Quantcast
Channel: International Relations BINUS University
Viewing all 406 articles
Browse latest View live

23rd Kijang Initiatives Forum

$
0
0

Kijang Initiatives Forum (KIF) yang pertama di tahun 2017 dibuka oleh Assoc. Prof. Dr. Nanthakumar Loganathan, yang merupakan Associate Professor dari Universiti Teknologi Malaysia. Dr. Nanthakumar pada kesempatan itu berbagi tips dan pengetahuan kepada dosen-dosen Fakultas Humaniora Universitas Bina Nusantara tentang \\\\\\\”How to be a Sucessful High Impact Journal Article Writer\\\\\\\”. Menurut beliau, diperlukan cara \\\\\\\’cerdas\\\\\\\’ agar bisa menulis sebuah artikel ilmiah dalam waktu yang cepat tanpa mengorbankan kualitas artikel.

Artikel ilmiah sebaiknya dikerjakan bersama-sama dengan berkelompok, karena akan membuka kemungkinan lebih besar untuk melakukan kolaborasi lintas disiplin ilmu dan memudahkan pembagian kerja dalam menyelesaikan artikel tersebut. Pemilihan topik juga menjadi aspek yang berpengaruh. Topik yang dipilih sebaiknya merupakan topik yang sedang populer sesuai dengan expertise masing-masing penulis. Selain itu penulis sebaiknya telah memiliki gambaran yang jelas mengenai targeted journal sejak awal proses penulisan artikel ilmiah.


Narwastuyati Petronela Mbeo

$
0
0

Narwastuyati Petronela Mbeo, or “Naya” in short, is an observer of issues on religion, identity, cultural factors, and philosophy in International Relations. Currently she is a lecturer for National Identity in a Global World at Binus University. She received her bachelor’s degree from the Department of International Relations, Universitas Indonesia, in 1999 and her master’s degree of International Relations from Australian National University in 2004. She is currently pursuing a doctor of philosophy from Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta. Prior to joining Binus, Naya was a civil servant at the Ministry of Foreign Affairs of the Republic of Indonesia from 2000 to 2014.

22nd Kijang Initiatives Forum

$
0
0

Fenomena kelompok militan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS), kasus serangan terhadap kantor surat kabar Charlie Hebdo di Paris, penggunaan sentimen anti-Islam dalam kampanye pilpres Amerika Serikat, sampai aksi protes umat Islam terhadap Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atas tuduhan penistaan ayat Alquran memunculkan pertanyaan tentang kemunculan kembali agama dalam politik nasional dan global. Apakah benar fenomena itu terjadi? Apakah ini bentuk perlawanan terhadap modernisasi dan sekularisme?

Dengan  latar  belakang  permasalahan  di atas, Departemen Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara menyelenggarakan Kijang Initiatives Forum (KIF) ke-22 dengan tema “Post-Secular World: The Resurgence of Religion in National and Global Politics“ pada Jumat, 11 November 2016, pukul 13.00-15.00 di ruang C.204 Kampus Kijang Binus. Kegiatan KIF kali ini diisi oleh pembicara Narwastuyati Petronela Mbeo, atau akrab dipanggil Naya, dosen HI Binus.

Menurut Naya, kata ‘sekuler’ bukan berarti tidak religius. Kata ini berasal dari kata ‘Saeculum‘, yang berarti era/suatu periode waktu, merujuk pada sebuah tradisi kekristenan Barat atau Katolik Roma, di mana para pastor harus pergi keluar dari biara. Menurut filsuf Charles Taylor, terdapat dua dinamika sekularisasi dalam kekristenan Barat, yaitu 1) spiritualisasi dunia sekuler melalui tradisi Saeculum dan 2) emansipasi aspek-aspek sekuler dari kendali Gereja melalui Reformasi Protestan. Kedua dinamika ini disebabkan adanya upaya untuk memberdayakan manusia dengan mengedepankan narasi Kristus yang manusia/menderita.

Naya berikutnya membahas tiga makna sekularitas menurut Charles Taylor: 1) Sekularitas politik adalah gerakan mengosongkan ruang publik dari semua religiositas, atau pembagian ruang publik dan ruang privat; 2) Sekularitas individu adalah hilangnya iman kepada Tuhan dan praktik agama, atau perubahan masyarakat menjadi lebih antroposentris; 3) Sekularitas religius adalah ketika religiositas menjadi luas sehingga iman pada Tuhan hanya menjadi sebuah pilihan di antara banyak pilihan religiositas, atau perubahan manusia menjadi apa yang disebut Taylor sebagai ‘immanent frame‘.

Naya kemudian membahas tesis klasik sekularisasi, yang diringkas oleh sosiolog agama Jose Casanova. Menurut teori ini, dalam tahap tertentu sejarah dunia, agama akan lenyap dan hanya ada di ruang pribadi. Semakin modern suatu masyarakat, semakin sekuler masyarakat tersebut. Hal ini adalah warisan Abad Pencerahan (Aufklärung), yang melihat bahwa suatu hari nanti irasionalitas agama akan diatasi.

Menurut Naya, teori ini salah karena agama tidak hilang dari masyarakat modern, seperti di Amerika Serikat, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Arab Saudi, hingga Indonesia. Selain itu, ada kebangkitan agama dalam masyarakat yang berkembang atau ‘baru’, terutama setelah akhir era Perang Dingin, seperti di eks-Uni Soviet, Eropa Timur, Afrika, dan Amerika Latin. Bahkan, selama Perang Dingin, faktor agama berpengaruh untuk memperkuat nasionalisme, terutama bagi masyarakat diaspora. Berita buruknya, konflik yang disebabkan oleh agama masih terjadi, serta muncul radikalisme setelah akhir era Perang Dingin.

Dalam menjelaskan mengapa agama tidak hilang dari masyarakat modern, Naya mengutip berbagai cendekia. Sosiolog Peter Berger mengungkapkan bahwa, dalam menghadapi sekularisasi, agama mengambil dua strategi, yaitu 1) penolakan terhadap sekularisasi, seperti munculnya kelompok tertutup yang melestarikan tradisi tertentu; serta 2) adaptasi, seperti yang dilakukan oleh Katolik Roma dalam Konsili Vatikan ke-2 atau oleh wanita berpendidikanmengenakan jilbab.

