan dalam regulasi yang modern dengan melakukan deregulasi berbagai peraturan yang pada masa Obama dianggap terlalu rigid serta tumpang-tindih. Keempat, mengedepankan kebijakan perdagangan yang menempatkan AS sebagai prioritas utama.
Trump memfokuskan setiap perjanjian perdagangan yang diharapkan meningkatkan GDP. Bila tidak, akan dilakukan peninjauan ulang seperti halnya rencana merenegosiasi NAFTA. Hal yang paling mengejutkan mungkin adalah niat menarik diri dari Trans-Pacific Partnership (TPP) dan mengecap Tiongkok sebagai negara yang sengaja memanipulasi nilai tukar yuannya demi mendapatkan keuntungan dari kegiatan ekspor mereka.
Kelima, AS akan berfokus pada penerapan kebijakan energi yang mengutamakan penggunaan batu bara yang melimpah, minyak, dan gas panas bumi. Terakhir, Trump berniat mengurangi pengeluaran yang tidak terkait dengan pertahanan dan jaring pengaman sosial sebanyak 1 persen.
Bila visi ekonomi Trump tersebut diperhatikan, di atas kertas memang bertolak belakang dengan sebagian kebijakan ekonomi Obama.

Tim Transisi

Sejauh ini, pilihan pejabat-pejabat kunci yang dilakukan pemerintahan transisi Trump pun semakin menguatkan indikasi kebijakan AS yang keras dan lebih tegas. Dalam portofolio ekonomi dan luar negeri, kalangan bisnis mewarnai.
Keputusan Trump menominasikan Red Tillerson sebagai menteri luar negeri cukup menarik. Sebagai CEO ExxonMobil di industri perminyakan dengan putaran uang yang besar dan lukratif, Tillerson dianggap memiliki kemampuan untuk berdiplomasi bisnis dengan berbagai negara. Dia juga cukup dekat dengan Putin sehingga diharapkan menormalisasi hubungan AS dengan Rusia.
Posisi menteri keuangan akan dipegang Steven Mnuchin, orang yang selama 17 tahun malang melintang di dunia perbankan dan investasi di Goldman Sachs. Kemudian, Mnuchin mendirikan dan mengembangkan OneWest Bank hingga menjualnya kepada CIT Group pada 2015. Sebagai seorang hedge fund manager yang ulung, dia memiliki pemikiran yang keras dan berani mengambil risiko dalam setiap keputusan bisnisnya.
Menteri perdagangan akan dipegang Wilbur Ross, seorang pebisnis, investor perbankan yang memiliki keahlian melakukan restrukturisasi perusahaan-perusahaan yang bermasalah. Pengetahuan dan pengalamannya di berbagai industri seperti baja, batu bara, telekomunikasi,
dan investasi asing sangat penting. Dari tiga posisi kunci di bidang ekonomi itu saja, jelas ada pesan tegas bahwa pendekatan ala kalangan bisnis akan digunakan.
Pendekatan kepada aktor-aktor kunci yang akan dijadikan mitra di negara lain lebih bervariasi tidak hanya di kalangan politisi dan birokrat, tetapi juga dari asosiasi bisnis serta kalangan bisnis besar.
Di luar portofolio ekonomi, satu posisi sentral yang terkait adalah menteri pertahanan. Trump memilih James Mattis yang dikenal sebagai individu berpandangan keras terhadap kalangan Islam dan menganggap Iran sebagai ancaman utama di Timur Tengah.

Mattis sebagai purnawirawan jenderal Marinir mempunyai pengalaman profesional kemiliteran di Kandahar, Afghanistan (2001); invasi Iraq (2003); serta pertempuran di Fallujah (2004). Mattis juga dikenal sebagai pemikir di kalangan militer. Bahkan, setelah pensiun, dia menjadi peneliti militer di Hoover Institute.
Dengan visi ekonomi dan komposisi portofolio ekonomi, luar negeri, dan strategi seperti itu, negara-negara Asia, termasuk Indonesia, harus lebih berhati-hati dan menyiapkan berbagai skenario. Kebijakan ekonomi luar negeri AS akan terwujud sebagai resultan kepentingan bisnis, strategis, dan bahkan ideologis yang lebih keras di Asia, bahkan Indonesia.
Indonesia perlu menyiapkan para negosiator ulung yang kembali siap bertempur di meja perundingan bisnis bilateral maupu multilateral. Kalangan bisnis besar Indonesia dan asosiasi bisnis perlu diberi kesempatan lebih sebagai jembatan kepentingan dua negara. Apalagi Trump akan melakukan cara apa saja demi tercapainya kepentingan AS. (*)

