Quantcast
Channel: International Relations BINUS University
Viewing all 406 articles
Browse latest View live

Referendum Turki: Memanaskan Hubungan Bilateral Belanda dan Turki

$
0
0
Oleh: Timothy Herry Mumu
Editor Politik Internasional
IRB News

Turki berencana untuk melakukan referendum perluasan kekuasaan Presiden Recep Tayyip Erdogan nanti pada 16 April 2017. Referendum ini berisi tentang perubahan sistem pemerintahan, yaitu dari sistem pemerintahan parlementer menjadi sistem pemerintahan presidensial. Jika referendum berhasil, Presiden Erdogan akan memiliki kekuatan yang lebih besar dengan memungkinkan Presiden menunjuk menteri, mempersiapkan anggaran, memilih mayoritas hakim, melahirkan undang-undang baru, bahkan membubarkan parlemen.

Dalam rangka mencapai referendum Turki tersebut, Turki mencoba melakukan kampanye di luar negeri dan berusaha untuk mendapatkan dukungan dari warga luar negeri karena jumlah warga Turki yang tinggal di luar negeri dan memiliki hak untuk memilih ada sekitar 5,5 juta orang, yang mana banyak tersebar di Eropa seperti Belanda, Austria, Perancis,  bahkan di Jerman jumlah warga negara turki sekitar 1,4 juta pemilih.

Langkah awal yang dilakukan Turki adalah mengirimkan dua menteri untuk melakukan kampanye di Belanda, yakni Menteri Urusan Keluarga Turki Fatma Betul Sayan Kaya dan Menteri Luar Negeri Mevlut Cavusoglu. Menteri Urusan Keluarga Turki, Fatma, direncanakan untuk melakukan pertemuan umum di kantor konsulat Turki dengan para pendukung Erdogan di Rotterdam, Belanda, mengingat jumlah warga Turki yang tinggal di Belanda ada sekitar 400.000 orang sehingga pertemuan ini menjadi penting untuk rezim Erdogan.

Akan tetapi, Belanda memutuskan untuk tidak mempertemukan pihak Erdogan dengan rakyat Turki dengan alasan bahwa pertemuan ini akan menimbulkan kekacauan di Belanda, sehingga kedua menteri utusan Presiden Erdogan tersebut tidak diizinkan untuk bertemu dengan para pendukungnya di kantor konsulat Turki di Rotterdam, Belanda. Bahkan setibanya di Belanda pada sabtu 11 Maret 2017, Menteri Urusan Keluarga Fatma Betul Sayan Kaya langsung dikawal oleh aparat Belanda kemudian langsung dibawa ke perbatasan Jerman. Begitu juga dengan Menteri Luar Negeri Mevlut Cavusoglu, yang tidak diberikan izin mendarat di Belanda, (BBC News, 2017)

Sebagai respon dari perilaku Belanda tersebut, Turki meminta agar lembaga internasional seperti PBB memberikan sanksi terhadap Belanda dengan alasan Belanda tidak menghargai diplomasi dan menyerang para pendukung Erdogan yang telah berkumpul di Rotterdam dengan gas air mata dan anjing. Namun sejauh ini PBB belum angkat bicara soal kejadian tersebut. Presiden Erdogan juga menuduh negara-negara barat mengidap Islamophobia (takut terhadap umat Islam) dan mengatakan, “apa yang terjadi di Belanda mengabaikan diplomasi hukum internasional. Apakah Uni Eropa angkat bicara soal ini? Tidak. Kenapa? Karena mereka tidak saling melukai. Mereka sama”.(BBC News, 2017)

Lebih lanjut lagi Presiden Erdogan mengatakan bahwa paham Nazisme masih melekat di Belanda, “Saya katakan, saya sempat menduga nazisme sudah selesai, tapi saya keliru. Ajaran Nazi masih hidup di Barat”(BBC News, 2017). Turki kemudian melakukan pembalasan atas tindakan Belanda, dengan menolak pendaratan pesawat yang mengangkut Duta Besar Belanda, Kees Cornelis van Rij, untuk masuk ke Turki. Wakil Perdana Menteri Turki, Numan Kurtulmus, mengatakan “Kami tidak mengizinkan pendaratan pesawat-pesawat yang membawa para diplomat atau utusan Belanda di Turki atau penggunaan wilayah udara kami” (BBC News, 2017). Akibat dari kebijakan Turki tersebut, kedutaan Belanda di Turki sementara dipimpin oleh kuasa usaha dan diskusi politik tingkat tinggi antara kedua negara akan dihentikan dan parlemen juga direncanakan untuk segera keluar dari kelompok persahabatan bilateral antara Turki dan Belanda.

Belanda kemudian memberikan respon terhadap komentar-komentar Presiden Erdogan terutama tentang perumpamaan Belanda dengan Nazi. Perdana Menteri Belanda, Mark Rutte, meminta agar Presiden Erdogan meminta maaf kepada warga Belanda dan mengatakan “Negara ini dibom oleh Nazi pada Perang Dunia Kedua. Tak bisa diterima ia berkata seperti itu” (BBC News, 2017). Menurut PM Rutte sendiri pernyataan yang dilontarkan oleh pihak Turki ini sama sekali tidak membantu menenangkan suasana bahkan menambah buruk suasana. Alasan penolakan adanya pertemuan di Rotterdam sebetulnya dilandasi pemilihan umum yang akan diselenggarakan di Belanda pada 15 Maret 2017, karena menurut mereka keamanan menjelang pemilihan di Belanda akan terancam jika kampanye warga Turki di Rotterdam dilaksanakan.

Selain itu, pihak-pihak lain dari eropa juga memberikan komentar tentang pertemuan umum yang akan dilaksanakan di Belanda. Contohnya Menteri Luar Negeri Austria, Sebastian Kurz, berpendapat bahwa kampanye tersebut ditolak karena berpotensi untuk meningkatkan ketegangan antara kedua pihak, dimana ini dapat mengganggu upaya penyatuan warga Turki dan warga asli yang menetap di Belanda. Sebetulnya banyak juga pihak yang takut bahwa perluasan kekuatan Presiden Erdogan ini akan membuat Turki menjadi negara otoriter, seperti Perdana Menteri Denmark, Lars Lokke yang merasa khawatir terhadap nilai-nilai demokrasi di Turki, yang menurutnya sedang berada dalam tekanan besar. Ketakutan juga semakin besar dengan kebijakan Presiden Erdogan yang memecat 130.000 pegawai negeri, menangkap lebih dari 45.000 tentara, polisi, guru, politikus oposisi, dan jurnalis (Kingsley, New York Times, 2017). Kebanyakan dari mereka yang dipecat dan ditangkap adalah mereka yang terlibat dengan kudeta yang dilakukan oleh militer Turki untuk menjatuhkan rezim Erdogan.

Kedua negara seharusnya melakukan kerjasama yang baik dan menjaga hubungan kedua negara. Turki seharusnya tidak memberikan komentar yang berlebihan tentang Belanda, yang dapat memicuh munculnya komentar yang bersifat kontradiktif yang mengakibatkan terjadinya diskriminasi terhadap warga Turki yang ada di Belanda. Turki juga seharusnya tidak memperkeruh suasana dengan melarang pendaratan pesawat yang ditumpangi Duta Besar Belanda untuk Turki, Kees Cornelis van Rij, yang dapat memperburuk hubungan diplomatik kedua negara. Belanda juga sebaiknya tidak perlu melakukan pembubaran warga Turki di Rotterdam menggunakan anjing dan gas air mata, karena tindakan tersebut dapat dilihat sebagai tindakan yang offensive (represif) oleh pemerintah Turki. Daripada melarang menteri-menteri Turki masuk ke negaranya, seharusnya pemerintah Belanda lebih kooperatif dengan perwakilan Turki yang di utus agar hubungan kedua negara tetap aman.