Charles Taylor mengungkapkan bahwa agama tidak hilang karena manusia memiliki kerentanan abadi terhadap kematian dan kekerasan, yang merupakan manifestasi dari sifat kita sebagai Homo religiosus. Hal ini menyebabkan dalam kehidupan profan sehari-hari, orang cenderung untuk terus menjaga religiositas mereka melalui berbagai cara.

Filsuf Jürgen Habermas mengungkapkan bahwa agama menjadi basis prapolitik yang meningkatkan solidaritas di antara orang-orang dalam dinamika ekonomi dan politik global. Agama memiliki potensi untuk memainkan peran politik dengan menafsirkan nilai-nilai moral dengan bahasa universal.

Naya menyimpulkan bahwa modernisasi memang berhubungan dengan sekularisasi, tetapi modernisasi tidak selalu berarti sekularisasi. Sehingga, modernitas tidak sama dengan sekularitas. Dalam dunia sekuler, agama masih memiliki peran penting dan tidak hilang begitu saja dari masyarakat modern. Religiositas bisa berjalan bersama dengan sekularitas dan mengembangkan dasar moral bersama. Pertanyaan pentingnya adalah: Apakah agama saat ini hanya digunakan sebagai kedok untuk masalah lain yang mungkin lebih mendasar, atau apakah agama menjadi prinsip dasar atau faktor memobilisasi dan mengemansipasi manusia?

Materi paparan Naya dapat diunduh di:

Post-Secular World

Prof. Stefano Tsukamoto

$
0
0

Prof. Stefano Tsukamoto is currently a lecturer in the Doctoral Program on Multicultural Innovation Studies at Osaka University and visiting lecturer in the Graduate Program on Humanitarian Action at Gadjah Mada University. He is the leader of Osaka University Satellite Project on Disaster Management and Humanitarian Action at Gadjah Mada University. Mr. Tsukamoto has expansive experience in crisis management, humanitarian aid, and disaster management as practitioner as well as academic staff. He has been working in ADRA Japan, Habitat for Humanity Japan and serving as lecturer at Aoyama Gakuin University, Tokyo University of Foreign Studies and visiting lecturer at Nagasaki University.

Invitation to the Movie Screening and Discussion “Where Do We Go Now”

$
0
0

Department of International Relations BINUS University invites you to the movie screening and discussion:

Where Do We Go Now

2011 ‧ Drama film/Comedy-drama ‧ 1h 50m

When a series of incidents incites violence between Muslims and Christians in a little Lebanese village, the women of the village conspire together to keep their men from fighting.
Initial release: September 14, 2011 (France)
Director: Nadine Labaki

 

Discussion Panelists:

  • Ririn Sefsani (Program Manager at KEMITRAAN)
  • Sita Supomo (Perempuan Indonesia Antikorupsi)
  • Dr. Nur Iman Subono (lecturer at Faculty of Social and Political Sciences and postgraduate program of Gender Studies, University of Indonesia)

Day: Monday, May 15, 2017

Time: 13:00-17:00

Place:  Auditorium, Binus Center FX Sudirman, Jl. Jend. Sudirman, RT.1/RW.3, Senayan, Tanah Abang, Kota Jakarta Pusat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 10270

Ketua Jurusan HI Binus: Lawatan Wapres Pence Tanda Harapan AS soal Peran RI di LCS

$
0
0

Wakil Presiden Amerika Serikat Mike Pence mengunjungi Indonesia pada 20-21 April 2017. Kunjungan Pence merupakan kunjungan pertama oleh perwakilan pemerintahan Presiden AS Donald Trump ke Indonesia. Kunjungan diplomatik tersebut membahas kerja sama investasi bilateral, pertahanan regional, dan antiterorisme.

Dalam wawancara dengan CNN Indonesia, Ketua Jurusan Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara, Prof. Tirta Mursitama, menyampaikan bahwa lawatan Pence ini menandakan posisi Indonesia yang masih berpengaruh bagi AS. Menurut Prof. Tirta, dalam kunjungan Pence ini Washington menaruh harapan bagi Indonesia untuk berperan lebih besar di kawasan, khususnya, untuk membendung provokasi Tiongkok dalam sengketa Laut Tiongkok Selatan. “Kunjungan Pence menandakan Indonesia masih penting bagi AS. Lawatan ini juga menggambarkan harapan AS agar RI bisa berperan lebih aktif di kawasan, terutama dalam menangkal gencarnya provokasi China di LCS dan pengaruhnya terhadap ekonomi di Asia Tenggara.”

Meski Pengadilan Arbitrase Permanen (PCA) telah menolak klaim Tiongkok terhadap 90 persen wilayah di LTS, Beijing terus menggencarkan pembangunan pulau dan aktivitasnya di perairan itu. Bahkan sejumlah foto satelit menggambarkan Tiongkok berhasil menempatkan puluhan hanggar dan radar berkemampuan tinggi di pulau buatan mereka di LTS. Menurut Prof. Tirta, Washington masih menganggap Jakarta sebagai jangkar di Asia Tenggara, bahkan Asia secara keseluruhan. Ini menjadi peluang bagi Indonesia untuk mendapatkan manfaat lebih besar lagi dari hubungan kedua negara. Salah satunya, kunjungan Pence ini bisa menjadi peluang bagi Presiden Joko Widodo untuk meyakinkan Negeri Paman Sam bahwa Indonesia merupakan negara mitra strategis AS yang semestinya tidak dipandang negatif, khususnya dalam masalah perdagangan.

Komentar ini dilontarkan Prof. Tirta menyusul tudingan Trump pada salah satu perintah eksekutifnya yang menyebut Indonesia sebagai salah satu negara curang pembuat defisit neraca perdagangan AS. “Artinya tidak perlu ada kekhawatiran berlebihan terhadap kampanye maupun kebijakan Trump selama ini. Bagi Indonesia, ini bisa dimanfaatkan dengan baik, dalam arti mendapatkan keuntungan riil dan positif dari kunjungan ini. Misalnya saja dalam hal perdagangan, investasi, dan industri.”