* Guru besar bisnis internasional dan ketua Departemen Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara***

sumber: Jawa Pos 21 Desember 2016

Kaleidoskop HI BINUS 2016: “Recognition of Excellence”

$
0
0

Tahun 2016 semakin meneguhkan Jurusan Hubungan Internasional (HI) BINUS sebagai salah satu jurusan HI yang terbaik di Indonesia. Kerja keras seluruh civitas academica Jurusan HI BINUS dan dukungan dari seluruh pimpinan universitas serta yayasan membawa Jurusan HI BINUS memperoleh pengakuan lebih tinggi dalam pengembangan keilmuan HI di Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan keberhasilan Jurusan HI Binus memperoleh akreditasi B dari Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) hanya dalam empat tahun sejak didirikan pada 2012. Selain itu, departemen ini pun akhirnya menghasilkan lulusan angkatan pertama mahasiswa/inya. Dengan berbagai pencapaian ini tema yang tepat menggambarkan prestasi tahun ini adalah “Recognition of Excellence”.

Selain keberhasilan memperoleh akreditasi dan menghasilkan lulusan angkatan pertama, beberapa milestones lainnya Jurusan HI BINUS pada 2016 adalah sebagai berikut:

  1. Jurusan HI Binus membuka Global Class angkatan pertamanya pada semester ganjil 2016/2017 dengan Deputy Head Charanpal Singh Bal. Global Class adalah program yang ditawarkan untuk menghasilkan lulusan berwawasan global dengan keahlian dan pengalaman untuk sukses melalui inovasi dan kewirausahaan dalam lingkungan global dan menggunakan bahasa Inggris sebagai pengantar kuliah
  2. Masuknya beberapa dosen baru memperkuat formasi Jurusan, antara lain Wayne Palmer, Ph.D., Mutiara Indriani, Roseno Aji Affandi, Budidarmo Kuntjoro-Jakti, dan Wa Ode Diah Anjani
  3. Total dana hibah riset yang diperoleh oleh Jurusan HI BINUS mencapai Rp385.000.000 selama tahun 2016
  4. Terbitnya beberapa karya buku dan artikel yang ditulis oleh dosen HI Binus, antara lain buku buku Indonesia’s Overseas Labour Migration Programme, 1969-2010 oleh Wayne Palmer, buku Production Politics and Migrant Labour Regimes oleh Charanpal Singh Bal, dan review buku Antje Missbach berjudul Troubled Transit oleh Wayne Palmer. Selain itu, terdapat berbagai artikel yang diterbitkan di berbagai media publikasi lainnya
  5. Delegasi HI Binus berpartisipasi dalam Konvensi Nasional (Vennas) VII Asosiasi Ilmu Hubungan Internasional Indonesia (AIHII) di Makassar, 22-24 November 2016. Prof. Tirta Mursitama bertindak sebagai Ketua AIHII dalam acara ini, sementara para dosen lainnya mempresentasikan paper dalam sesi paralel konferensi akademik
  6. HI Binus melaksanakan kerja sama dengan Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (Kemlu RI) dalam hal penulisan studi kasus untuk Sekolah Staf dan Pimpinan Departemen Luar Negeri (Sesparlu): Leadership and Trust in Humanitarian Diplomacy: Lessons Learned from the 2004 Tsunami in Aceh oleh Amalia Sustikarini dan Ratu Ayu Asih Kusuma Putri, serta Negotiating for an Archipelagic State: Indonesia’s Success Story in the UNCLOS oleh Luh Nyoman Ratih Wagiswari Kabinawa dan Sukmawani Bela Pertiwi

Dengan demikian, Jurusan HI Binus semakin meningkatkan kualitas dari sisi pengajaran, SDM yang berkualitas, penelitian, dan publikasi. Dengan demikian, Jurusan HI Binus telah membuktikan komitmen untuk terus-menerus berkontribusi bagi pengembangan ilmu HI di Indonesia.