 

Referensi

Kingsley, Patrick, 2017. A Message From Turkey, a Nation Under Pressure. New York Times, dalam https://www.nytimes.com/2017/03/15/world/europe/a-message-from-turkey-a-nation-under-pressure.html?hp&action=click&pgtype=Homepage&clickSource=story-heading&module=photo-spot-region&region=top-news&WT.nav=top-news

BBC. 2017. Balas Belanda, Turki Tolak Pendaratan Pesawat Yang Bawa Dubes Belanda, dalam http://www.bbc.com/indonesia/dunia-39262809

BBC. 2017. Hubungan Memanas, Turki Serukan Agar Belanda Dijatuhi Sanksi, dalam http://www.bbc.com/indonesia/dunia-39250416

BBC. 2017. Lima Hal Seputar Pertikaian Turki dan anggota Uni Eropa, dalam http://www.bbc.com/indonesia/dunia-39254284


IRB News adalah media informatif mahasiswa yang mampu berkontribusi bagi disiplin ilmu Hubungan Internasional.

Referendum Turki : Memanasnya Hubungan Bilateral Belanda dan Turki


Kasus e-KTP: Bantahan Berjamaah Anggota Dewan

$
0
0
Oleh: Firda Amalia Rahmadhani
Reporter Politik Domestik
IRB News

 

Sebagai salah satu kasus mega skandal, pengungkapan kasus e – KTP dimungkinkan mengguncang perpolitikan nasional, tentu bukan tanpa sebab, karena aktor aktor penting yang terlibat adalah para politisi papan atas yang menduduki posisi penting di negeri ini.

 DPR sebagai salah satu pihak yang paling di sorot. Karena, dalam dakwaan Jaksa KPK memuat banyak nama anggota dewan yang disinyalir menerima suap KTP elektronik. Kelanjutan sidang e – KTP  pada 23 Maret 2017 di Pengadilan Tipikor Jakarta menghadirkan tiga anggota komisi 2 DPR saat itu, mereka adalah Taufik Effendi, Teguh Juwarno dan Miryam S. Haryani.

Kedua saksi yaitu Teguh Juwarno yang saat itu menjabat sebagai wakil ketua komisi II DPR  2009-2010 dari Fraksi PAN dan Taufik Effendi selaku wakil ketua Komisi II DPR 2009-2014 dari Fraksi Demokrat, mereka berdua kompak membantah terlibat dalam penyuapan e – KTP Bahkan dalam keterangannya, kedua anggota dewan membantah mengenal Andi Agustinus alias Andi Narogong. Padahal, keduanya di tuduhkan menerima sejumlah uang suap dari Andi Narogong. Keduanya membantah pernah mengenal nama Andi Narogong, Teguh Juwarno  mengatakan baru mendengar nama Andi Narogong setelah ia memberikan kesaksian pada KPK.

Selain kedua wakil ketua Komisi II, satu anggota dewan lain yang hadir adalah Miryam S. Haryani dari Fraksi Partai Hanura. Persidangan dibuat terkejut atas tindakan Miryam yang mencabut seluruh keterangan di BAP (Berita Acara Pemeriksaan) dengan alasan BAP dibuat dibawah tekanan penyidik KPK . Jaksa penuntut umum KPK Irene Putri menyatakan terdapat hal-hal tidak logis terkait keterangan mantan anggota Komisi II DPR dari Fraksi Hanura tersebut.                      Majelis hakim menilai tindakan Miryam Haryani mencabut semua BAP dimungkinkan memberikan ancaman pidana pada yang bersangkutan, yaitu ancaman pidana atas pemberian keterangan palsu di muka persidangan. Selain itu, seandainya ada tindakan intimidasi dari penyidik KPK saat pembuatan BAP, seharusnya Miryam tidak membubuhkan tanda tangan pada BAP yang memberikan arti bahwa BAP itu telah dibuat secara benar.

Padahal, saat diberikan kesempatan pemeriksaan kedua, pihak Jaksa KPK mengatakan penyidik menanyakan apakah ada keterangan yang ingin diubah, ditambahkan, atau dilengkapi dalam BAP yang bersangkutan. Dikatakan bahwa pada pemeriksaan kedua, Miryam melengkapi ceritanya yang pertama dengan lebih lengkap dan detail.

Terkait keterangan Miryam yang mengungkapkan dirinya sempat diancam penyidik KPK ketika menjalani pemeriksaan, Jaksa KPK menyatakan KPK selama ini mempunyai SOP untuk memeriksa dan selalu merekam setiap pemeriksaan yang dilakukan.  Selain itu masih diragukan, apakah tekanan yang diterima Miryam berasal dari penyidik atau mengalami tekanan yang lain. Dalam persidangan Miryam mengaku diancam oleh penyidik saat pemeriksaan. Karena itu, keterangan yang dia berikan selalu berbeda dengan apa yang telah dituangkan di BAP. “Waktu diperiksa penyidik, saya dipaksa, saya diancam,” kata Miryam. Kemudian saat Ketua Majelis Hakim John Halasan menanyakan ancaman seperti apa yang diterima politisi Hanura itu, Miryam menjawab bahwa BAP yang ia tanda tangani isinya tidak benar semua karena ia mendapatkan diancam dengan kata kata oleh tiga orang penyidik, jawab Miryam sambil menangis di muka persidangan.

Peran Miryam dalam kasus ini dibilang cukup penting. Dalam dakwaan Jaksa, disebutkan Miryam S Haryani menerima uang 23 ribu dolar AS terkait proyek sebesar Rp 5,9 triliun tersebut. Pada BAP yang dicabut secara keseluruhan itu juga terdapat petunjuk penting terkait aliran dana pada beberapa anggota DPR.

Jaksa penuntut umum KPK lantas meminta izin kepada majelis hakim untuk menghadirkan tiga penyidik KPK yang memeriksa Miryam pada persidangan berikutnya. Jaksa berniat mengkonfrontir keterangan Miryam tersebut dengan penyidik KPK itu. Kuasa hukum terdakwa e-KTP, Irman dan Sugiharto, sepakat dengan jaksa. Ketua tim penasihat hukum, Susilo Ari Wibowo, juga meminta izin menghadirkan saksi untuk dikonfrontrir dengan Miryam. “Ini merugikan terdakwa II (Sugiharto). Saya mohon dicatat, saya minta dikonfrontir dengan beberapa saksi yang saya punya untuk pengantaran uang itu,” kata dia. Permintaan jaksa untuk mengkonfrontir Miryam dengan penyidik tak membuat politikus Hanura itu gentar mencabut BAP. “Saya siap Yang Mulia,” katanya dengan suara bergetar.

Kemudian, perkembangan terkait diluar pengadilan adalah penetapan tersangka kasus e – KTP, KPK akhirnya menetapkan Andi Agustinus alias Andi Narogong sebagai tersangka, setelah dua terdakwa sebelumnya telah menjalani sidang di pengadilan. Lalu, dari pihak para saksi dari anggota DPR, Marzuki Ali bahkan mengambil langkah hukum dengan melaporkan Andi Narogong ke Bareskrim POLRI karena ia merasa tak terima namanya di catut dalam pusaran kasus e – KTP. Selain Marzuki, politikus Golkar Melchias Mekeng juga melaporkan Andi Narogong ke Bareskrim.

Saling bantah oleh pihak pihak yang disebut dalam dakwaan Jaksa diharapkan tidak mempersulit pengusutan mega korupsi e – KTP.  Santer diberitakan dari Senayan bahwa DPR mewacanakan revisi Undang-Undang KPK yang justru akan memperlemah kinerja lembaga anti rasuah tersebut.

 

Referensi

Tempo. 2017. Sidang E KTP: Jaksa : Ada hal tak logis dari kesaksian Miryam diakses dari https://m.tempo.co/read/news/2017/03/24/063859087/sidang-e-ktp-jaksa-ada-hal-tak-logis-dari-kesaksian-miryam

Tempo. 2017. E-KTP, KPK Ancam Penekan Miryam dengan Pasal Halangi Penyidikan. Di akses dari https://m.tempo.co/read/news/2017/03/24/063859318/e-ktp-kpk-ancam-penekan-miryam-dengan-pasal-halangi-penyidikan


IRB News adalah media informatif mahasiswa yang mampu berkontribusi bagi disiplin ilmu Hubungan Internasional.