Ketika ditanya soal kemungkinan AS semakin menekan Indonesia terkait sengketa kontrak usaha anak perusahaan tambang AS Freeport McMoran Inc., PT Freeport Indonesia, Prof. Tirta menuturkan itu adalah hal biasa. “Adanya tekanan dari AS terhadap Indonesia terkait bisnis Freeport itu biasa. Kuncinya, sejauh mana Presiden Jokowi bisa meningkatkan daya tawarnya terhadap AS dan Freeport. Jika dia berhasil, Indonesia akan mendapatkan keuntungan diplomatis yang bisa dimaknai [sebagai dampak positif] kepentingan nasional Indonesia.”

Wawancara Prof. Tirta oleh CNN Indonesia dapat dilihat pada tautan berikut:

http://www.cnnindonesia.com/internasional/20170420175813-106-209038/lawatan-pence-tanda-harapan-as-soal-peran-ri-di-lcs/

Sekretaris Jurusan HI Binus: Tiongkok dapat Menjadi Mediator Konflik Korut dengan AS

$
0
0

Sekretaris Jurusan Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara, Ratu Ayu Asih Kusuma Putri, menjadi narasumber bagi Metro News tentang ketegangan di Semenanjung Korea. Ayu menilai Tiongkok memegang peranan penting untuk mengendalikan Korea Utara dan Amerika Serikat karena Tiongkok merupakan sekutu dari Korea Utara dan merupakan partner ekonomi Amerika Serikat.

Wawancara Ayu oleh Metro News dapat dilihat pada tautan berikut:

http://video.metrotvnews.com/play/2017/04/27/692000/pengamat-tiongkok-dapat-menjadi-mediator-konflik-korut-

IR Binus Head of Department: U.S. Presence in the South China Sea May Temper China

$
0
0

In regard to Chinese expansionism in the contested South China Sea, Head of the Department of International Relations of Bina Nusantara University Prof. Tirta Mursitama said the United States (U.S.) presence in the region may temper China, in an interview with Rappler.

“Even though it seems that ASEAN leans more towards China, the U.S. has re-engaged with some major Asian countries recently. As we’ve learned in the past two weeks, U.S. Vice President Mike Pence visited some Asian countries, including Indonesia – the only country in the ASEAN region. He sent a bold message to China that the U.S. (under President Donald Trump) is still here in Asia. The U.S. still sees Asia as an important part of its global strategy.”

However, Prof. Tirta said that the North Korean conflict is one that concerns him, adding that “if it become an open conflict, it may affect the situation in the South China Sea as well.” He said both nations must exercise restraintand added that it is important for ASEAN to “urge China to stop doing their activities in the South China Sea because it will provoke other claimant countries.” He also said it is necessary to create the Code of the Conduct at the soonest to guide actions in the disputed areas.

Prof. Tirta’s interview by Rappler can be seen on the following link:

http://www.rappler.com/world/regions/asia-pacific/168374-analysis-asean-south-china-sea-statement


Dosen HI Binus: Presiden Perancis Macron Akan Tingkatkan Diplomasi Ekonomi dengan RI

$
0
0

Emmanuel Macron, kandidat sentris independen pemilihan umum Presiden Perancis, telah menjadi presiden termuda di Republik Kelima Perancis setelah mengalahkan kandidat sayap kanan Marine Le Pen pada 7 Mei 2017.

Dalam wawancara dengan Metrotvnews, dosen Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara, Paramitaningrum, menilai Macron akan meningkatkan hubungan bilateralnya dengan semua negara sahabat, tak terkecuali Indonesia. Penguatan hubungan bilateral tersebut diperlukan Prancis untuk memperbaiki perekonomian negara yang tengah lesu.

“Perancis akan menggiatkan hubungan bilateral dengan Indonesia. Potensi ekonomi Indonesia bisa dimanfaatkan Perancis untuk berinvestasi. Saya kira Perancis di bawah Macron juga akan menempatkan diplomasi ekonomi sebagai salah satu fokus hubungannya dengan Indonesia.”

Paramita juga menilai Macron akan melanjutkan kerjasama yang sudah ada, termasuk yang sudah disepakati oleh Presiden François Hollande di Indonesia pada Maret lalu. Transisi pemerintahan Perancis juga dinilai akan berjalan mulus karena Hollande mendukung sepenuhnya Macron dalam pemilihan umum kali ini. Macron juga memiliki hubungan baik dengan Hollande karena pernah menjadi menteri ekonomi di kabinetnya.

Menurut Paramita, beragam tantangan dihadapi Macron, seperti masalah keamanan, perekonomian dan keimigrasian. Tokoh moderat dari partai En Marche! itu juga harus mampu bermanuver untuk mendapatkan mayoritas parlemen. Tanpa mayoritas parlemen, Macron akan kesulitan menepati janji-janjinya semasa kampanye, termasuk menghidupkan kembali perekonomian Perancis.

“FDI (Foreign Direct Investment/Investasi Langsung Luar Negeri) di Indonesia dan Asia Tenggara merupakan salah satu solusi perekonomian Perancis yang kurang baik belakangan ini,” kata Paramita, merujuk pada tingkat pengangguran yang mencapai lebih dari 10 persen dan pertumbuhan ekonomi di angka 1,2 persen per kuartal akhir 2016.

Wawancara Paramita oleh Metrotvnews dapat dilihat pada tautan berikut:

http://m.metrotvnews.com/internasional/asia/Rb1OO5dK-pengamat-macron-akan-tingkatkan-diplomasi-ekonomi-dengan-ri

Dosen HI Binus: Presiden Perancis Macron Terpilih untuk Mengatasi Pengangguran

$
0
0

Emmanuel Macron, kandidat sentris independen pemilihan umum Presiden Perancis, telah menjadi presiden termuda di Republik Kelima Perancis setelah mengalahkan kandidat sayap kanan Marine Le Pen pada 7 Mei 2017.