Berikut adalah cuplikan kegiatan HI Binus selama 2016:

Januari

Kijang Initiatives Forum ke-16 “Jangan Sampai Konflik Saudi-Iran merambat ke Indonesia” dengan pembicara Tia Mariatul Kibtiah (22/1). Tia mewanti-wanti agar Indonesia jangan sampai menjadi medan perang proksi atas konflik-konflik dunia, termasuk harus netral dari pengaruh Arab Saudi maupun Iran

Februari

Journal of ASEAN Studies (JAS) Vol 3, No 2 (2015) diluncurkan. Terbitan kali ini mengambil tajuk “Migration, Mobility and Diaspora in Asia”. Sejak edisi ini juga, JAS secara penuh beroperasi dengan Open Journal System (OJS) untuk meningkatkan kualitas jurnal

Maret

Departemen HI Binus Menyambut Tim Assessor BAN-PT
Jurusan HI Binus menyambut tim assessor BAN-PT (17-18/3) dalam rangka penilaian di lapangan atau visitasi akreditasi program studi HI Binus. Tim assessor terdiri dari Prof. Dr. H. Mappa Nasrun, MA dari Universitas Hasanuddin dan Dr. H. R. Dudy Heryadi, M.Si. dari Universitas Padjadjaran

April

Menyusul kedatangan tim asesor BAN-PT pada bulan sebelumnya, Jurusan HI Binus memperoleh hasil penilaian akreditasi B dari BAN-PT, berlaku sampai dengan 28 April 2021. Akreditasi ini dicapai dalam empat tahun sejak didirikan dan belum ada lulusan

Mei

People to People Relations: Development and Prospect
Indonesia-Taiwan Lecture Series ke-2 “People to People Relations: Development and Prospect” dengan pembicara Profesor Samuel C. Y. Ku, National Sun Yat-sen University, Taiwan (16/5). Ini merupakan acara kedua dalam rangkaian kuliah yang mengundang pembicara terkemuka dari Taiwan yang dibuka pada April oleh Kepala Kantor Perwakilan Taiwan, Chang Liang-jen

Juni

Belajar Membangun Perdamaian dari Para Praktisi Perdamaian Penerima MAARIF Award 2016
IRLS ke-33 “Belajar Membangun Perdamaian dari Para Praktisi Perdamaian Penerima MAARIF Award 2016” (13/6). Budiman Maliki dari Poso, Sulawesi Tengah, Rudi Fofid dari Ambon, Maluku, serta Ibu Asni dan Ibu Nengah (Mosintuwu Institute) dari Poso, Sulawesi Tengah membagi inspirasi dalam menggelorakan perdamaian di Poso dan Ambon

Juli

Mahasiswi HI Binus Andriani Shintya Ardhana kembali meraih medali bersama Tim Renang Indah DKI Jakarta dalam ajang kompetisi 12th Hong Kong Open (29-31/7). Tidak hanya kali ini Andriani menyabet prestasi dalam nomor renang indah. Tahun ini pun ia berprestasi lagi dalam 11th Singapore Open (25-27/11)

Agustus

Dosen HI Binus Paramitaningrum berpartisipasi dalam Workshop Modul Pembelajaran dan Pengajaran Studi Eropa dalam rangka acara The 4th Convention on European Studies yang diselenggarakan Komunitas Indonesia untuk Kajian Eropa (KIKE) di Malang (19/8)

September

Jurusan HI Binus mengadakan pemutaran film “Jihad Selfie” dilanjutkan diskusi bertajuk “Creating Peaceful Young Generations” (15/9) bersama sutradara Noor Huda Ismail, pendiri Institute for International Peace Building yang tengah meneliti mengapa orang tertarik bergabung kelompok teror seperti ISIS

Oktober

ICOBIRD 2016 (19-20/10). Konferensi ke-5 dalam rangkaian ICOBIRD kali ini mengambil tajuk “Regional Economic Cooperation in Southeast Asia: Revisiting the Path and the Way Forward for the ASEAN Economic Community”. Tahun ini, ICOBIRD diselenggarakan paralel dengan konferensi Fakultas Humaniora Binus, ICSSLAH