Kasus e-KTP – Bantahan Berjamaah Anggota Dewan

Rencana Tur Asia: Wakil Presiden Amerika Serikat akan Berkunjung ke Indonesia

$
0
0
Oleh: Dimas Setyanto
Reporter Politik Internasional
IRB News

Setelah kunjungan Raja Arab Saudi pada tanggal 1 sampai dengan 4 Maret 2017, kini Indonesia sedang menunggu kedatangan Wakil Presiden Amerika Serikat (AS), Mike Pence, yang akan berkunjung bulan depan (Kapoor, 2017). Namun demikian, hingga saat ini belum ada penjelasan lebih lanjut mengenai rencana kedatangan tersebut oleh pejabat AS maupun Wakil Presiden Mike Pence. Kali ini kunjungan Pence ke Indonesia merupakan bagian dari tur Asia dimana selain Indonesia, Wakil Presiden AS akan berkunjung ke Jepang, Korea Selatan dan Australia. Kunjungan tersebut tentunya merupakan salah satu upaya diplomatik AS.

Disisi lain, kunjungan Pence ke Indonesia, tentunya tidak akan lepas dengan fakta bahwa Indonesia merupakan Negara Islam terbesar di dunia, yang mana belakangan ini, kebijakan Presiden Trump cukup ofensif terhadap masyarakat muslim. Salah satunya adalah perintah eksekutif Trump mengenai larangan terhadap enam negara muslim untuk memasuki AS, yakni Iran, Yaman, Somalia, Suriah, Sudan, dan Libya, setelah Irak dicabut dari larangan tersebut.

Selanjutnya, tidak hanya mengenai respon masyarakat muslim akan kehadiran Pence, agenda yang dibawa menjadi fokus paling penting. Seperti dilansir dari Jakarta Post (14/3), Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Wiranto, yang belum lama dikunjungi oleh Duta Besar AS untuk Indonesia, Joseph R. Donovan di kantornya di Jakarta pada hari senin untuk membahas apa yang dianggap Wiranto sebagai “isu strategis” yang mungkin akan ada di meja diskusi untuk Wakil Presiden Pence dan Presiden Joko Widodo (The Jakarta Post, 2017). Wiranto berharap kerjasama bilateral AS Indonesia akan terus berlanjut, dimana dibawah kepemimpinan Obama di tahun 2015, ketika Presiden Jokowi mengunjungi Presiden Obama, kedua negara telah menjalin kerjasama yang komprehensif sejak 2010. “Dibawah kepemimpinan Trump, kami berharap kerjasama ini akan berlanjut”, ujar Wiranto (Jakartapost, 2017).

Relasi yang kuat antara AS dan Indonesia, saat ini tampak pada perusahaan tambang Freeport McMoRan dengan Indonesia. Nyatanya, Pemerintah Indonesia telah membuat regulasi yang melarang penambang untuk mengekspor konstentrat tembaga di Indonesia selama 12 minggu sejak Januari lalu. Hal tersebut membuat perusahaan tembaga terbesar ini kehilangan pendapatan sebesar $1Milliar (Taj, 2017). Pada pertemuan ini, Freeport McMoRan akan menanti rincian akhir izin ekspor sementara yang pada dasarnya akan mengakhiri larangan ekspor selama 12 minggu tersebut. “Dengan persetujuan jangka pendek yang ada, kita akan melanjutkan kembali ramping produksi untuk mengisi mill sebesar 100 persen,” ujar Kepala Petugas keuangan Kathleen Quirk (Reuters, 2017). Dalam regulasi tersebut, bertujuan untuk meningkatkan industri peleburan domestik Asia Tenggara

Dengan melihat kerjasama strategis tersebut, kunjungan Wakil Presiden Mike Pence ini diharapkan dapat memberikan sinyal positif dari transisi besar yang dilakukan Presiden Donald Trump dengan arah kebijakan-kebijakan barunya, terutama yang akan berdampak secara signifikan bagi Indonesia.

 

Referensi

CNN. 2017. Pence Slated to Visit Indonesia, Japan, South Korea and Australia in April. Retrieved 2017, from CNN: http://edition.cnn.com/2017/03/13/politics/pence-indonesia-japan-south-korea-australia-trip/

Kapoor. 2017. Mike Pence to Tour Asia Next Month Amid Security Crises. Retrieved 2017, from Reuters: http://www.reuters.com/article/us-usa-pence-asia-idUSKBN16K0IQ

Jakarta post, T. 2017. US Vice President to Visit Indonesia. Retrieved 2017, from The Jakarta Post: http://www.thejakartapost.com/news/2017/03/13/us-vice-president-to-visit-indonesia.html

Indonesia, V. 2017. Wapres AS Mike Pence akan Melawat ke Indonesia. Retrieved 2017, from VOA Indonesia: http://www.voaindonesia.com/a/wapres-as-akan-melawat-ke-indonesia-/3765924.html

Reuters. 2017. Freeport Awaits Permit to End Costly Indonesia Export Ban – Execs. Retrieved April Thursday, 2017, from Nasdaq.com: http://www.nasdaq.com/article/freeport-awaits-permit-to-end-costly-indonesia-export-ban-execs-20170405-0099


IRB News adalah media informatif mahasiswa yang mampu berkontribusi bagi disiplin ilmu Hubungan Internasional.

Rencana Tur Asia: Wakil Presiden Amerika Serikat akan Berkunjung ke Indonesia

Reinventing Regional Order in East Asia: A Southeast Asian Perspective

$
0
0
A session of the 10th East Asia Summit, Malaysia, November 2015. Source: Wikimedia Commons, retrieved from thcasean.org

One of the Faculty Members of the Department of International Relations at Bina Nusantara University, Moch Faisal Karim, published an article titled “Reinventing Regional Order in East Asia: A Southeast Asian Perspective”. The article is as follows.

Reinventing Regional Order in East Asia: A Southeast Asian Perspective

In the post-Cold War era, East Asia has undergone fundamental changes. These are even more visible in the 21st century with the rise of China and the United States’ long-term plan for pivoting to the region, as well as the emergence of Asian middle powers and ASEAN’s greater role as a global actor. These changes have shifted the world’s strategic and economic heft to the region’s advantage.

While Cold War-era East Asia was characterized by the lack of institution-building efforts, currently regionalism is burgeoning at both the multilateral or bilateral levels, ranging from security to economic cooperation. Despite the proliferation of regional cooperation, however, many observers still see cooperation in Asia as lacking in substance.

Thus, the region is now in a critical juncture when it comes to regional architecture building. How will East Asia’s regional architecture look like in the future? Will recent developments lead to a more Asia-oriented community? How should the Asia-Pacific respond to the strategic challenges in East Asia, such as the territorial disputes in both Northeast Asia and Southeast Asia as well as historical enmity among countries in the region?

This article attempts to sketch out how multilateral cooperation within East Asia remains the fundamental building block for regional architecture building. Given that ASEAN’s regional community building is ongoing and currently represents the most institutionalized multilateral cooperation in the region, this article further asserts that the centrality of ASEAN drives forward the international architecture in East Asia through insisting on a multilateral approach in the construction of a new regional order.

To do so, ASEAN needs to heavily invest in the institution-building exemplified by, for example, the East Asia Summits. The domestic constraints will be the most salient challenge for ASEAN as it struggles to maintain cohesion in exercising its central role in the international order in East Asia

The Evolution of East Asia’s Regional Architecture

Since the end of the World War II, East Asia’s regional architecture has been mainly driven by the United States as it attempts to maintain presence in the region as well as ward off potential challengers hostile to the superpower. During the Cold War, Washington created a US-centric security order in East Asia through alliances and cooperation with several countries in the region.

This hub-and-spoke strategy centers on alliances, formal or otherwise, with Australia, New Zealand, Japan, South Korea, Singapore, Thailand, and the Philippines. The strategy has served as the most robust foundation for East Asia’s regional security architecture. Meanwhile, ASEAN’s regional architecture building was primarily focused on maintaining peace and order in Cold War-era Southeast Asia, and as such was inward-looking.

However, the return of China to global prominence and a more institutionalized and outward-looking ASEAN have resulted in changes in East Asian security dynamics. The reality of China’s continued rise is now a fact that states in the region must deal with as it is heavily tied to the region’s economic growth. Thus, to keep the United States bound to the region at China’s expense is no longer in the interest of states in East Asia.