Dalam wawancara dengan Koran Jakarta, dosen Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara, Paramitaningrum, Macron terpilih menjadi Presiden Perancis lantaran pandangannya soal integrasi ekonomi, yang salah satunya berusaha mengatasi pengangguran di Perancis yang jumlahnya lebih dari 10 persen.

Untuk mengatasi pengangguran harus diciptakan lapangan kerja dengan perekonomian terbuka, yang tentu saja pandangan ini bertolak belakang dengan visi Le Pen yang bersikap antipasar bebas.

Bukan hanya itu, imbuh Paramitaningrum, Macron juga masih muda sehingga memiliki ide-ide baru yang lebih bisa dikembangkan.

Wawancara Paramita oleh Koran Jakarta dapat dilihat pada tautan berikut:

http://www.koran-jakarta.com/emmanuel-macron-menang-mutlak/

Is China Winning in the South China Sea?

$
0
0

One of the Faculty Members of the Department of International Relations at Bina Nusantara University, Sukmawani Bela Pertiwi, published an article titled “Is China Winning in the South China Sea?”. The article is as follows.

Is China Winning in the South China Sea?

After the Philippines, the United States has also softened its approach to China while the rest remains silent.

Ever since the United States announced its “pivot to Asia,” many have characterized the region as the scene of another Cold War rivalry, with China replacing the Soviet Union as the main contender for the United States. Even though the past five years came close to this description, recent developments show the opposite: regional countries and the United States have all softened their approach to China, bringing the region closer to a unipolar moment for China rather than a bipolar rivalry between China and the United States.

Take the South China Sea dispute, for example. Among the Southeast Asian claimant states, Vietnam and the Philippines have been the most outspoken countries against China in the dispute. The Philippines even took the bold step of challenging China by raising the issue to the Permanent Court of Arbitration, which is against China’s preferred bilateral approach. However, under the new administration of President Rodrigo Duterte, the Philippines is separating itself from the PCA rulings of last summer. Instead, Manila has declared its interest in more direct talks with China, in whom Duterte found a potential partner for his economic and security policies.

Vietnam follows a similar path. After the prime ministers of Vietnam and China met in October last year, the communist leaders from both countries met early this year to strengthen their bilateral ties, including by working to settle their maritime dispute peacefully.

The policies of other claimant states are more amenable to China. Malaysia and Brunei Darussalam have consistently pursued a peaceful approach toward China. Even though Malaysia stepped up its defense in 2013 after China for the first time sailed as close as 100 km away from Malaysia, their attitude afterward demonstrated a return to their initial policy of keeping a low profile in the disputes. In November last year, Malaysia’s prime minister visited Beijing within two weeks after Duterte’s trip, to strengthen bilateral defense cooperation including in the South China Sea.

Given the shifting attitudes of the claimant states, it is then no surprise if non-claimant states in ASEAN have showed a similarly soft, if not even milder, approach toward China. Cambodia and Laos in particular have been widely perceived as China’s supporters within ASEAN as both countries were reluctant to mention in detail the South China Sea disputes in the joint communiques of ASEAN meetings during their respective presidencies.

And even though other ASEAN countries are not siding with China, their policy on the South China Sea also begin to soften. The recent statement from the ASEAN Summit in Manila, for example, highlighted the improving relations between ASEAN and China and how they were looking forward to the completion of a Code of Conduct in the disputer region. The statement, meanwhile, made no mention of China’s continuous island-building in the South China Sea.

The last and perhaps most significant departure from the trend in the past five years is the United States itself. During the Obama administration, the United States enhanced its military presence in the region and strengthened support for regional claimant states, often times by conducting joint naval exercise and criticizing China for threatening freedom of navigation. Under Donald Trump, however, the United States has adopted a more careful approach toward China. The recent government rejection of Freedom of Navigation Operations in the disputed area was seen as appeasement in exchange for China’s cooperation in handling the nuclear crisis in the North Korea.

So does this mean that China is winning in the South China Sea? Not necessarily.

If one looks at theories on territorial disputes, what is happening in the South China Sea is more akin to temporary stability, achieved when countries deliberately play down the issue to divert their attention to other more urgent issues. However, the fact that the disputes are linked to actors’ immediate national interests means that the dispute might quickly become unstable once the current priority changes.

Moreover, many falsely think of the dynamics of the dispute in the South China Sea as more of a big power rivalry between China and the United States. The South China Sea disputes, as with other territorial disputes, are driven by the value of the disputed territory and the visibility of the dispute among domestic audiences. Claimant states may shelve the dispute for pragmatic reasons, but as long as the disputed territory is valuable in terms of natural resources, let alone in terms of its symbolic value for the country, the dispute remains intractable. Plus, the dispute is visible to a wider domestic audience, whose nationalism will be provoked if their claimed territory is taken by other countries.

In the case of the South China Sea, the dispute is more complex as the world has a stake in the freedom of navigation in the disputed sea to preserve vital maritime trade. Having said that, it’s too soon to conclude that the recent developments mean China is winning in the South China Sea.

__________________________________

Sukmawani Bela Pertiwi

Lecturer at the Department of International Relations, Bina Nusantara University, Jakarta, Indonesia.

***

source: http://thediplomat.com/2017/05/is-china-winning-in-the-south-china-sea-2/

Ketua Jurusan HI Binus: Ikut Jalur Sutera Modern Tiongkok, Keinginan Indonesia Belum Jelas

$
0
0

Bersama 29 kepala negara dan pemerintahan, Presiden Joko Widodo mengikuti Belt and Road Initiative atau jalur sutera modern yang digagas Cina di Beijing, 14 Mei 2017. Akan tetapi, Ketua Jurusan Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara, Prof. Tirta Mursitama, menilai keinginan Indonesia di forum itu belum terlalu jelas.

Dalam wawancara dengan BBC Indonesia, Prof. Tirta menyampaikan, “Perebutan pengaruh sedang terjadi, tapi tidak dalam arti frontal. Kekuatan Tiongkok meningkat luar biasa. Tiongkok menawarkan alternatif untuk menghubungkan negara dengan dalih itu adalah kerja sama yang menguntungkan semua pihak, walau keuntungan lebih besar ada pada Tiongkok.”