November

Wisuda ke-55: Kelulusan angkatan pertama Jurusan HI Binus. Di antara 50 orang wisudawan/wati, tiga orang menyandang predikat summa cumlaude, seorang menerima Binus Award of Excellence, dan seorang menyampaikan pidatonya atas nama seluruh wisudawan/ti pada wisuda ini
Wisuda ke-55: Kelulusan angkatan pertama Jurusan HI Binus (26/11). Di antara 50 orang wisudawan/wati, tiga orang menyandang predikat summa cumlaude, seorang menerima Binus Award of Excellence, dan seorang menyampaikan pidatonya atas nama seluruh wisudawan/ti pada wisuda ini

Desember

Ratu Ayu Asih Kusuma Putri dalam 1st International Conference on Game, Game Art, and Gamification (ICGGAG) yang diselenggarakan Binus International di Kampus fX Sudirman (19-21/12). Ayu mempresentasikan paper tentang game yang didesain bersama mahasiswa School of Computer Science Binus untuk materi mata kuliah Strategi Pertahanan Indonesia

Jepang dan Indonesia di Asia

$
0
0

Ketua Jurusan Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara, Prof. Tirta N. Mursitama, Ph.D, memublikasikan artikelnya berjudul “Jepang dan Indonesia di Asia”. Di bawah ini adalah artikelnya.

Jepang dan Indonesia di Asia

Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe melakukan lawatan ke Indonesia, 14- 16 Januari 2016. Pertemuan dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Bogor layaknya kunjungan protokoler kenegaraan dua negara menghasilkan hal-hal yang positif.

Bagaimana kita memaknai kunjungan Abe kali ini dalam konteks bilateral maupun regional? Pada tataran global dan regional, tentu tak bisa dinafikan bahwa Abe berusaha menunjukkan peran Jepang yang lebih asertif sebagai jawaban dari sinyal Donald Trump, presiden Amerika Serikat (AS) terpilih, dengan berbagai rencana kebijakan kontroversialnya di Asia.

AS “membiarkan” Jepang bertarung dengan China di Asia dan Korea Selatan yang kadangkadang Negeri Ginseng ini menjadi duri dalam daging dalam konstelasi di Asia Timur. Secara bilateral, kunjungan Abe bila ditinjau dari simbolsimbol diplomatik, menunjukkan kedekatan antara Jepang dan Indonesia.

Paling tidak pertemuan ini adalah yang keenam selama keduanya dalam tampuk kepemimpinan atau keempat kali dalam dua tahun terakhir. Namun, dalam hubungan internasional makna dibalik simbol itu juga tidak kalah penting. Dari sisi ekonomi tak diragukan komitmen investasi Jepang ke Indonesia yang masih besar untuk industri automotif, elektronika, energi, dan belakangan di sektor infrastruktur dan pengembangan sektor maritim.

Evaluasi IJEPA

Di antara berbagai agenda yang dibahas dan kesepakatan yang dihasilkan dari pembicaraan Abe dan Jokowi, satu hal yang penting dan strategis adalah evaluasi terhadap Indonesia Japan Economic Partnership (IJEPA). Walau telah berlaku hampir 10 tahun, pelaksanaan IJEPA masih problematik. Laporan dari kementerian terkait seperti perindustrian menyatakan bahwa pihak Indonesia dirugikan di seluruh sektor pada lima tahun pertama.

Misalnya, Indonesia masih lebih banyak mengimpor dari Jepang dibandingkan ekspor ke Jepang. Di sisi lain, sebuah studi tentang dampak penerapan IJEPA terhadap kinerja ekspor yang dilakukan Setiawan (2014) secara empiris terhadap data ekspor Indonesia ke Jepang dan ekspor Jepang ke Indonesia dengan data 2008-2011 menyimpulkan bahwa kedua negara mendapatkan keuntungan dengan penerapan tarif IJEPA dibandingkan tanpa pemberlakuan IJEPA.

Kesimpulannya, ekspor Indonesia meningkat 5,23% per tahun, sedangkan ekspor Jepang hanya mengalami peningkatan yang sangat kecil yaitu 0,46% per tahun. Namun, jantung dari IJEPA terletak pada penguatan daya saing industri nasional melalui Manufacturing Industrial Development Center (MIDEC).

Dari reviu yang dilakukan Kementerian Perindustrian, MIDEC belum berjalan efektif. Sebanyak 13 sektor yang terdiri dari 6 cross sectors dan 7 specific sectors, hanya 5 yang berjalan dengan baik. Sektor tersebut tiga di bagian cross sectors seperti pengelasan, pencetakan dan pemotongan logam, serta konservasi energi.