To fill the gap of a regional architecture, ASEAN established the ASEAN Regional Forum (ARF) in 1994 with the aim of maintaining US military engagement with the region and simultaneously building cooperation with China in the post-Cold War era.

Despite well-founded criticism of the ARF as little more than a “talkshop,” the platform is effective at confidence-building measure by reducing tension and suspicion. However, ARF has from its inception featured very weak structures, modalities, and processes. As a multilateral forum, the ARF has no mechanism to force participating countries to use it to solve problems.

The South China Sea disputes are a good case in point. The ARF has failed to present itself as a platform for China and the Southeast Asia disputants to solve their overlapping claims despite the fact than it has conflict prevention instruments. Moreover, East Asia is home to crisscrossing multilateral security initiatives, both formal and informal, such as the Shangri-La Dialogue and the ASEAN Defence Ministers Meeting (ADMM).

As Nick Bisley has argued, the United States seems eager to engage ASEAN-led multilateral initiatives in managing its relations with the growing China in the region. However, the United States has paid more attention to more technical multilateral initiatives rather than leader-led summitry that lead to less concrete plans on cooperation. Furthermore, China seems to undermine the ARF when the conversation turns to the growing tension in the South China Sea, of which eventual resolution requires multilateral, not bilateral, negotiations. As a result, the ARF has little to show as a platform for multilateralism that engages major powers in East Asia.

China’s spectacular economic rise prompted ASEAN to engage Northeast Asia with the establishment of the ASEAN Plus Three (APT) forum that brings together China, Japan, and South Korea for regular summits. This limited scope, however, has also meant restricted freedom as a platform to develop regional architecture.

The APT ignores the roles of other major powers in East Asia that are important to regional architecture building, so the platform is prone to the limits and interests of dominant powers. China, in effect, can and has limited discussion to topics it allows.

All this means that East Asia lacks a coherent and credible multilateral regional architecture that represents a more balanced distribution of power in the region and at the same time puts ASEAN central to regional architecture building efforts.

Reinventing the East Asian Summit?

To realign ASEAN-centered multilateral initiatives in both the security and economic realms, ASEAN should further boost the East Asia Summit (EAS) as a forum for inclusive regional architecture in East Asia. Currently, the EAS is a leaders-led summit with ASEAN as the driving force in partnership with other participating states. From the beginning, the EAS is aimed to be an open, inclusive, transparent and outward-looking with a format that features strategic discussions on various themes pertinent to the region.

The EAS idea can be traced from the idea voiced by Malaysia’s Prime Minister Mahathir Mohammad in the early 1990s when he proposed the establishment of an East Asian Economic Grouping, later renamed as the East Asian Economic Caucus. Currently, the membership of the EAS comprises the ten ASEAN countries (Brunei, Cambodia, Indonesia, Laos, Malaysia, Burma, the Philippines, Singapore, Thailand, Vietnam), Australia, China, India, Japan, New Zealand, the Republic of Korea, the United States, and Russia.

Together, they comprise 55 percent of the world’s population and represent 55 percent of global GDP. ASEAN should take advantage as much as possible with the entry of the United States and the Russian Federation. They represent an important component in strengthening regional architecture while maintaining the principle of ASEAN centrality in the region.

Currently, the EAS has already developed six main areas of cooperation: environment and energy; education; finance; global health issues and pandemic diseases; natural disaster management; and ASEAN connectivity. Through these areas, ASEAN has enhanced the idea of East Asia Summit as a platform to better relations with major powers in the region. In addition, ASEAN should also address major regional security issues.

China’s growing assertiveness and dominating role in bilateral relations with individual ASEAN members and other EAS members, as well as the US pivot policy should elicit an ASEAN response aimed at balancing the two. Through EAS, ASEAN should further enhance its new role as a manager of the growing rivalry between the United States and China.

While the United States has succeeded in establishing and maintaining its hub-and-spoke system through bilateral agreements with East Asian countries, it could not address the increasingly complex regional dynamics in the region. ASEAN-led EAS can be a major platform to restraint a strong US dominating role by providing ASEAN a greater role in managing US relations with China by setting up the agenda. Furthermore, China has limited power in influencing through multilateral approach and so its dominating influence can be moderated through robust ASEAN-led multilateral initiatives.

Challenges Ahead

One of the challenges to further enhance the EAS as a multilateral platform for the regional architecture in East Asia is the cohesiveness of ASEAN as an actor. ASEAN members, especially the smaller ones, are prone to major powers’ influence on their strategic actions within ASEAN. Given ASEAN consensus-minded approach in decisionmaking, this may restrain ASEAN from being more proactive in building an inclusive regional architecture.

A recent move by several countries that openly bandwagoned with China and the US intention to enhance bilateral military cooperations with Vietnam amidst tension between Vietnam and China in South China should be evaluated with caution. The leaders of ASEAN should have the same understanding on the importance of the ASEAN unity to make it a credible manager of regional dynamics in East Asia. Moreover, ASEAN should make more concrete initiatives produced through the EAS.

Keeping ASEAN centrality in the regional architecture building should be a priority of an ASEAN that wishes to stay relevant as an important role in the era of uncertainty. ASEAN must address moves by several member countries that might undermine its regional centrality, given that it is only credible when it is impartial.

References

KARIM, M. F. & CHAIRIL, T. 2016. Waiting for Hard Balancing? Explaining Southeast Asia’s Balancing Behaviour towards China. European Journal of East Asian Studies, 15, 34-61.
Hiro Katsumata (2006) Establishment of the ASEAN Regional Forum: constructing a ‘talking shop’ or a ‘norm brewery’?, The Pacific Review, 19:2, 181-198,
Malcolm Cook and Nick Bisley , Contested Asia and the East Asia Summit, Perspective, ISEAS, 18 August 2016
Nick Bisley (2009) Chapter Two: The Current Regional Order, The Adelphi Papers, 49:408, 33-76, DOI: 10.1080/19445570903545676.

__________________________________

Moch Faisal Karim

Lecturer in the Department of International Relations at Bina Nusantara University, Jakarta, Indonesia, and a PhD candidate in Politics and International Studies at the University of Warwick, the United Kingdom. He is also currently a 2016 USINDO Sumitro Fellows.

***

source: http://admin.thcasean.org/assets/uploads/file/2016/11/Thinking_ASEAN_November_2016_-_compressed.pdf

[Public Lecture-Coventry University, UK] Going International – Students Life and Culture in UK

$
0
0

 

BINUS would like to invite students from all majors in Faculty of Humanities to attend a public lecture that will be held:

Day, Date:     Thursday, 13 April 2017

Time:            13.00 – 14.30 WIB

13.00 – 13.30 Registration

13.30 – 14.30 Lecture + FAQ

Venue:          Exhibition Hall, Anggrek Campus

Theme:         “Going International – Students Life and Culture in UK”

Speaker:       Mr. Ian Evans (Lecturer, Coventry University, UK)

This public lecture is part of BINUS-Coventry Game Jam Project, an extension of collaboration between BINUS UNIVERSITY and Coventry University, UK. Six students of Coventry University will join six BINUS students in a short program. During this program, all participants will be attending several lectures and engaged in series of game jam. Two lecturers from Coventry University will also be joining this program.

Indonesia di Poros Assad?

$
0
0
Presiden Joko Widodo. Sumber: republika.co.id

Salah seorang Faculty Member Jurusan Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara, Tia Mariatul Kibtiah, memublikasikan artikelnya berjudul “Indonesia di Poros Assad?”. Di bawah ini adalah artikelnya.

Indonesia di Poros Assad?

Serangan Amerika Serikat ke Suriah pada 7 April 2017, merupakan bentuk intervensi negara adi daya itu di kawasan Timur Tengah untuk yang kesekian kalinya. Alasan Amerika melakukan serangan karena Presiden Suriah Assad dituduh menggunakan gas syaraf yang menewaskan banyak warga sipil Suriah, terdiri dari anak-anak dan para wanita. Meski hal ini sudah dibantah pihak Assad dan koalisi, namun tidak menyurutkan langkah Amerika Serikat mengirim 59 misil jenis Tomahawk ke Suriah.