Meski terbuka untuk bekerja sama dalam konteks jalur sutera modern, belum ada keinginan konkret Indonesia dalam inisiatif yang digagas Tiongkok tersebut. Prof. Tirta mengatakan Indonesia bisa saja menawarkan kepada Tiongkok sejumla proyek infrastruktur, seperti pembangunan pelabuhan. “Keinginan Indonesia belum terlalu jelas. Apakah pembangunan pelabuhan-pelabuhan? Indonesia harus aktif bernegosiasi.”

Negosiasi, menurut Prof. Tirta, amat krusial lantaran Tiongkok pasti menginginkan keuntungan besar dalam konteks bisnis maupun politik. “Saya berpandangan win-win solution bukan selalu dalam konteks 50-50. Tiongkok punya kekuatan ekonomi, militer, geopolitik. Kita mungkin mendapatkan sesuatu, tapi tidak dengan harga yang murah. Pasti mereka minta trade-off (timbal balik). Masalahnya, seberapa besar yang kita bisa tawarkan?” kata Tirta.

Wawancara Prof. Tirta oleh BBC Indonesia dapat dilihat pada tautan berikut:

http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-39912583

Invitation to Guest Lecture by South Korea Ambassador on Korea – Indonesia Relations and Situation on the Korean Peninsula

$
0
0

BINUS UNIVERSITY is very delighted to host Guest Lecture from The Ambassador of South Korea for Indonesia His Excellency, Mr. Cho Taiyoung that will be held on:

Day/Date   : Wednesday, 24 May 2017

Time          : 15.00 – 16.30

Venue        : Auditorium, Anggrek Campus 4th floor

Topic          : Korea – Indonesia Relations and Situation on the Korean Peninsula

Benefits     : International Experience, SAT points

RSVP         : goo.gl/lDzJhT

UPDATE

Due to a sudden visit of a guest from Korea and that Mr. Ambassador must accompany the guest to meet President Jokowi, with much regret the scheduled guest lecture on Wednesday must be cancelled and pended to later date. Thank you very much for the help thus far and apologize for the inconvenience caused.

Invitation to Guest Lecture by Matthieu Lauras from University of Toulouse – Mines Albi, France

$
0
0

BINUS UNIVERSITY is very delighted to host Guest Lecture by Matthieu Lauras from University of Toulouse – Mines Albi, France. that will be held on:

Day & date          : 14 June 2017

Time                    : 13.00 – 15.00

Venue                  : Auditorium 4th Floor, Anggrek Campus

Benefits               : International Experience, SAT Points

Registration         : https://goo.gl/n9OG26

EXPRESSION OF INTEREST | Inside Indonesia special edition on ‘Infrastructure in Jakarta’

$
0
0

Expression of interest deadline 31 August 2017

 

Inside Indonesia is a web-based magazine that plays an important role in providing accessible articles based on substantive scholarship to the general public. The magazine seeks to build bridges between academia and the general public in Australia, Indonesia and elsewhere. It has over 1,500 subscribers throughout the world, covering all six continents. The Inside Indonesia website also has tens of thousands of unique visitors per month.

We invite expressions of interest for contributions to an upcoming special edition of Inside Indonesia focused on ‘Infrastructure in Jakarta’. Infrastructure, defined here as the physical and organisational structures that allow society to function, underpins everything from our quality of life to our freedom of movement. Jakarta, the heaving national capital of Indonesia, simultaneously represents a site of rapid development and technological innovations, as well as growing inequalities between social classes and geographic regions within the city. Through this edition, we focus on Jakarta; its complex problems and its stories of resilience and hope.

This edition will look at infrastructure in Jakarta from a range of disciplinary perspectives. Preference will be given to authors who are presenting original research and approaching their topic from an analytical and critical viewpoint. The edition encourages submissions on the following topics:

  • A history of infrastructure in Jakarta
  • Urban planning
  • Women’s engagement
  • Transportation
  • Environmental impacts
  • Natural disasters and disaster risk reduction
  • Health and/or access to health care
  • Housing affordability
  • The manifestation of political/economic power in infrastructure projects

Special editions of Inside Indonesia generally feature between 8-12 articles of 800, 1,600 or 3,000 words written by academics and activists. As always, these articles will be lively pieces with a concern for economic, political and social justice written in such a way as to engage non-academics with cutting-edge academic research. Articles need a strong narrative rather than an explicit academic argument and should be accessible to readers from senior high school upwards.

If you are interested in contributing, please send a 150 word abstract of your article idea to Dr Elisabeth Kramer (elisabeth.kramer@sydney.edu.au) or Dr Wayne Palmer (wpalmer@binus.edu) by 31 August 2017. Selected authors will be notified by 15 September 2017 and will be required to provide a full draft by 30 November 2017 for review and editing.

CONTACT DETAILS

Co-editors

Dr Elisabeth Kramer, Sydney Southeast Asia Centre, University of Sydney (Australia), E | elisabeth.kramer@sydney.edu.au

Dr Wayne Palmer, Department of International Relations, Bina Nusantara University (Indonesia), E | wpalmer@binus.edu


Guest Lecture “INDONESIA – TAIWAN RELATIONSHIP”

$
0
0

BINUS UNIVERSITY is very delighted to host Guest Lecture by Prof. Samuel C. Y. Ku from Wenzao Ursuline University of Languages, Taiwan. that will be held on:

Day & date          : Monday, 31 July 2017

Time                    : 13.00 – 17.00

Venue                  : Room 704, Anggrek Campus

Benefits               : SAT Points & E-certificate

Registration         : https://goo.gl/mjkuit

Dosen HI Binus Menjadi Moderator Diskusi Publik Pengembangan Industri Strategis

$
0
0

Pada 9 November 2017, The Habibie Center menyelenggarakan Diskusi Publik bertema “Pengembangan Industri Strategis: Membangun Ekonomi Berbasis Teknologi” dalam rangka Hari Ulang Tahun (HUT) The Habibie Center ke-18 di Hotel Le Meridien Jakarta. Yayasan yang bergerak di bidang modernisasi dan demokratisasi tersebut didirikan pada 10 November 1998 oleh Prof. Dr.-Ing. H. B. J. Habibie, Presiden Republik Indonesia ke-3. Peringatan HUT The Habibie Center itu mengambil tema besar “Penguatan Demokrasi dan IPTEK Menuju kemakmuran Bangsa” serta dimeriahkan dengan serangkaian acara terdiri dari tiga rangkaian kegiatan seminar nasional dan diskusi publik.