Sedangkan dua lainnya yaitu elektronika dan otomotif yang termasuk specific sectors. Dengan demikian, MIDEC yang diberlakukan 2008-2013 tidak menghasilkan prestasi pengembangan kapasitas (capacity building) yang mencolok. Untuk itu, Kementerian Perindustrian (2015) mengusulkan peningkatan infrastruktur manufaktur (improvement of manufacturing industry infrastructure) yang selama ini tidak pernah dipenuhi oleh Jepang padahal tercantum dalam IJEPA.

Selain faktor teknis di atas yang bersifat ilustratif, bila dilihat dari sisi diplomasi, IJEPA telah gagal bersaing dengan berbagai pengaturan institusional ekonomi seperti ASEANChina Free Trade Agreement (ACFTA) di Asia Tenggara baik gaungnya maupun dampaknya.

Belum lagi bila dihadapkan dengan kebijakan China yang belakangan ini semakin gencar menawarkan dan melakukan One Belt One Road (OBOR) maupun Regional Comprehensive EconomicPartnership (RCEP) di level global. Bagi sebuah negara sebesar Jepang yang ingin atau sedang berusaha memainkan peran yang lebih penting di kawasan dalam konteks geopolitik global dan regional Asia yang sedang tak menentu seperti saat ini, kemampuan memberikan tawaran wacana merupakan faktor kunci.

Ide tersebut haruslah menarik, menguntungkan para pihak yang terlibat dan akhirnya diikuti oleh negara-negara di kawasan. Pengaruh tidak hanya timbul karena penguasaan aspek militer dan teknologi keamanan seperti kepemilikan persenjataan militer canggih dan pasukan yang berketerampilan tinggi, serta keunggulan ekonomi.

Namun, sering kali pengaruh muncul dalam bentuk memberikan tawaran wacana (ide) bagaimana tata kelola dunia ini dilakukan. China sedang kuat-kuatnya di aspek militer dan ekonomi sedangkan ironisnya Jepang tidak mampu melakukannya secara baik paling tidak dalam satu dekade terakhir.

Terobosan

Untuk itu perlu dicari terobosan dalam hubungan diplomatik antara Indonesia dan Jepang. Kata kuncinya adalah keberhasilan membangun hubungan dengan Indonesia yang sedang sangat dekat dengan China dan masih berpengaruh di kawasan Asia Tenggara (ASEAN).

Bila itu terpenuhi maka Jepang akan merasa lebih aman dan nyaman karena hubungan baik tersebut akan berdampak pada konstelasi regional Asia Tenggara dan Asia yang lebih berimbang. Pilihannya saat ini ada di Jepang. Akankah Jepang melakukan janji-janji dalam IJEPA yang nanti akan disempurnakan dengan sepenuh hati atau tidak.

Pertama, tidak ada cara lain selain mengembangkan kemampuan industri dan teknologi Indonesia untuk mengimbangi ekspansi China yang gencar. Kekhawatiran perlu tidaknya alih teknologi harus dihentikan karena tidak diperlukan lagi.

Yang harus dilakukan Jepang adalah melakukan alih teknologi tersebut dan Indonesia siap merebutnya dengan meningkatkan absorptive capacity-nya, mempersiapkan sistem inovasi nasional termasuk di dalamnya meningkatkan pengeluaran penelitian dan pengembangan (research and development) industri maupun pemerintah secara lebih signifikan.

Kedua, Jepang harus mengubah gaya diplomasinya dengan memanfaatkan para alumni Jepang yang duduk di pemerintahan, industri, komunitas epistemik di perguruan tinggi, maupun kelompok-kelompok masyarakat secara lebih efektif. Melakukan evaluasi atas langkah yang selama ini telah dilakukan dan melaksanakan perbaikan termasuk mencari saluran, jalan dan aktor baru yang mungkin belum mengemuka namun bermanfaat. (*)

Ketua Departemen Hubungan Internasional BINUS University,
Alumnus Gakushuin University, Tokyo, Jepang

sumber: http://www.koran-sindo.com/news.php?r=1&n=0&date=2017-01-17

Book Review: Palmer, Wayne (2016), Indonesia’s Overseas Labour Migration Programme, 1969-2010 by Antje Missbach

$
0
0

One of the Faculty Members of the Department of International Relations of Bina Nusantara University, Wayne Palmer, recently authored a book titled Indonesia’s Overseas Labour Migration Programme, 1969-2010 published by Brill. The book was reviewed by Antje Missbach and the review was published in Journal of Current Southeast Asian Affairs 35(3), 187-190. The book review is as follows.