Pihak Assad justeru menuduh, al-Nushra, salah satu kelompok oposisi Assad menyimpan senjata kimia. Sejumlah negara mendukung serangan Amerika Serikat seperti Australia, Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, Turki, Saudi Arabia, Inggris, Spanyol, Israel. Sementara posisi Indonesia memilih agar Amerika tidak melakukan serangan ke Suriah.

Baru pada masa pemerintahan Jokowi, Indonesia berani mengambil langkah berbeda. Indonesia bersama Cina, Iran, Rusia menolak kehendak Amerika Serikat untuk menyerang Suriah. Selama ini, Indonesia selalu berada di lingkaran koalisi Amerika Serikat. Jokowi mulai mengubah kebijakan luar negerinya dalam berbagai hal dari presiden sebelumnya.

Jokowi mulai mendekat pada koalisi Rusia, Iran, Cina, dan Assad. Misalnya, dalam pembangunan infrastruktur di Indonesia, Jokowi lebih memilih Cina sebagai mitra bisnisnya. Pada Desember 2016, Indonesia dan pihak Iran melalui Pertamina dan NIOC (National Iranian Oil Company) telah menandatangani MoU (Memorandum of Understanding) di bidang minyak untuk jangka waktu 25 tahun. Iran menjadi supplier minyak untuk Indonesia sekitar 150 ribu barel per hari. Demikian juga dengan PLN (Indonesia) dan Mapna Group (Iran), mereka menyepakati MoU di bidang turbin.

Sikap ini tentu mengejutkan banyak pihak karena Indonesia selama ini dikenal selalu menjadi mitra strategis Amerika dan sekutunya. Bahkan, salah satu Kedutaan Eropa memertanyakan sikap Jokowi yang memenangkan tender perusahaan minyak Iran. Atase Pendidikan dan Budaya Iran untuk Indonesia Marandi mengatakan, pemerintahan Jokowi lebih baik dari sebelumnya dalam melakukan kerjasama dengan Iran.

Angka perdagangan Iran-Indonesiapun di bawah pemerintahan Jokowi meningkat tajam. Sebelumnya, ada kendala teknis pembayaran expor-impor antara Indonesia-Iran, efek dari diembargonya Iran oleh pihak Amerika Serikat. Sejumlah bank di Indonesia khawatir untuk menerima langsung pembayaran perdagangan dengan Iran sehingga selalu menggunakan bank pihak ketiga. Namun hal tersebut kini sudah bisa diatasi.

Kondisi rakyat Indonesia sendiri, akhir-akhir ini, tengah sensitif dengan isu SARA. Anti-syiah yang berarti anti-Iran dan anti-Assad tengah meningkat tajam. Agama dan perbedaan sekte menjadi alat politik kelompok-kelompok tertentu untuk memenangkan Pemilu.

Rakyat Indonesia yang Muslim Sunni radikal melihat konflik Suriah sebagai bentuk kekejaman Assad yang bermadzhab Syiah terhadap rakyat Sunni Suriah. Menentang Assad sama dengan jihad. Maka sekitar 500-an WNI  pergi ke Suriah dan banyak yang terbunuh di sana. Ada yang bergabung dengan ISIS ada juga yang bergabung dengan kelompok radikal lainnya. Bahrumsjah salah satu pimpinan Front yang merupakan WNI tewas belum lama ini.

Masyarakat Indonesia Sunni “garis keras” mendukung Presiden Amerika Serikat Donald Trump melakukan serangan ke Suriah untuk mengakhiri rezim Assad. Hal ini kontradiktif saat Pemilu Amerika Serikat berlangsung, mereka menolak dan mengecam Trump karena dianggap rasis dan akan mengusir muslim pendatang yang tinggal di Amerika.

Saat terpilih menjadi presiden, Trump langsung menerapkan sistem travel Ban untuk sejumlah negara dengan populasi muslim terbesar terutama Timur Tengah seperti Irak, Iran, Sudan, Yaman, Syria. Sementara negara-negara Timur Tengah lain yang selama ini menjadi mitra Amerika seperti Uni Emirat, Saudi, Mesir lolos dari aturan travel Ban Trump.

Kondisi masyarakat Indonesia yang sedang mengalami guncangan isu SARA anti Syiah, anti pimpinan non muslim, tidak menyurutkan Jokowi untuk menolak bentuk intervensi Amerika di Timur Tengah. Melalui Kementrian Luar Negeri Indonesia mengatakan, tindakan Amerika tanpa persetujuan DK PBB (Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa) dan menyalahi hukum internasional. Penyelesaian konflik harus dilakukan secara negosiasi dan diplomasi.

Sejumlah pemimpin di Timur Tengah telah terbunuh dan jatuh. Saddam Hussain tumbang karena dituduh memiliki senjata pemusnah massal (weapons of mass destruction) yang hingga kini tuduhan tersebut tidak terbukti. Tuduhan itulah yang melegalkan Amerika menduduki Irak dan berakhirnya Saddam di tiang gantungan.

Nasib yang sama dialami oleh Libya. Muammar Khadafi dianggap pemimpin yang diktator dan harus diakhiri. Melalui oposisi Khadafi, Amerika memainkan perannya untuk membunuh dan menggulingkan Khadafi. Hasilnya, berhasil. Kini kondisi Libya tidak lebih baik dari pemerintahan sebelumnya.

Saat ini, model serupa tengah dimainkan pada Assad, yakni tuduhan penggunaan senjata kimia pada rakyat sipil dan diktator. Pada masa pemerintahan Obama, dia lebih berhati-hati memutuskan menyerang Suriah. Assad didukung banyak negara kuat seperti China, Rusia dan Iran.

Amerika menghadapi dilemma dengan oposisi Assad yang terdiri dari kelompok radikal Islam seperti Jabat al-Nushra dan ISIS (Islamic State Iraq and Syria). Negara super power ini sedang mencari ramuan yang tepat jika Assad berakhir, siapakah pengganti yang tepat memimpin Suriah. Namun pada masa Trump, kehati-hatian itu sirna.

Tiba-tiba puluhan warga sipil Suriah meninggal karena serangan senjata kimia, Amerika langsung menuduh Assad sebagai pelaku, Trump mengumumkan melalui siaran pers Assad harus diakhiri dan seperti biasa; mengajak dunia untuk bergabung dengan “kemauan” Amerika Serikat. Prosesnya begitu cepat. Dunia kini tinggal melihat, apakah Assad akan bernasib sama seperti Saddam dan Khadafi?

Dosen Hubungan Internasional Binus Unversity Pada Kajian Wilayah Timur Tengah dan Ketua Divisi Ekonomi Politik ISMES (The Indonesian Society for Middle East Studies)

sumber: http://www.republika.co.id/berita/jurnalisme-warga/wacana/17/04/09/oo5aue396-indonesia-di-poros-assad

Perang Kimia dan Gempuran AS

$
0
0
Ilustrasi Gempuran Senjata Kimia. Sumber: www.koran-jakarta.com

Salah seorang Faculty Member Jurusan Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara, Amalia Sustikarini, memublikasikan artikelnya berjudul “Perang Kimia dan Gempuran AS”. Di bawah ini adalah artikelnya.

Perang Kimia dan Gempuran AS

Setelah sempat tenang selama kurang lebih tiga bulan sejak pasukan pemerintah berhasil merebut kota-kota penting dari tangan gerilyawan, situasi Suriah kembali memanas. Bahkan, diduga pemerintah telah menggunakan gas kimia sarin untuk memerangi rakyatnya sendiri. Media menampilan gambar anak-anak sebagai korban memilukan.

Dunia pun ramai-ramai mengutuk dan menyampaikan keprihatinan. Bahkan, Amerika Serikat (AS) bereaksi keras dengan menyerang Suriah. Padahal, Presiden AS Donald Trump pada awal kepemimpinan menegaskan akan menjauhi intervensi atau ikut campur masalah dalam negeri sebuah negara.