Diskusi publik ini menghadirkan para pakar, di antaranya Jusman Syafii Djamal (Menteri Perhubungan (Menhub) 2007-2009), Budiman Saleh (Direktur Utama PT PAL Indonesia), Agung Nugroho (Presiden Direktur PT Regio Aviasi Industri), dan Liana Trisnawati (Sekretaris Jenderal Asosiasi Badan Usaha Pelabuhan Indonesia). Selain itu, diskusi ini mengundang Curie Maharani Savitri, salah seorang dosen Departemen Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara yang juga merupakan anggota Kelompok Kerja Industri Strategis dan Teknologi Tinggi dalam Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN).

Dalam diskusi itu, Jusman Syafii Djamal mempresentasikan tentang industri strategis sebagai unit evolusi yang dipercepat dan motor pertumbuhan ekonomi. Menurut beliau, terdapat fenomena “dual economy” di mana ekonomi tradisional dengan pertumbuhan yang lebih rendah (linier) beriringan dengan ekonomi modern dengan pertumbuhan yang lebih tinggi (eksponensial). Akuisisi teknologi juga mengalami perubahan dalam paradigma: sebelum 1970 terjadi Revolusi Industri yang mendorong berkembangnya teknologi industri tekstil, kereta api, dan pesawat. Sementara itu, setelah 1970 terjadi evoluti Teknologi Informatika (TI) yang mendorong berkembangnya teknologi komputer, distributed intelligence, dan nanotech. Akuisisi teknologi maju mendorong berkembangnya rantai nilai dan rantai suplai berjejaring secara global. Oleh karena itu, teknologi memiliki posisi strategis sebagai motor pertumbuhan ekonomi, serta diperlukan pemikiran strategis dalam bentuk strategi berbasis teknologi yang berjalan bersamaan dengan kebijakan desentralisasi dan pemberdayaan sumber daya manusia.

Menurut Jusman, masalah utama Indonesia dalam pengembangan industri strategis adalah adanya ketimpangan geografi, yang terlihat dari dinamika indeks Gini Indonesia pada 1980-2014. Indonesia membutuhkan kebijakan akusisi teknologi yang dapat merespons masalah ini. Jika ini berhasil, terdapat tiga skenario industri strategis Indonesia: (1) skenario industri strategis sebagai wahana transformasi dan penguasaan teknologi maju untuk pembangkit kekayaan dan ketahanan nasional (leading edge approach to create human capital); (2) skenario industri strategis sebagai pembangkit kemandirian teknologi untuk “basic needs(to attack problem of inequality and problem of food, energy, and water security); dan (3) skenario industri strategis sebagai wahana transformasi ke arah low carbon society (adaptation and mitigation to climate change).

Pembicara kedua, Budiman Saleh, mempresentasikan tentang penguasaan teknologi melalui program transformasi teknologi yang dilakukan PT PAL. Menggunakan pendekatan penguasaan teknologi “berawal di akhir, berakhir di awal”, PT PAL awalnya mengintroduksi teknologi dengan menggunakan desain dari mitra dan proses alih teknologi. Contohnya, dalam pengembangan kapal patroli FPB-57 yang awalnya dibuat oleh Lürssen, Jerman, kemudian dilisensi oleh PT PAL. Fase berikutnya, PT PAL memodifikasi desain. Contohnya, dari desain kapal patroli FPB-57 kemudian dikembangkan menjadi kombatan FPB-57. Fase selanjutnya, PT PAL mengembangkan desain baru. Contohnya, dari kombatan FPB-57 ditambahkan varian persenjataan pada sistem rudal dan sistem antideteksi radar (stealth) menjadi kapal cepat rudal kelas 60 m (KCR-60). Terakhir, PT PAL melakukan penelitian industri mendasar untuk pengembangan desain ke depan. Contohnya, dari KCR-60 dikembangkan untuk menjadi kapal fregat.

Dalam rantai suplai industri pertahanan Indonesia, PT PAL merupakan salah satu industri alat utama dalam puncak tier industri, yaitu lead integrator atau pemadu utama alutsista matra laut, khususnya kapal kombatan. Sebagai lead integrator, PT PAL melakukan berbagai kolaborasi industri baik dengan mitra strategis global maupun sinergi dengan BUMN, di tingkat industri komponen utama/platform, industri komponen dan/atau pendukung, serta industri bahan baku. Kolaborasi industri ini memiliki implikasi baik di bidang pertahanan keamanan, teknologi, SDM, bisnis, maupun terhadap negara. Akan tetapi, menurut Budiman, masih terdapat tantangan dalam pengembangan kapal kombatan tersebut, seperti teknologi yang belum dikuasai.

Pembicara ketiga, Agung Nugroho, mempresentasikan tentang industri strategis kerja sama BUMN-BUMNS, dengan studi kasus program pesawat R80. Kerja sama tersebut penting untuk mencapai kemandirian dari inovasi nilai tambah. Sebagai negara maritim terbesar, Indonesia perlu mengembangan teknologi penerbangan. Program R80 yang didanai swasta dan didukung pemerintah diharapkan memberi efek multiplier terhadap rantai suplai pesawa nasional dan industri derivatif/satelit. Program ini terdiri dari tiga fase: (1) fase desain awal dan feasibilitas pada 2013-2016 yang telah selesai dikerjakan oleh swasta, (2) fase pengembangan berskala penuh pada 2017-2025 yang akan membutuhkan investor strategis, dan (3) fase produksi, penjualan, dan support pada 2023-selesai yang akan dilakukan melalui initial public offering (IPO). Program ini memiliki stakeholder yang luas dan diharapkan dapat mendorong kerja sama vendor dengan mitra Indonesia.