Book Review

Palmer, Wayne (2016), Indonesia’s Overseas Labour Migration Programme, 1969-2010

Leiden and Boston: Brill, ISBN13: 978-900-432-544-9, xiv + 202 pages

 

Palmer’s detailed analysis of the involvement of Indonesian state agencies in international labour migration fills a long-standing research gap. A multitude of academic studies have produced intimate insights into the exploitation of Indonesian migrant workers across the globe; however, there has not yet been any investigation of the role of the bureaucracy and state administration in allowing exploitation by recruiters and employers, as well as by their own officials and representatives, to take place. Palmer’s account condenses eight years of intense work, primarily interviews with bureaucrats, migrants and recruiters, but also sifting through a mass of national legislation and local regulations, into a very readable book. It offers a unique insight into the mechanisms of the Indonesian state apparatus, not only at the national level, but also at six selected regional migration hotspots (Surabaya, Semarang, Tanjung Pinang, Nunukan, Medan and Jakarta) and at three Indonesian embassies (Hong Kong, Singapore and Kuala Lumpur). Overall, it is a logically structured and well-composed book.

Considerations of discretion and illegality provide the book with a theoretical frame. However, rather than just detecting and describing illegal state practices, Palmer is interested in offering rationales for why and under what circumstances discretion is applied. Discretionary practices are not necessarily employed only for the selfish purposes and selfenrichment of individual state officials, but also occasionally as a “quick fix” for the wider organisations. Discretion can keep the basic system functioning, particularly at times of administrative chaos and legal and institutional uncertainty; as Palmer puts it: “discretion can and does play a vital role in lubricating the modern state machinery, especially when the state’s formal structures are somehow deficient” (p. 18).

Indonesia’s state-organised labour migration programme is more than 40 years old and has undergone substantial legal and institutional change. From the late 1960s onwards, the migration of Indonesian labour was deemed a necessary part of Indonesia’s vision for greater economic development. Not only did many Indonesians lack well-paid employment options in their home country but labour migration was also seen as an important option for generating foreign exchange revenue, particularly during the oil crisis when Indonesia’s oil and gas revenues dropped. Although labour migration was not entirely new to Indonesians, some of whom had gone abroad to find work in places such as Saudi Arabia, there had been little registration or regularisation of this mobility until the 1960s. It was then found that regularisation offered the state a lucrative source of income, from the sale of exit permits, arrangement of health checks and creation of insurance schemes. Naturally, companies already involved in international trade activities became obvious partners for the Indonesian government in recruiting and sending labourers, as they had the necessary contacts and know-how. During the New Order, state policies issued by the Ministry of Manpower introduced a system of intermediaries within labour recruitment schemes that maximised profits for recruiters, and for the state that licensed those recruiters, but broadly neglected the basic rights of labour migrants. Recruitment costs were imposed on the potential migrants rather than the employers. On top of these costs, the Ministry required potential labour migrants to pay for many substandard or outright useless services. As the numbers of labour migrants grew substantially, the Ministry relied increasingly on recruitment organisations for administrative tasks and for intervention in complicated problems, such as non-payment of wages. The more players became involved, the more legal and extra-legal payments could be extracted from the migrant workers. Throughout the book, Palmer offers vivid illustrations of how greedy bureaucrats enriched themselves on the backs of labour migrants.