Intervensi menjadi satu bagian yang sulit dipisahkan dari kebijakan luar negeri AS. Sejak tahun 1990-an saja setidaknya AS melakukan beberapa intervensi. Misalnya, tahun 1991 di Kuwait, 2001 Afghanistan, dan 2003 di Irak. Langkah ini lalu mendapat legitimasi global dengan dikeluarkannya Responsibility to Protect tahun 2005.

Isinya memperbolehkan negara-negara intervensi kemanusiaan terhadap krisis domestik di sebuah negara yang berpotensi mengarah pada genosida, kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan pembersihan etnis di bawah persetujuan Dewan Keamanan PBB. Krisis domestik Suriah mulai tahun 2011 membuat dunia kembali berwacana untuk melakukan humanitarian intervention (intervensi kemanusiaan) tersebut.

Hal tersebut hampir terjadi saat pemerintah Bashar Al Assad dituduh menggunakan senjata kimia pada tahun 2013. AS hampir intervensi, namun tidak mendapat persetujuan kongres dan diredam oleh diplomasi elite dari AS, Russia, dan Suriah.

Keputusan Trump untuk menyerang Suriah ini mendapat reaksi beragam. Banyak pihak yang mendukung, seperti mayoritas negara Eropa Barat dan sekutu AS, antara lain Belanda, Prancis, Inggris, Kanada, dan Israel. Namun, ada juga yang mengecam sebagai tindakan yang justru berpotensi memperburuk krisis dalam negeri.

Krisis Suriah sangat rumit karena bercampur antara geopolitik, keamanan, energi, dan sektarianis dalam Islam. Konflik ini juga ditandai tingginya keterlibatan tidak langsung negara-negara besar, baik yang mendukung Bashar al Assad maupun pasukan gerilyawan. Belum lagi ditambah dengan masuknya ISIS dan petarung asing lain yang semakin memperburuk keadaan.

Selain mendapat reaksi pro-kontra, keputusan Trump dianggap kontradiktif dengan pilihan kebijakan non-intervensinya. Keputusan ini juga diambil sangat cepat, tanpa konsultasi publik dan persetujuan kongres. Trump pada bulan Januari lalu baru saja mengeluarkan kebijakan yang melarang masuknya penduduk dari beberapa negara dengan penduduk muslim besar. Mereka adalah Suriah, Iran, Irak, Libya, Somalia, Sudan, danYaman.

Dampaknya para pengungsi Suriah tidak bisa masuk AS. Hal ini menambah kontradiktif kebijakan luar negeri Trump dan mengkhawatirkan banyak pihak. Intervensi AS ini mengingatkan serangannya ke Irak tahun 2003. Alasannya, Irak mengembangkan senjata pemusnah massal.

Kelak, terungkap bahwa senjata pemusnah massal tersebut tidak ada. Namun, AS berhasil menggulingkan Saddam Hussein serta membentuk rezim pemerintahan baru. Irak mengalami proses rekonstruksi pasca-intervensi panjang dan berat. Pasukan pemerintah harus juga berjuang menghadapi ISIS yang berhasil merebut beberapa kota penting seperti Mossul.

Serangan AS ke Suriah bila dilakukan terus bisa saja menjadi upaya menggulingkan rezim. Hanya, risikonya lebih besar karena melibatkan negara-negara besar. Ini jelas berpotensi mengganggu kestabilan keamanan dunia.

Masyarakat Indonesia sendiri terpecah dalam memandang krisis Suriah, khususnya dari kalangan Islam. Hal ini berbeda dengan pandangan konflik Palestina-Israel sebab umat Islam umumnya bersikap sama. Pada awalnya, perhatian lebih dicurahkan pada konflik secara umum. Masyarakat prihatin karena banyak korban sipil.

Mihak

Dalam perkembangan dari tahun ke tahun, mulai ada keberpihakan nyata dari beberapa kelompok masyarakat terhadap kubu gerilyawan (yang disebut sebagai mujahidin). Terjadi anggapan bahwa Bashar al-Assad sebagai pihak paling bertanggung jawab terhadap konflik negerinya.

Lebih mengerucut lagi, perang ini lalu diterjemahkan sebagai konflik antara Sunni dan Syiah. Bashar al-Assad dan pendukungnya menganut Syiah, sedang kelompok gerilyawan menganut aliran Sunni. Di lain pihak, ada beberapa kelompok tidak secara jelas mendukung Bashar al-Assad, namun menyajikan fakta yang berimbang tentang gerilyawan.

Padahal, perang Suriah sarat ditunggangi kekuatan asing. AS dan sekutunya mendukung pasukan sipil, sedangkan Bashar al-Assad didukung Iran dan Russia. Hal ini menyebabkan konflik Suriah tidak sehitam-putih pertentangan antara Sunni dan Syiah.

Indonesia sendiri keberatan dengan serangan AS. Pertimbangannya, setiap penyerangan negara lain harus melalui mekanisme Dewan Keamanan PBB. Belum ada tanggapan dari kelompok-kelompok Islam terhadap sikap pemerintah. Namun, memang terjadi semacam perubahan di kalangan beberapa kelompok Islam Indonesia dalam menyikapi perkembangan geopolitik kontemporer.

Apa pun pendapat atau sikap masyarakat Indonesia dalam kasus Suriah, pemerintah harus mampu menjunjung tinggi kemanusiaan, tanpa melanggar kedaulatan. Pemerintah harus berkomitmen menjaga perdamaian dunia dan menjalankan politik bebas aktif. Yang paling penting, jangan sampai konflik sektarian Suriah diboyong ke Indonesia melalui proxy war agar tidak memecah-belah bangsa.

Penulis Mengajar Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara

sumber: http://www.koran-jakarta.com/perang-kimia-dan-gempuran-as/

Merangkul (Kembali) Asia

$
0
0

Ketua Jurusan Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara, Prof. Tirta N. Mursitama, Ph.D, memublikasikan artikelnya berjudul “Merangkul (Kembali) Asia”. Di bawah ini adalah artikelnya.

 

Merangkul (Kembali) Asia

Kunjungan dua hari Mike Pence, wakil presiden Amerika Serikat (AS) ke Indonesia pada 20-21 April 2017, mengundang analisis menarik bagi publik Indonesia.

Kontroversi Donald Trump terus terjadi sejak kampanye pemilihan presiden AS hingga 100 hari kepemimpinannya kini. Trump bersikukuh mengedepankan isu American First yang cenderung isolasionis, berbagai kebijakan yang cenderung merugikan kaum minoritas, Islamophobia hingga penyerangan terhadap Suriah. Pemerintahan Trump tidak hanya menciptakan guncangan secara domestik, tetapi juga mengirimkan sinyal yang semakin mengkhawatirkan di ranah internasional.

Trump yang menolak berjabat tangan dengan Merkel dalam kunjungan kenegaraan. Rusia tetiba berubah menjadi tidak nyaman dengan langkah AS di Suriah. Tuduhan AS terhadap 16 negara yang mereka tengarai melakukan kecurangan perdagangan, termasuk Indonesia, menimbulkan protes. Representasi berbagai peristiwa itu menjadikan dunia semakin gaduh.

Alih-alih memperbanyak teman, AS justru menciptakan semakin banyak musuh. Dalam konteks seperti ini, Pence melakukan misi pemadam kebakaran dan berusaha meyakinkan kepada para sekutunya di Asia bahwa AS baikbaik saja. Lalu bagaimana hubungan AS dan Indonesia?

Bisnis

Sejak 2011, tren ekspor Indonesia selalu surplus terhadap AS. Surplus itu berkisar USD5,6 miliar di 2011 hingga USD7,2 miliar di 2016. Walau dari sisi jumlah ekspor ada kecenderungan menurun terus dari USD16,5 miliar di 2011 hingga USD15,3 miliar di 2016, namun rata-rata surplus Indonesia adalah setengah dari perdagangannya dengan AS. Dari sejumlah perdagangan itu, kontribusi utama dipegang oleh sektor nonmigas.