Terakhir, Liana Trisnawati mempresentasikan tentang reformasi penyelenggaraan pelabuhan laut.

About ICOBIRD 2017

$
0
0

Business, International Relations, and Diplomacy in the Information Era

 

 

Information technology has revolutionized human interaction since the invention of the internet in the late 1980s, almost the same time with the end of the cold war when international relations began to take its new stage. In fact, it is information technology that became one of the key driving forces of globalization that characterizes much of international relations in the post-cold war era. Against this backdrop, the Department of International Relations of Binus University has organized the 6th International Conference on Business, International Relations, and Diplomacy (ICOBIRD) under the theme “Business, International Relations, and Diplomacy in the Information Era” on 2-3 November 2017 at Binus University Alam Sutera campus. This conference aimed to highlight the role of information technology, not only in driving globalization but also in shaping international relations in general.

The opening ceremony of the 6th ICOBIRD was held on 2 November 2017 morning. It was followed by a plenary session which invited Ambassador Dr. Dino Patti Djalal, former Indonesia’s Deputy Foreign Minister and founder of Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI); Dr. Andi Widjajanto, main commissioner of PT Angkasa Pura I; Prof. Dr. Stefan Koos from Universität der Bundeswehr München; and Ir. Kun Arief Cahyantoro, M.B.A., from the Coordinating Ministry of Political, Legal, and Security Affairs.

The plenary session opened with Dr. Dino Patti Djalal as the first speaker. With experience as a former Indonesian Ambassador to the United States, he talked about how to attract the global market using diplomacy. The second speaker was Dr. Andi Widjajanto, who talked about the cyber security framework in Indonesia. He explained the cyber threat landscapes in Indonesia and the cyber security framework and institutionalization after the issuance of Presidential Regulation (Perpres) No. 53/2017 on State Cyber and Cryptography Agency (BSSN). The third speaker was Prof. Dr. Stefan Koos, whose expertise is on International Law. He talked about international law in the information era, including how International Business Law works in the current global market. Last but not least, Ir. Kun Arief Cahyantoro talked about e-commerce in Indonesia by exploring several aspects that affect e-commerce business. The plenary session was moderated by a faculty member of the Department of International Relations of Binus University, Dr. Lili Yulyadi.

The seminar was followed by four panel sessions. The first panel went by the theme “Business in Information Era” moderated by Dennyza Gabiella. In this panel, Muhammad Reza Syariffudin presented his paper entitled, “WTO and e-commerce in developing countries,” Waode Diah Anjani and Roseno Aji Affandi presented “E-commerce in Indonesia: Progress and future challenges,” Sukmawani Bela Pertiwi and Paramitaningrum presented “E-commerce and regional integration in Southeast Asia,” Galuh Dian Prama Dewi presented “Political economy of e-commerce and its impact on Indonesian market (case study of online shops growth in the 2000s),” and Roseno Aji Affandi, Aditya Permana, and Elisa Anastasia presented “Integrating business strategy and sustainability development of the society.”

The second panel went by the theme “Business in the Information Era (Focus on Indonesia)” moderated by Charanpal Singh Bal, Ph.D. In this panel, Amalia Sustikarini presented “E-commerce and Sustainable Development Goals: The role of online stores in promoting inclusive trading in Indonesia,” Respati Wulandari and Prof. Dr. Tirta N. Mursitama, Ph.D. presented “Application of strategic entrepreneurship approach in franchise and non-franchise business,” Mohammad OK Ikhsan presented “The pattern of Chinese Indonesian business in post-New Order’s regime: A political economy perspective,” and Yoes Koeswara presented “Tax me if you can: The political economy of Tax Amnesty program.”

The third panel went by theme “International Relations in the Information Era” moderated by Curie Maharani Savitri, Ph.D. In this panel, Dr. Lili Yulyadi presented “Revisiting development in developing countries in the era of Information and technology advancement,” Sukmawani Bela Pertiwi and Fauzia Gustaria Cempaka presented “A qualitative analysis on Indonesia’s cyber power,” and Tangguh Chairil presented “Cyber defense in Indonesia: Challenges to the capacity development.”

Another panel was under the theme “Diplomacy in the Information Era” moderated by Rangga Aditya. In this panel, Chiu Chung-Yu presented “The innovative platform of agricultural market and future in Taiwan comparing with the EU (the collaboration between government and market),” Luh Nyoman Ratih Wagiswari Kabinawa and Hardianto Gunawan presented “The political economy of Taiwan’s foreign investment: Case study Morotai development plan,” Tia Mariatul Kibtiah and Richa Yustikaningrum presented “Foreign policy of Saudi Arabia in Indonesia (case study: Saudi’s investment in Indonesia 2000-2007),” and Lakpani Dias presented “Trans-boundary implications of India and Nepal air pollution policy implementation and South Asian Association for Regional Cooperation.”

On 3 November 2017, ICOBIRD continued with two other panel sessions in the morning and a special International Relations Lecture Series (IRLS) in the afternoon. The fifth panel went by theme “Social Media and Social Issues in the Information Era” moderated by Sukmawani Bela Pertiwi. In this panel, Vidya Prahassacitta presented “Indonesia’s objective on anti-hate speech via social media towards democracy, Rangga Aditya and Anselma Faustina presented “Indonesian government effort to protect Indonesian overseas workers in Taiwan: An analysis of social media role,” Mutiara Indriani and Rangga Aditya presented “Development aid, partnership and cultural adaptation: Is the combination away forward?” and Aditya Permana presented “Democracy in the hand of Indonesian Moslem middle-class: How New Order’s Developmentalism shapes social capital and identity commodification of contemporary Indonesian Islam.”