The end of the New Order did not bring immediate change to stateoperated overseas labour migration programs and the highly lucrative monopoly stayed in place for many more years. It was not until 2004, when Law 39/2004 on Placement and Protection of Indonesian Workers Abroad was implemented, that some of the worst excesses of labour recruitment were criminalised. The impetus for this law came from President Megawati, who had made the better protection of labour migrants part of her re-election campaign, although this had not been enough to reinstate her as head of state. Nevertheless, in post-New-Order Indonesia, the old networks of the Ministry of Manpower were eventually disrupted and the old patron–client relations of labour recruitment schemes became more diversified, thanks to decentralisation efforts. Because of the Ministry’s systemic failure to address many shortcomings, in 2007 the government put in place a purpose-built Agency for the Placement and Protection of Overseas Indonesian Workers (BNP2TKI). While policymaking remained the domain of the Ministry of Manpower, the BNP2TKI was granted authority over operational aspects of recruitment programs, such as monitoring of training. Despite many good intentions to overcome the Ministry’s inherent conflict of interest, the textbook division of task-sharing failed dismally. Rivalry between the Ministry and the BNP2TKI caused considerable chaos, which not only negatively affected the state’s development plans but also had damaging effects on labour migrants.

Chapter One offers the theoretical background on internal state politics and state administration, and Chapter Two provides an historical overview of state-organised labour migration schemes in Indonesia. The main focus of Chapter Three is on how the conflict between the Ministry of Manpower and BNP2TKI played out in detail. Palmer provides very telling examples of how both sides tried to protect their stakes in that rivalry and of the dirty games some bureaucrats played to discredit their competitors. The fascinating depiction of lust for power, ambition, coercion and the complicated tensions between law and institutions provides the reader with a solid understanding of the complexities of this particular part of the Indonesian state apparatus. Whereas illegal practices and misdeeds occurring within institutions are usually blamed on individuals (oknum) and their lack of communal responsibility, Palmer supports an understanding of institutional discretion, which is not a failure of individuals to obey the law, but rather a widely-applied pattern and systematic form of governance in which many bureaucrats do not use the law to prescribe what to do, but rather use it to justify what they want to do (p. 65). More often than not, what they want to do is foster their own private goals and advance their own careers, although they occasionally also intend to provide the service required by the beneficiaries.

Law and institutions are the major components of modern states but it is only their successful implementation and operation that can show that a state is functioning well. In Chapter Four Palmer sets out to illustrate the challenges of enforcing contradictory regulations in a “decentralised unitary state” such as Indonesia nowadays. Because of the ongoing rivalry between the Ministry of Manpower and BNP2TKI over who was in charge of issuing certain papers and thereby earning certain revenues, Palmer visited six hotspots that serve as major embarkation and return/deportation sites for overseas labour migrants. His intention was to determine the consequences of the inter-institutional rivalry at the sub-state level and to find out how subnational administrations in different areas dealt with the dilemma of whether to follow instructions from the Ministry or from the BNP2TKI. His findings show that there was no uniform way in which the subnational administrations reacted to this challenge, as each adjusted in a different way. This finding in itself shows how important it is to take into account the complexity of administration and governance in contemporary Indonesia, which consists of more autonomous places than under the New Order.

Chapter Five directs attention to three overseas embassies and their involvement in labour migration issues. Although the labour attachés at the embassies were more removed from the intra-institutional conflict, the uncertainty in Indonesia translated into a vacuum overseas and to increased discretionary forms of problem-solving by the attachés posted overseas to assist migrant workers and provide them with better services. Once again, the assemblage of detailed observation and information secured from the author’s interviews and informal chats is impressive. It not only shows Palmer’s long-term engagement with certain actors in the field but also his skill in extracting sensitive information from those he spoke with. He never presents his insights in a demeaning or judgemental way, but imparts some of them through finely tuned humorous anecdotes from the field, thus helping the reader to digest the sad realities analysed so thoughtfully in this book.

***

Antje Missbach
Dr Antje Missbach is a senior research fellow in anthropology at the School of Social Sciences, Monash University, Clayton Campus, Australia. Her current research focuses on people smuggling and involuntary immobility of asylum seekers and refugees in Indonesia. Her latest publications include Troubled Transit: Asylum Seekers Stuck in Indonesia (2015) and Linking People: Connections and Encounters between Australians and Indonesians (edited with Jemma Purdey, 2015). <antje.missbach@monash.edu>

source: Missbach, Antje (2016). Book Review: Wayne Palmer: Indonesia’s Overseas Labour Migration Programme, 1969-2010, In: Journal of Current Southeast Asian Affairs 35(3), 187-190 https://journals.sub.uni-hamburg.de/giga/jsaa/article/view/1015

Binus University International Relations Students’ Achievement in a Model United Nations in the Thailand

$
0
0
The ten Binus IR students as delegates to Thammasat University MUN 2017

On January 11 to 17, 2017, ten Bina Nusantara International Relations University students participated in a competition of Model United Nations (MUN), a simulation of sessions of the United Nations, which was held at Thammasat University, Bangkok, Thailand. The students were Anthony Gunawan, Elica, Ilmia, Imanuel Kasehung, Marsella Winata, Noto Suoneto, Rafi Nugraha, Ratu Ghea, Ukhti Rahma Sari, and Vivian.