Sektor ini berkontribusi sekitar 11% dari keseluruhan ekspor nonmigas Indonesia ke seluruh dunia. Sementara itu, proporsi impor AS bagi Indonesia hanya memainkan peran sebesar 6,2% dari total impor Indonesia, sedangkan bila dilihat dari sektor ekspor utama Indonesia ke AS terdiri dari tekstil, komoditas hasil laut, dan alas kaki. Ditambah lagi ekspor mineral yang besar. Sementara dari AS, Indonesia membeli peralatan pesawat dan kedelai.

Bisa dibayangkan seberapa besar dan seberapa sering Indonesia membeli peralatan pesawat terbang. Bila analisis ini benar, dengan komposisi seperti ini, AS merasakan defisit sudah merupakan hal yang bisa diprediksikan. Hal ini yang mungkin menyebabkan AS memasukkan Indonesia dalam trade hit list mereka. Sisi bisnis yang lain tentu kasus Freeport McMoran.

Dengan kekayaan emas dan tembaga terbesar di dunia yang dimiliki Indonesia di Papua, Indonesia menginginkan manfaat yang lebih adil. Di sisi lain, tidak bisa tidak AS berupaya meredam meningkatnya sentimen nasionalisme anti asing termasuk meningkatnya ketidaksukaan terhadap AS. Kehadiran Pence, walaupun tidak secara kasatmata dan terdengar publik, membicarakan persoalan Freeport, namun AS mengirimkan pesan bahwa negara hadir dalam membantu bisnis AS di Indonesia.

AS ingin memastikan bisnis Freeport aman. Sinyal ini yang harus ditangkap Indonesia. Dalam konteks yang lebih luas, kehadiran Pence ini juga ditujukan untuk meneguhkan keberadaan AS di tengah kecenderungan Indonesia ke China. AS pasti mengharapkan sinyal ini akan memiliki implikasi di Asia Tenggara bahkan Asia.

Strategis

Selain aspek bisnis, di antara berbagai kepentingan strategis AS di Asia, khususnya di Indonesia, sangat terkait dunia Islam (Islamophobia, terorisme, pluralisme) yang paling mengemuka. Kunjungan Pence ke Masjid Istiqlal dan pertemuan tertutup dengan para pemuka agama Islam membuktikan itu. Pence melihat dan merasakan sendiri bagaimana posisi Indonesia sebagai salah satu negara muslim terbesar yang moderat.

Sejauh ini Indonesia berhasil meredam konflik dan mengelola berbagai perbedaan dengan menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia dan demokrasi termasuk isu menguatkan radikalisme Islam belakangan ini. Hal ini paling tidak akan memberikan gambaran riil bahwa ada fakta lain atau interpretasi lain atas Islam di dunia ini. Bukan Islam sebagai ancaman karena penuh dengan kekerasan dan radikalisme, tetapi Islam yang mampu hidup berdampingan dengan damai dengan pemeluk agama lain.

Tentu pesan penting ini perlu disampaikan kepada Trump dan publik AS. Tur Asia yang dilakukan Pence ini menepis anggapan bahwa AS akan meninggalkan Asia. Baik Asia Timur maupun Tenggara (ASEAN) masih penting bagi AS. Terlihat mulai tampak ambiguitas antara apa yang menjadi retorika selama kampanye kepresidenan AS dan realitas ekonomi politik internasional. Trump harus melakukan kompromi. Komitmen Trump yang akan hadir dalam tiga pertemuan penting KTT AS-ASEAN, KTT ASEAN, dan East Asia Summit pada November nanti harus dilihat dalam kerangka upaya merangkul (kembali) Asia.

Oleh karena itu, Indonesia sebagai natural leader di ASEAN bisa tetap mendorong AS menghormati kawasan ini sebagai kawasan yang damai sehingga menghindarkan konflik terbuka di Semenanjung Korea maupun di Laut China Selatan. Bagaimana pun juga kunjungan Mike Pence ini harus dimanfaatkan semaksimal mungkin oleh Presiden Jokowi.

Kesepakatan membentuk misi bersama untuk membahas kerja sama ekonomi perdagangan yang lebih substansial dengan pendekatan yang saling menguntungkan, perlu didorong sebaik mungkin. Tim ini harus bersifat inklusif dengan melibatkan para pemangku kepentingan seluas mungkin. Para pembuat kebijakan dari kementerian/ lembaga terkait, para pelaku bisnis, asosiasi, pers, dan kalangan akademisi yang menekuni isu ini dan memiliki pemahaman baik terhadap para major powers dan regional powers di kawasan Asia.

Karena aspek bisnis tidak pernah lepas dari aspek geostrategi, tim ini harus melintasi berbagai kepentingan dan keahlian. Tim tersebut dapat dibentuk, bekerja dengan baik dan didukung penuh langsung oleh presiden, maka keris diplomasi bisnis internasional Jokowi semakin nyata kekuatan dan kesaktiannya. (*)

Kepala Departemen Hubungan Internasional BINUS University, Analis Senior Kenta Institute

sumber: http://koran-sindo.com/news.php?r=1&n=0&date=2017-04-25


Kartika, Sang Kartini Muda dari Binus University dalam Pilmapres 2017

$
0
0

Pada tahun 1911, sebuah buku berjudul Door Duisternis tot Licht (Dari Kegelapan Menuju Cahaya) Kementerian Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda. Buku tersebut berisikan isi dari surat-surat yang dikirim oleh Raden Adjeng Kartini kepada sahabatnya, Rosa Abendanon. Di dalamnya, tertuang pemikiran dan ide-ide R.A. Kartini, termasuk mengenai pentingnya pendidikan bagi perempuan. Meski dirinya wafat pada tahun 1904, semangatnya hingga kini masih hidup di dalam diri generasi muda bangsa Indonesia. Bahkan, para Kartini muda tersebut tidak hanya aktif di dunia pendidikan, namun juga mampu berprestasi di bidang akademik maupun non-akademik.

Salah satu Kartini muda tersebut adalah Kartika, seorang mahasiswi dari jurusan Hubungan Internasional BINUS UNIVERSITY, yang berhasil menjadi juara pertama dalam PILMAPRES (Pemilihan Mahasiswa Berprestasi) KOPERTIS III wilayah DKI Jakarta, pada 20 April 2017. Kartika yang juga adalah BINUSIAN 2018 ini meraih gelar terbaik setelah mengalahkan perwakilan dari 25 perguruan tinggi swasta lainnya di DKI Jakarta.

PILMAPRES, sebelumnya bernama MAWAPRES (Mahasiswa Berprestasi), merupakan kegiatan rutin yang diselenggarakan setiap tahun oleh KEMENRISTEK DIKTI. Ada 3 bidang yang menjadi fokus utama dalam PILMAPRES, yakni Ilmu Pengetahuan dan Budaya, Teknik Informasi dan Komunikasi (TIK), dan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Kartika sendiri memilih Ilmu Pengetahuan dan Budaya sebagai fokus utamanya.

Dalam PILMAPRES ini, Kartika mendapat dukungan penuh dari BINUS UNIVERSITY – mulai dari proses penyerahan berkas administratif PILMAPRES, hingga bimbingan dalam penyusunan karya ilmiahnya yang berjudul Sinergitas Lembaga Lintas Sektoral Bagi Pengembangan Ekonomi Maritim. “Di era Jokowi saat ini, Jokowi melihat potensi Indonesia  ialah laut, dan majunya Indonesia ini ditentukan oleh potensi laut Indonesia dengan visi poros maritim,” jelas Kartika saat ditanya mengenai alasan mengangkat judul tersebut.

Selain karya ilmiah, yang menjadi penilaian lain dalam PILMAPRES ialah kemampuan berbahasa Inggris dan prestasi selama kuliah (minimal berskala Nasional). Kartika sendiri memiliki banyak prestasi dalam bidang newscasting. Di samping itu, Kartika juga merupakan newscasting trainer di BINUS English Club (BNEC) sejak September 2016 hingga sekarang.

Kartika menguasai tiga bahasa – Inggris, Perancis, dan Mandarin – serta mengidolakan Michael Tjandra dan Silvia Iskandar sebagai role model dalam newscasting dan berharap dapat berkarir di dunia reporter media. Perempuan kelahiran 23 September ini berharap lewat PILMAPRES, dirinya dapat berkontribusi bagi pendidikan di Indonesia.