The other panel was a special panel under the theme “Vectors of Public Diplomacy and Soft Power in Asia Pacific: Competing, Gaining Access and Expanding Influence” moderated by Paramitaningrum, Ph.D. In this panel, Enrico Cau presented “The Belt and Road Initiative and the role of Chinese soft power and public diplomacy in the ASEAN region: An analysis,” Idania Marcela Perigault presented “Soft power as a key element of China’s foreign policy in Latin America: The case of Panama,” Fabrizio Bozzato presented “China’s science diplomacy in the South China Sea: Cooperation or soft power conduit?” and Stefano Pelaggi presented “Taiwan development aid in South East Asia: From a diplomatic strategy for balancing the international isolation to a tool of soft power.”

After lunch break, ICOBIRD was followed by the special International Relations Lecture Series (IRLS) which invited Dr. Alan Chong, Associate Professor at S. Rajaratnam School of International Studies. He talked about social media, democracy, and human rights in Asia and inquired whether cyber-democratization is happening. Amalia Sustikarini, Ph.D. acted as moderator in this session. ICOBIRD was then officially closed after concluding remarks by Sukmawani Bela Pertiwi as the conference chairperson and Prof. Dr. Tirta N. Mursitama, Ph.D. as Head of the Department of International Relations of Binus University.

 

 

Dosen HI Binus Mengikuti Kursus Dasar Hukum Humaniter Internasional

$
0
0

Pada 24-28 Oktober 2017, Fakultas Hukum Universitas Mataram, Lombok, bekerja sama dengan International Committe of the Red Cross (ICRC) melaksanakan Kursus Dasar Hukum Humaniter Internasional di Hotel The Jayakarta, Senggigi. Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan Hukum Humaniter Internasional (HHI) bagi tenaga pengajar di Perguruan Tinggi. Tidak hanya itu, pertemuan tersebut juga diharapkan melihat kemungkinan mengintegrasikan HHI ke dalam kurikulum pengajaran pada Fakultas Hukum dan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Indonesia.

Kursus Dasar HHI ditujukan untuk tenaga pengajar yang berkonsentrasi pada Hukum Internasional, Hukum HAM, dan Hubungan Internasional. Kursus ini diisi oleh berbagai narasumber, mulai dari akademisi seperti Dr. Heribertus Jaka Triyana dari Universitas Gadjah Mada, Dr. Trihony Nalesti Dewi, Dr. Enny Narwati dari Universitas Airlangga, Jonathan Kwik dari Universitas Katolik Soegijapranata, Dr. Zunnuraeni dari Universitas Mataram, Dr. Risnain, dan Supardan Mansyur; hingga praktiksi seperti Brigjen (Purn.) Natsri Anshari dan Kushartoyo Budi Santoso (ICRC untuk Indonesia dan Timor Leste).

Terdapat 32 peserta mengikuti kursus ini yang merupakan tenaga pengajar Fakultas Hukum dan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dari berbagai universitas. Salah satunya adalah dosen Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara, Richa Vidya Yustikaningrum. Ibu Richa merupakan pengajar mata kuliah Isu Hukum Internasional dan Penyelesaian Sengketa Internasional. Dengan mengikuti kursus ini, diharapkan Ibu Richa dapat mengintegrasikan HHI ke dalam kurikulum pengajaran mata kuliah tersebut.

Delegasi Binus dalam Konvensi Nasional VIII Asosiasi Ilmu Hubungan Internasional Indonesia

$
0
0

Sebagai wujud komitmen dalam pengembangan ilmu HI di Indonesia, Departemen Hubungan Internasional (HI) Universitas Bina Nusantara (Binus) berpartisipasi sebagai peserta dalam Konvensi Nasional (Vennas) VIII Asosiasi Ilmu Hubungan Internasional Indonesia (AIHII) yang diselanggarakan di Samarinda, Kalimantan Timur, pada 10-13 Oktober 2017. Delegasi HI Binus diisi antara lain oleh Ketua Jurusan Prof. Dr. Tirta Mursitama, Ph.D. sekaligus Ketua AIHII 2014-2017 dan para faculty members yaitu Rangga Aditya dan Tangguh Chairil.

Delegasi HI Binus mengikuti secara aktif kegiatan-kegiatan yang diadakan dalam acara Vennas VIII AIHII, antara lain seminar nasional, temu organisasi, konferensi akademik, dan sesi akademi khusus. Pada hari pertama, kegiatan dilaksanakan di Universitas Mulawarman. Seminar nasional bertema “Kondisi dan Gambaran Umum Wilayah Perbatasan” mengundang keynote speaker Gubernur Provinsi Kalimantan Utara Dr. Irianto Lambrie. Seminar nasional yang membahas tentang “Potensi, Prospek, Konsep, dan Strategi Pengembangan Wilayah Perbatasan Indonesia” mengundang Dr. Siswo Pramono, Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan (BPPK) Kementerian Luar Negeri, Laksamana Muda TNI Achmad Djamaludin, Deputi Bidang Koordinasi Pertahanan Negara Kemenko Polhukam, dan Komandan Korem (Danrem) 091 ASN Samarinda, Brigjen TNI Irham Waroihan. Setelah seminar nasional, dilaksanakan konferensi akademik, di mana Tangguh mempresentasikan paper yang ditulis bersama Prof. Tirta dan Rangga berjudul “Keamanan Perbatasan dan Kejahatan Transnasional: Tantangan Bagi Indonesia”.

Pada hari kedua, kegiatan dilaksanakan di venue Mesra Business & Resort Hotel. Dilaksanakan diskusi keorganisasian dan dinamika kelembagaan asosiasi melalui komisi yang membahas bidang akademik dan penelitian, keorganisasian AIHII, serta kerja sama dan pengabdian pada masyarakat. Setelah temu organisasi, Prof. Tirta mempresentasikan laporan pertanggungjawaban kepengurusan AIHII 2014-2017 dan dilanjutkan dengan pemilihan Ketua AIHII periode berikutnya.

Setelahnya, acara Vennas VIII AIHII ditutup dan dilanjutkan tur kota Samarinda keesokan harinya. Melalui acara ini, HI Binus semakin menebalkan tekad dan komitmennya menjadi garda terdepan untuk menarik lokomotif pengembangan ilmu HI di Indonesia di masa ini maupun di masa yang akan datang.

 

Viewing all 406 articles
Browse latest View live


<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>