The Thammasat University MUN was one of the largest competitions in Thailand, in which participants from Thailand, Indonesia, Vietnam, France, South Africa, the United Kingdom, and Maldives participated. They discussed global issues and formulated the solutions, which were then debated to create the best resolutions, and then represented and adopted by the General Assembly.

In this occasion, the Binus IR students were divided into three councils, which were United Nations Human Rights Council (OHCHR), United Nations Development Programme (UNDP), and United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC). They discussed several issues, e.g. indigenous people, terrorism, human trafficking and migrant smuggling, climate change, to gender equality.

Aside from competing in the MUN, the students also visited the United Nations Education, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) Office in Bangkok to discuss the role of youth in achieving sustainable development goals (SDGs). This was a good opportunity for the students where they could learn how the United Nations worked in resolving global problems by promoting diplomacy among states. The students also used this opportunity to gain connections from several states and to learn the cultures from other nations.

In the MUN, the students received several achievements. For example, Elica won Best Position Paper at the UNDP session as an Israeli delegate, Noto won Best Position Paper and Honorable Mention Delegate at the UNODC session as a Burmese delegate, while Rafi won Honorable Mention Delegate at the OHCHR session.

Congratulations to the students who won those achievements!


Achievements of the IR Binus students at Thammasat University MUN 2017

Pada 11 – 17 Januari 2017, sepuluh mahasiswa/i Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara mengikuti ajang kompetisi Model United Nations (MUN), atau simulasi sidang PBB, yang diselenggarakan di Thammasat University, Bangkok, Thailand. Mahasiswa/i itu antara lain Anthony Gunawan, Elica, Ilmia, Imanuel Kasehung, Marsella Winata, Noto Suoneto, Rafi Nugraha, Ratu Ghea, Ukhti Rahma Sari, dan Vivian.

Thammasat University MUN adalah salah satu kompetisi terbesar di Thailand, yang diikuti peserta dari berbagai negara seperti Thailand, Indonesia, Vietnam, Perancis, Afrika Selatan, Inggris, dan Maladewa. Mereka mendiskusikan isu-isu global dan merancang solusinya, yang kemudian diperdebatkan untuk menghasilkan resolusi terbaik, dan lalu direpresentasikan serta diadopsi oleh Majelis Umum.

Dalam kompetisi ini, kesepuluh mahasiswa/i HI Binus terbagi ke dalam tiga sesi, yaitu Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR), Program Pembangunan PBB (UNDP), dan Kantor PBB Urusan Narkoba dan Kejahatan (UNODC). Mereka mendiskusikan berbagai isu, dari indigenous people, terorisme, perdagangan manusia dan penyelundupan manusia, perubahan iklim, hingga kesetaraan gender.

Selain berkompetisi dalam MUN, para mahasiswa/i juga mengunjungi Kantor Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) di Bangkok untuk mendiskusikan peran pemuda dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs). Ini merupakan peluang bagus bagi para mahasiswa/i, di mana mereka dapat mempelajari bagaimana PBB bekerja dalam menyelesaikan masalah global dengan mengedepankan diplomasi antarnegara. Para mahasiswa/i  juga memanfaatkan peluang ini untuk mendapatkan koneksi dari berbagai negara dan untuk mempelajari budaya negara lain.

Dalam MUN, para mahasiswa/i berhasil meraih prestasi, antara lain Elica meraih Best Position Paper dalam sesi UNDP sebagai delegasi Israel, Noto meraih Best Position Paper dan Honorable Mention Delegate dalam sesi UNODC sebagai delegasi Myanmar, sementara Rafi meraih Honorable Mention Delegate dalam sesi OHCHR.

Selamat kepada para mahasiswa/i yang berhasil meraih prestasi-prestasi tersebut!

Viewing all 406 articles
Browse latest View live


<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>