Saat ini, Kartika tengah mempersiapkan diri untuk menghadapi PILMAPRES tingkat Nasional. Motto Kartika dalam  PILMAPRES ini ialah “With God, all things are possible” (tidak ada yang tidak mungkin bersama Tuhan). “Kita perlu mempersiapkan skills akademik dan non-akademik dari awal, dan kita harus berani mencoba, dan setelah itu semua kita serahkan pada Tuhan,” ujarnya.

Pengumuman finalis PILMAPRES 2017 akan dilangsungkan pada tanggal 8 Juni 2017. Bersama-sama, mari kita dukung dan mendoakan yang terbaik untuk Kartika sebagai perwakilan BINUS UNIVERSITY. Do your best, Kartika! (Billy Leonard)

Sumber: BINUS HIGHLIGHT 623rd Edition / April 24 – 30, 2017

Rene L. Pattiradjawane

Odo Rene Mathew Manuhutu

International Relations Lecture Series (IRLS) & 10 Years of Sesparlu International: Series of Meeting

$
0
0

 

Department of International Relations BINUS University invites you to the 35th International Relations Lecture Series (IRLS) & 10 Years of Sesparlu International: Series of Meeting:

Sino-US Centric World: Indonesia and the Emerging US-Sino Rivalry in Southeast Asia

Speaker: Rene L. Pattirajawane, Founder of Center for Chinese Studies Indonesia and Odo Rene Matthew Manuhutu, Director of Senior Diplomatic Course, Ministry of Foreign Affairs, Republic of Indonesia

Day: Friday, May 5, 2017

Time: 13:30-16:00

Place:  Aula 800, Anggrek Campus, Binus University, Jl. Kebon Jeruk Raya No. 27, Kebon Jeruk, Jakarta Barat 11530

This event is available as Webinar.

Please register on the following link: http://bit.ly/2oHbVF5

International Relations Lecture Series (IRLS) & 10 Years of Sesparlu International: Series of Meeting

$
0
0

Department of International Relations BINUS University invites you to the 35th International Relations Lecture Series (IRLS) & 10 Years of Sesparlu International: Series of Meeting:

Sino-US Centric World: Indonesia and the Emerging US-Sino Rivalry in Southeast Asia

Speaker: Rene L. Pattirajawane, Founder of Center for Chinese Studies Indonesia and Odo Rene Matthew Manuhutu, Director of Senior Diplomatic Course, Ministry of Foreign Affairs, Republic of Indonesia

Day: Friday, May 5, 2017

Time: 13:30-16:00

Place:  Aula 800, Anggrek Campus, Binus University, Jl. Kebon Jeruk Raya No. 27, Kebon Jeruk, Jakarta Barat 11530

This event is available as Webinar.

Please register on the following link: http://bit.ly/2oHbVF5

Medali Lagi! Prestasi Mahasiswi HI BINUS di Festival Akuatik Nasional 2017

$
0
0

Medali lagi! Kebanggaan dan prestasi kembali diukir oleh mahasiswi Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara, Andriani Shintya Ardhana, yang kembali meraih medali bersama Tim Renang Indah DKI Jakarta. Medali diperoleh dalam ajang kompetisi Festival Akuatik Nasional 2017 untuk cabang olah raga Renang Indah di Palembang, Sumatera Selatan, yang berlangsung pada tanggal 26-28 April 2017.

Kontingen dari DKI Jakarta yang berjumlah 25 atlet berhasil menjadi Juara Umum dengan jumlah perolehan medali sebanyak enam medali emas, dua medali perak, dan lima medali perunggu. Andriani turut menyumbangkan dua medali emas dan satu medali perak.

Prestasi ini semakin membanggakan Departemen HI Binus, tempat di mana Andriani menuntut ilmu. Selamat kepada Andriani dan kawan-kawan!

PILMAPRES 2017 – Kartika – Universitas Bina Nusantara

$
0
0

Sebagaimana telah diberitakan sebelumnya, Kartika, mahasiswi Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara, berhasil menjadi juara pertama dalam Pemilihan Mahasiswa Berprestasi (Pilmapres) Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta Wilayah III (Kopertis III) wilayah DKI Jakarta pada 20 April 2017. Kartika kemudian maju ke ajang Pilmapres Tingkat Nasional 2017, yang finalisnya akan diumumkan pada 8 Juni 2017.

Berikut adalah video Kartika menjabarkan karya tulisnya yang berjudul “Sinergi Lembaga Lintas Sektoral Bagi Pengembangan Ekonomi Maritim Indonesia” untuk seleksi Pilmapres Tingkat Nasional 2017. Bersama-sama, mari kita dukung dan mendoakan yang terbaik untuk Kartika sebagai perwakilan Binus.


Invitation to the 24th Kijang Initiatives Forum “Regionalism in Europe and in Southeast Asia: The EU and ASEAN Compared”

$
0
0

Department of International Relations BINUS University invites you to the 24th Kijang Initiatives Forum:

Regionalism in Europe and in Southeast Asia: The EU and ASEAN Compared

Speaker: Dr. Vándor János, Ambassador (Rtd.)

Day: Friday, May 12, 2017

Time: 14:30-16:00

Place:  C.204, Kijang Campus, Binus University, Jl. Kemanggisan Ilir III No. 45. Kemanggisan – Palmerah Jakarta Barat 11480

Vándor János

$
0
0

Dr. Vándor János is a Professor at Budapest Business School, University of Applied Sciences, Hungary. He was the Ambassador of the Republic of Hungary to Thailand 2004-2005. He was a member of the Diplomatic Service of Hungary and simultaneously a faculty member at different Hungarian universities. He authored, edited books and hundreds of studies and articles related to European integration, EU enlargement, international affairs and global politics, ASEAN and Southeast Asia.

24th Kijang Initiatives Forum

$
0
0

 

Department of International Relations BINUS University invites you to the 24th Kijang Initiatives Forum:

Regionalism in Europe and in Southeast Asia: The EU and ASEAN Compared

Speaker: Dr. Vándor János, Ambassador (Rtd.)

Day: Friday, May 12, 2017

Time: 14:30-16:00

Place:  C.204, Kijang Campus, Binus University, Jl. Kemanggisan Ilir III No. 45. Kemanggisan – Palmerah Jakarta Barat 11480

 

Assoc. Prof. Dr. Nanthakumar Loganathan

$
0
0

Assoc. Prof. Dr. Nanthakumar Loganathan is an Associate Professor of the Department of Business Administration, Universiti Teknologi Malaysia. His areas of expertise are development economics, resource economics, and tourism economics with applied time series applications. One of his latest projects is about the dynamic comparative modelling on factors affecting FDI inflows between Malaysia and selected ASEAN+3 countries. He is currently a visiting scholar in Bina Nusantara University.

How to be a Sucessful High Impact Journal Article Writer

$
0
0

Kijang Initiatives Forum (KIF) yang pertama di tahun 2017 dibuka oleh Assoc. Prof. Dr. Nanthakumar Loganathan, yang merupakan Associate Professor dari Universiti Teknologi Malaysia. Dr. Nanthakumar pada kesempatan itu berbagi tips dan pengetahuan kepada dosen-dosen Fakultas Humaniora Universitas Bina Nusantara tentang “How to be a Sucessful High Impact Journal Article Writer“. Menurut beliau, diperlukan cara ‘cerdas’ agar bisa menulis sebuah artikel ilmiah dalam waktu yang cepat tanpa mengorbankan kualitas artikel.

Artikel ilmiah sebaiknya dikerjakan bersama-sama dengan berkelompok, karena akan membuka kemungkinan lebih besar untuk melakukan kolaborasi lintas disiplin ilmu dan memudahkan pembagian kerja dalam menyelesaikan artikel tersebut. Pemilihan topik juga menjadi aspek yang berpengaruh. Topik yang dipilih sebaiknya merupakan topik yang sedang populer sesuai dengan expertise masing-masing penulis. Selain itu penulis sebaiknya telah memiliki gambaran yang jelas mengenai targeted journal sejak awal proses penulisan artikel ilmiah.

Viewing all 406 articles
Browse latest View live


<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>